Asisten Wanita Ndeso - Bab 17 Hidup Manusia Hanya Berapa Puluh Tahun

Air mata penuh malu menetes dari pipi Asmi yang memerah, sekujur tubuhnya sama sekali tidak bertenaga, kepalanya bagaikan habis terkena bom, dia terbangun dengan gontai dari atas meja kerja Fredo Fajar yang berwarna coklat muda.

Sekujur tubuhnya merasakan sakit dan nyeri yang hebat, kenapa dia harus menerima semua penderitaan ini dan tidak berani melawannya. Otaknya kosong, sama sekali tidak bisa berpikir, hanya tangannya yang refleks memungut satu per satu pakaian berwarna hitam yang tercabik oleh Fredo, lalu kembali mengenakannya satu per satu.

Sejak ia datang bekerja disini, ia selalu mengenakan baju berwarna hitam, dan sekarang ketika ia melhat setiap baju hitam ia merasa seperti berdarah, bagaikan bunga mawar hitam begitu indah namun begitu menyakitkan.

Fredo duduk di sofa dengan tubuh lemas, keringat mengucur di sekujur tubuhnya, nafasnya terengah-engah, ruang kantor yang begitu besar, hanya terdengar suara motor AC yang sedang berjalan, juga isak tangis Asmi yang teramat dan sangat lirih.

Fredo menatap Asmi yang sedang memunguti setiap potong bajunya, ketika ia menikmati semua itu, dia sama sekali tidak melihat ekspresi yang ingin ia lihat, Asmi terus menatapnya dengan tatapan penuh ketakutan, bukan tatapan menikmati, membuatnya menjadi curiga pada dirinya sendiri.

Apakah dia sudah salah duga, melihat Asmi yang begitu kasihan, dia menundukkan tubuhnya yang kurus dan lemah, membuat Fredo sedikit iba padanya.

“Tokk.. Tokk..” terdengar suara ketukan pintu dari balik pintu kayu ukir, Asmi langsung meringkuk, Fredo bisa melihat wajah canggung yang muncul di wajah Asmi.

Saat seperti ini seharusnya bukan Anisa yang datang, Fredo tetap duduk di sofa dengan wajah acuh, sejak awal dia sudah bisa menduga suara ketukan pintu yang ringan itu Tanu yang mengetuk.

Fredo dan Tanu sudah menjadi teman sekolah sejak kecil, mereka bersama begitu lama, meskipun tidak melihatnya, dia juga bisa menebak dengan tepat kalau itu adalah Tanu yang datang.

“Tanu, tunggu sebentar. Aku masih ada sedikit urusan.” Mata Fredo yang tajam bagaikan belati yang menggores tubuh Asmi.

Tidak terdengar suara dari luar pintu, Tanu melihat asisten Fredo yang bernama Asmi itidak berada di tempat duduknya, hatinya menjadi agak tidak tenang, namun tanpa persetujuan Fredo, meskipun pertemanan mereka sangat dalam, dia tidak bisa membongkar titik kelemahan Fredo .

Tanu berjalan mondar mandir didepan pintu yang besar, dalam pikirannya tidak hentinya muncul tatapan Fredo yang penuh kebencian terhadap Asmi, mungkin saat ini Asmi yang begitu kampungan sedang habis di maki-maki olehnya didalam.

Asmi mengangkat kepalanya, kebetulan bertemu dengan tatapan Fredo yang begitu tajam, matanya berbinar, penuh dengan kebencian, Fredo yang ada dihadapannya sama sekali berbeda dengan pria bersenyum cerah yang ada dalam ingatannya, apakah ingatannya bermasalah?

Fredo yang berada di atas sofa, wajahnya tetap begitu tampan, hidung yang mancung, kulit wajah yang putih dan bersih, alis tebal dan hitam yang terlihat tegas, mata yang panjang dan tipis, tetap terlihat begitu gagah. Namun, matanya itu terlihat jauh lebih dingin, dingin sampai membuat seluruh tubuh Asmi bergetar.

Sepuluh tahun? Hidup manusia hanya berapa puluh tahun?

Apakah penantiannya selama sepuluh tahun yang begitu indah harus dihancurkan oleh tatapan Fredo yang begitu merendahkan?

Asmi berjalan kearah pintu dengan langkah gontai, wajahnya panik dan kebingungan, dia tidak bisa menemukan kacamatanya, entah ketika ia sedang terik-tarikkan dengan Fredo terpental kemana, dalam pikirannya hanya ada satu pemikiran, segera pergi, cepat meninggalkan tempat ini, meninggalkan kantor ini.

“Kacamatamu, kamu bicara Fredo terdengar jauh lebih lembut." Dia bangkit berdiri dan memungut kacamata yang biasa dikenakan oleh Asmi, awalnya ia ingin melemparkannya kesampingnya, namun melihat wajahnya yang begitu linglung, entah kenapa Fredo langsung merasa tidak tega.

Hati Fredo bagaikan tertimpa oleh sebuah batu besar, “Jangan, jangan.” Suara Asmi yang serak terus menggema dikepalanya.

