Asisten Wanita Ndeso - Bab 48 Tokoh Utama

Tatapan Fredo senantiasa mengitari Asmi, dia tidak tahu mengapa Asmi begitu asyik mengobrol dengan Joe . Sambil berbincang dengan para tetinggi perusahaan, Fredo mengarahkan tatapannya pada Asmi.

Pakaian Asmi hari ini sangat cocok dengan dirinya, Fredo merasa pandangan matanya sangat tajam, hanya dengan satu lirikan saja, dia pun tahu Asmi akan menjadi pusat perhatian dalam acara pesta jika mengenakan gaun panjang seperti itu.

Jika rambut Asmi disanggul, maka dia pasti akan memancarkan hawa anggun dan elegan, baik dari dalam maupun dari luar.

Fredo teringat akan ayahnya, setiap gerak-geriknya begitu mempesona, tidak heran Asmi adalah anak dari keluarga Fajar. Namun, apakah perbuatannya sekarang ini, meskipun bukan dari ibu yang sama, tetapi dia memiliki ayah yang sama dengan Asmi, dia tidak bisa terus seperti ini.

Fredo memutuskan untuk tidak lagi mengusik Asmi, lupakan saja sementara waktu apakah Asmi memiliki rencana jahat, karena sekarang sudah harmonis, maka pertahankanlah untuk sementara waktu.

Acara pesta sangat meriah, semuanya dari perusahaan yang sama, tetapi jarang sekali bertatap muka. Di acara seperti ini, pasti harus minum beberapa gelas minuman beralkohol. Di tengah lampu yang bersinar, wajah setiap orang menjadi merah, Asmi merasa udara di aula ini menipis, dan dia hampir sesak napas.

Joe sudah lama ditarik pergi untuk minum minuman beralkohol, Asmi duduk menyendiri di sofa empok di pojokan sambil melihat orang di sekitar. Entah beberapa orang yang berkumpul untuk minum bersama, entah pria dan wanita yang berpelukan dan berdansa. Melihat bayangan orang yang lalu-lalang, Asmi merasa sedikit sumpek, dan ingin pergi keluar untuk jalan-jalan.

Gaun Asmi sangat panjang, masih baik jika berjalan di tanah datar, karena tidak perlu menjinjing ujung gaun yang kepanjangan. Namun berjalan keluar dari pintu hotel, perlu melewati anak tangga yang sangat panjang, Asmi berjalan dengan sedikit kesusahan.

Tadi ketika berjalan turun dari lantai atas, untunglah ada Fredo sehingga dia tidak perlu memikirkan gaun panjangnya, tetapi sekarang dia hanya bisa berjuang sendiri.

Cahaya lampu bersinar terang di dalam hotel, lampu gantung kristal besar memancarkan sinar harmonis yang memukau, Asmi hampir tenggelam ke dalamnya.

Asmi berjalan keluar dari aula dengan hati-hati, dan merapikan gaunnya. Ada harga yang harus dibayar untuk kecantikan. Asmi lebih menikmati kehidupannya yang dulu, bisa berpakaian dengan bebas, tidak terkekang, dan tidak perlu memikirkan bagaimana orang lain memandang dirinya.

Namun sekarang, begitu banyak orang yang memperhatikan dirinya, tetapi hanya hatinya yang tahu seberapa tidak nyaman dia berpakaian seperti ini.

Untung saja dia tidak mengenakan sepatu hak tinggi, jika mengenakan sepatu hak tinggi yang setinggi tujuh sentimeter, mungkin dia tidak akan bisa berjalan selangkah pun.

Asmi bersyukur bahwa Sasa Lin juga tidak suka mengenakan sepatu hak tinggi, kalau tidak, Sasa Lin pasti akan menyuruhnya mengenakan sepatu hak tingggi. Asmi pernah membaca artikel dari majalah, sepatu hak tinggi sudah menjadi kesukaan para wanita sekarang. Dengan adanya sepatu hak tinggi, tinggi badan pun akan bertambah enam atau tujuh sentimeter.

Jalanan di kota Seoul pada malam hari tidak jauh berbeda dengan kota yang ditinggali Asmi, penuh dengan gedung tinggi dan lampu neon yang berkelap-kelip, tetapi orangnya jauh lebih lebih sedikit. Asmi sering menonton drama Korea, tahu bahwa konsep kekeluargaan orang Korea jauh lebih pekat daripada orang China.

Hal ini sangat membuat Asmi iri, kehidupan yang dia dambakan adalah setelah pulang kerja setiap harinya, sekeluarga duduk mengitari untuk makan, mengobrol, atau menonton televisi bersama-sama. Ini adalah kehidupan yang paling dia sukai.

Angin musim panas datang menyerbu, bercampur dengan aroma bunga, hati dan tubuh Asmi terasa nyaman sekali, inilah perasaan yang dia inginkan. Dia ingin sekali segera pulang untuk berganti pakaian, lalu berbaur ke dalam jalanan Korea dengan leluasa.

Asmi tidak tahan untuk berjalan menuruni tangga, memangnya kenapa dengan mengenakan pakaian ini? Rasanya jauh lebih baik daripada tinggal di dalam sana. Asmi menuruni anak tangga dengan hati-hati, dia tersenyum karena melewati beberapa anak tangga dengan lancar, dan mulutnya sedikit terbuka karena gelisah.

Tiba-tiba, Asmi tidak sengaja menginjak ujung gaunnya sendiri, dan badannya mengarah ke depan dengan tak terkendali. Tangan Asmi melambai-lambai di udara, berusaha untuk berpegangan pada sesuatu, tetapi tidak ada apa-apa. Asmi kecewa sekali, dan dia memejamkan mata.

Dalam keadaan tidak berdaya, mungkin semua orang akan seperti itu, otak Asmi kosong, dan hanya bisa membiarkan badannya bergerak sendiri ke depan. Tepat ketika dia merasa sudah kehilangan harapan, sebuah tangan besar menarik badannya yang mengarah ke depan, lalu dia bersandar ke dalam pelukan yang lembut dan hangat.

Aroma itu begitu familiar, Asmi langsung teringat akan sosok bayangan yang ternyiang-nyiang di dalam benaknya. Namun, ketika dia berjalan keluar, jelas-jelas pria itu masih sedang mengobrol dengan atasan perusahaan cabang. Asmi membuka mata dengan tidak percaya.

Mata Fredo yang menatapnya penuh dengan amarah, “Kamu tidak tinggal di dalam sana, untuk apa berkeliaran di luar sini?” Asmi menempel erat pada dada Fredo, perkataan Fredo yang membawa kehangatan pun merambat dari telinga Asmi hingga ke seluruh badannya.

“Udara di dalam pengap sekali, aku ingin keluar untuk jalan-jalan.” Asmi tidak berani mendongak menatap Fredo, dia takut dia akan meleleh dalam kehangatannya.

“Lebih baik jangan sering keluar, kamu juga tidak kenal dengan tempat di Korea, bagaimana jika bertemu dengan penjahat? Aku tidak ingin mengurus masalah seperti itu untukmu.” Asmi tahu, wajah Fredo pasti sangat masam.

Asmi tidak menjawab, hanya mengangguk dalam pelukan Fredo, dadanya besar namun hangat, semakin membuat Asmi sesak napas. Ini adalah hal yang paling ingin dia lakukan dalam setiap mimpinya, dan sekarang pun telah terwujudkan.

Fredo merasa Asmi yang berada dalam pelukannya begitu lembut dan menggoda, berbeda dengan kecantikan ketika bersetubuh pada beberapa kali sebelumnya, kelembutan dan kesipuan itu semakin membuat hatinya tergoyahkan, Fredo hampir tidak bisa menahan hasratnya lagi.

Asmi sangat menikmati, samar-samar dia merasa lengan Fredo semakin kuat, maka dia semakin mendekat dengannya. Buah dadanya menempel erat dengan Fredo, Asmi merasa hatinya berdegup dengan kencang, dan wajahnya merona merah.

Fredo perlahan-lahan menundukkan kepala, “Asmi, mengapa kamu selalu menggodaku?” Matanya dalam bagaikan air danau, membuat Asmi tenggelam ke dalamnya.

Asmi merasakan hidung Fredo semakin dekat dengannya, dia merasakan hawa kejantanan yang pekat dari Fredo, dan napasnya yang memberat. Dia merasa takut, bayangan gelap dari beberapa kali sebelumnya terus ternyiang-nyiang dalam benaknya.

Ketika Fredo perlahan-lahan mendekatinya, Asmi meronta, ingin melepaskan diri dari pelukan Fredo, tetapi semakin dia meronta, semakin erat pelukan Fredo.

“Bukankah ini yang kamu inginkan?” kata Fredo dengan ganas. Wajahnya menjadi semakin bengis, kepalanya tertunduk, lalu dia mencium bibir Asmi. Dia mencium dengan kuat, ingin menerobos pertahanan Asmi yang erat.

Asmi berjuang untuk melawan, tetapi sekujur tubuhnya tidak bertenaga. Tangan Fredo meraba dengan bebas di badannya, Asmi merasa setiap tempat yang dilalui tangannya terasa panas, dan badannya pun akan membara.

Asmi berusaha mempertahankan tanahnya sendiri, semakin dia mengeratkan bibir, semakin kuat serangan Fredo.

Lidah Fredo berusaha menggoda Asmi, tetapi Asmi sudah bertekad untuk melawan sampai akhir, kalaupun bertolak belakang dengan isi hatinya. Tanagn besar Fredo menjelajah di buah dada Asmi, dan meremasnya dengan kuat. Asmi pun membuka mulut dan berseru. Fredo mengambil ksempatan, lidahnya yang lincah sudah masuk ke dalam mulut Asmi.

Asmi kesal sekali, tetapi sudah terlambat, maka dia hanya bisa melawan. Dia mengatupkan giginya, dan merasakan aroma darah di dalam mulutnya.

“Dasar kamu wanita gila.” Fredo langsung mendorong Asmi, Asmi terhuyung dan hampir terjatuh. Wajah Fredo muram sekali, wajahnya penuh dengan api kemarahan, dan matanya membelalak, seolah-olah ingin melahap Asmi.

Asmi bergidik melihat Fredo yang seperti itu, bahkan ketika mereka sedang berkonflik, dia juga tidak pernah melihat Fredo yang begitu gusar.

Secara tidak sadar, Asmi mundur beberapa langkah, tetapi ekspresi Fredo tidak berubah. Asmi sadar bahwa dia benar-benar melukai Fredo.

“Aku, aku bukan sengaja.” Suara Asmi bergetar, dan badannya juga gemetaran, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Fredo selanjutnya.

“Huh.” Fredo tidak berbicara, melainkan mengeluarkan suara meremehkan dari hidung, dan menatap Asmi dengan hina, “Asmi, untuk apa? Kamu adalah wanita seperti itu, untuk apa menutupinya?” Fredo selamanya tidak akan melupakan tampang Asmi yang jalang ketika pertama kali bertemu.

Asmi merasa Fredo sedang memandang hina padanya, atau bisa dikatakan, sepertinya Fredo menganggap dia sebagai wanita yang tidak senonoh. Asmi merasa bingung, setelah berinteraksi sekian lama, mengapa dia tetap tidak memahaminya?

Asmi menundukkan kepala dengan putus asa, tadi dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, sekarang badannya yang tidak bertenaga bersandar di dinding luar hotel.

“Asmi, kamu paling tahu kamu adalah wanita seperti apa, janganlah memasang tampang polos dan tampang kasihan untuk membuat orang lain perhatian padamu. Tunjukkan saja tampangmu yang sebenarnya, terus berpura-pura seperti ini, tidakkah kamu merasa lelah?” Fredo merasa sudah tidak ada lagi yang bisa disembunyikan Asmi.

Lebih baik dibicarakan secara terbuka saja. Fredo melihat ke dalam mata Asmi yang penuh dengan perasaan tidak berdaya, Asmi tidak mengenakan kacamata pada hari ini, untuk pertama kalinya dia melihat bahwa mata Asmi begitu indah, dan hatinya pun tergerakkan lagi.

Asmi tidak mengenakan kacamata pada hari ini, saat ini dia hanya bisa melihat wajah Fredo dengan samar-samar. Awalnya dia sudah mengenakan kacamata setelah berganti pakaian, kacamata itu dipilihkan secara khusus oleh Anisa Lim untuknya sebelum datang ke Korea, sangat cocok dengan pekerja kerah putih.

Namun setelah dia mengenakan gaun pesta yang anggun ini, dia menyadari bahwa kacamata yang sebagus apapun juga sudah tidak bisa dipakai lagi, maka dia melepaskan kacamata itu, dan meletakkannya di atas meja di kamar hotel.

Semalaman ini, dia merasa pandangannya sedikit linglung, selain Fredo yang senantiasa jelas terlihat posisinya di dalam matanya, orang-orang yang memang tidak dia kenal, saat ini menjadi semakin buram.

Di dalam aula tetap hiruk-pikuk, tidak ada yang tahu bahwa di luar sana, bos Fajar mereka sedang berkonflik dengan Asmi si sekretaris. Mata Fredo berwarna hitam pekat, untuk pertama kalinya Asmi bertatap mata dengannya dengan begitu dekat, tidak tahu dari mana datangnya keberanian dan tenaganya.

Fredo menarik kembali pikirannya, lidahnya terasa sakit karena gigitan Asmi tadi, dan di dalam mulutnya terasa tidak enak, wajahnya menjadi semakin suram, “Asmi.” Freedo Fajar lebih seperti berteriak daripada berbicara.

“Kamu tidak perlu berpura-pura suci di sini, apakah kamu sudah lupa dengan saat ketika kita sedang bersama?” Mata Fredo memancarkan senyum bengis, kelembapan dan keeratan Asmi membuat badannya timbul sedikit reaksi.

Asmi menatap bengong kepada Fredo, mengapa Fredo selalu menebar garam di atas lukanya? Itu adalah saat ketika dia enggan, mengapa Fredo selalu mengungkitnya? Air mata mengalir turun dari pipi Asmi dengan tanpa suara, hatinya bagaikan