Fredo berjalan kehadapan Asmi, mengangkat tangannya, melihat wajah Asmi yang begitu pucat sekarang, ekspresi yang sama seperti ketika berhubungan dengannya ketika itu.

Bukankah dia sengaja mendekatinya? Lalu kenapa dia memasang wajah yang meminta belas kasihan seperti itu?

Awalnya Fredo ingin membantunya mengenakan kacamatanya, namun tiba-tiba dia mengurungkan niatnya, dia menyodorkan kacamata ke tangan Asmi dengan acuh, ketika bersentuhan, dia bisa merasakan tangan Asmi yang begitu dingin, dingin yang begitu menusuk, membuat Fredo tercengang.

Sebenarnya yang manakah dirinya yang sebenarnya?

Akhirnya Asmi keluar dari ruang yang membuatnya sesak, diluar pintu ada Tanu, ekspresinya terlihat penuh perhatian.

Asmi mengangkat wajahnya yang lelah untuk meliriknya, lalu lanjut menundukkan kepalanya kembali, berjalan lurus menuju meja kerjanya.

Tanu tidak tahu apa yang terjadi sampai membuat Asmi begitu putus asa, dia melihat Asmi membenamkan wajahnya di bajunya yang hitam, punggungnya terlihat jelas naik turun.

“Apa yang kamu lakukan pada Asmi ?” dia tidak pernah bicara dengan bicara seperti ini terhadap Fredo, begitu ia masuk langsung melihat tubuh tinggi Fredo yang sedang berdiri didepan jendela.

Langit biru dibalik kaca memantul di bola matanya, membuatnya terlihat bagaikan tembaga yang begitu dingin, namun juga begitu lembut bagaikan air, begitu rumit sampai sulit untuk dimengerti.

Tanu dibuat bingung oleh keheningan Fredo, dia tidak mengerti kenapa Fredo selalu mencari masalah dengan Asmi, dimatanya Asmi adalah sekuntum bunga lily yang bersih dan suci, yang membuat salah satu sudut di relung hatinya cerah bagaikan musim semi.

“Tanu, apakah kamu mengerti?” dibalik suara Fredo yang kasar terdengar kebimbangan, wajahnya begitu tegas, hanya ketika dia marah baru bisa muncul ekspresi seperti itu, Tanu sangat tahu persis perubahan ekspresi Fredo .

Dia sungguh tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Dek Asmi itu sampai mengusik orang yang berwajah dingin dan berhati panas seperti Fredo ?

“Aku memang tidak mengerti apa yang terjadi diantara kalian, aku juga tidak ingin tahu bagaimana kamu mengganggu Asmi, aku hanya ingin memberitahumu, mungkin yang kamu lihat hanya sisi buruk Asmi, namun yang kulihat justru sisi cantiknya. Aku harap kamu tidak melihat buku hanya dari sampulnya saja.” Tanu berkata apa adanya tanpa memperdulikan mata Fredo yang memelototinya dengan seram.

“Kamu mengerti? Kamu tahu tidak? Apakah kamu tahu betapa glamournya dia? Kamu tahu baru saja disini, tepat diatas meja ini terjadi apa?” ketika mengatakan ini tatapan mata Fredo begitu berapi-api.

Tanu mendengarnya sampai tercengang, dia sungguh tidak berani membayangkan apa yang terjadi sebelum ia mengetuk pintu, tiba-tiba udara di kantor ini terasa begitu pengap.

Benarkan ini? Sebenarnya siapa yang menggoda siapa?

Dan jika itu seperti yang di katakan oleh Fredo, Asmi memiliki niat terselubung, apakah dia hanya menyamar menjadi jelek untuk mendekatinya?

“bos Fredo?” Tanu berjalan kedepan meja kerja Fredo dengan wajah tidak percaya, menarik kursi dan duduk disana, ia membelalakkan mata dengan besar dan menatap dalam mata Fredo .

Hanya mata yang tidak akan bisa berbohong, Tanu percaya mata Fredo tidak akan berbohong padanya.

Mata Fredo begitu jernih, sama sekali tidak terlihat kekhawatiran dimatanya, Tanu malah merasa didalam tatapan mata Fredo hanya ada rasa lelah dan sedikit rasa terluka.

“bos Fredo, aku tidak tahu ada pertikaian dan juga masalah apa diantara kamu dan juga Asmi, aku hanya berharap kamu jangan menyakitinya, pandanglah pertemanan kita yang sudah 20 tahun lebih ini.” Tangan Tanu diletakkan diatas tangan tangan Fredo yang jenjang, menepuknya dengan sopan, lalu berjalan keluar tanpa menoleh.

Ruang kantor kembali terasa hening.

Ruang kantor Fredo berada dilantai teratas gedung, lantai 77, seluruh gedung ini adalah milik Marini Grup, dari lantai dasar sampai lantai 76 digunakan oleh Marini Grup sendiri, ditengah ada kantin perusahaan, ruang istirahat, ruang gym, semua perlengkapan gym lengkap ada disini.

Lantai 77, hanya ada ruang Fredo dan juga sekretaris presdir yang berada di luar ruang kantornya. Fredo berdiri didepan jendela yang luas dan tinggi, tangannya menyilang di depan dadanya, dia selalu berekspresi begitu angkuh, terutama ketika berada dikantor, dia selalu terlihat begitu tinggi dan tidak tergapai.

“Jangan, jangan.” Suara Asmi terus menggema di telinganya, tangan Fredo diletakkan di kaca jendela, kepalanya bersandar disana.

Hanya waktu beberapa hari yang pendek, bagaimana bisa hatinya dibuat menjadi begitu kacau oleh seorang wanita yang begitu buruk rupa? Menghadapi Anisa yang setiap hari datang memeriksanya, dia bisa menghadapiny dengan banyak cara, namun menghadapi Asmi si wanita bodoh itu, kenapa dia malah tidak tahu harus bagaimana menghadapinya?

Tangan kiri Fredo memukul kaca dengan kuat.

Diluar pintu kayu ukir yang besar itu, tidak peduli bagaimanapun Tanu bertanya, Asmi tetap tidak mengangkat kepalanya, dia terus membenamkan kepalanya dibalik tumpukkan dokumen yang begitu tinggi, tumpukkan file dokumen menghalangi pandangan Tanu, matanya turun menunduk, sama sekali tidak berani menatap Tanu meskipun hanya satu kali.

“Asmi.” Tanu berusaha keras menyingkirkan tumpukan file diantara mereka, namun di tahan oleh Asmi dengan erat sampai sama sekali tidak bergeming.

Tanu hanya bisa menyerah, melihat rambut Asmi yang berantakan, tanpa sadar hatinya terasa begitu terluka, apakah apa yang dikatakan oleh bos Fredo benar?

Benarkan Asmi adalah wanita yang begitu tidak tahu malu? Tanu tidak percaya pada apa yang ia lihat, dia merasa pasti ada sesuatu dibalik ini yang tidak ia ketahui.

Tangan Asmi terus memegang tumpukan file dengan erat, menghadangnya dihadapan mereka, Tanu hanya bisa menghela dengan tidak berdaya, lalu pergi dari sisi Asmi dengan kecewa.

Asmi menunggu sampai di lantai 77 tidak ada gerakan lagi baru memperlihatkan matanya dari balik tumpukan dokumen, sepasang mata yang penuh dengan rasa takut, tadi dia sudah menangis, dibalik bingkai kacamata hitam, kelopak matanya sudah bengkak karena menangis, kepangnya juga sudah berantakan.

Dia melepaskan dokumen perlahan, tidak tahu harus melakukan apa, ketika ikut Fredo ke acara perta waktu itu, dirinya masih bisa kabur tanpa ada yang memperhatikan, tapi kali ini dia harus kabur kemana, kabur darimana.

Dia mengambil tas kainnya dengan lemas dan berjalan ke dalam kamar mandi, di lantai 77 selain presdir dan Tanu, Anisa, biasanya tidak sembarangan orang bisa naik.

Didalam kamar mandi hanya terdengar suara air mengalir, Asmi melihat dirinya yang berada dalam cermin, wajah yang pucat, rambut di kepangannya banyak yang sudah sampai keluar dari ikatan, terlihat seperti hantu wanita.

Asmi mengambil air dingin dan membasuh wajahnya, otaknya yang kacau seketika menjadi jauh lebih jernih, ia lalu menyirami wajahnya beberapa kali lagi.

Bisa begitu dengan dengan Fredo, bukankah ini adalah hal yang selalu ia impikan? Asmi melihat cermin yang penuh bintik air, perlahan membuka kepang rambutnya, mengeluarkan sisir dari tas kainnya, satu per satu rambut yang kusut ia sisir, lalu kembali mengepang rambutnya di kedua sisi bahunya.

Sudah sepuluh tahun, Asmi sudah terbiasa, dia tidak akan melupakan tatapan mata yang pebuh perhatian sepuluh tahun yang lalu.

Sepeluh tahun yang lalu dia hanya memberinya waktu yang begitu singkat. Membuatnya bersedia mencintainya seumur hidupnya. Meskipun itu hanya rasa malu yang ia berikan untuk dirinya sendiri.

“Cepat katakan kalau kamu menginnginkannya.” Suara Fredo yang serak dan rendah menggema di telinganya, membuatnya merinding.

Kenapa Fredo selalu memaksanya melakukan yang tidak ingin ia lakukan, kenapa dia selalu menganggap kalau dirinya sedang menggodanya?

Asmi sungguh tidak mengerti, namun, sekarang, dirinya sekarang sudah berjarak begitu dekat darinya, ini adalah hal yang paling ia harapkan selama sepuluh tahun, hal yang selalu ia impikan bukan?

Setelah Asmi merapikan diri, penampilannya yang bodoh dan polos kembali terlihat didalam cermin, dia masih punya banyak hal yang harus dikerjakan.

Selama ia menjadi sekretaris presdir satu hari, maka ia harus melakukan tugasnya dengan baik selama satu hari itu, ini adalah prinsip hidupnya.

Novel Terkait

Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Awesome Husband

Awesome Husband

Edison
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
5 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu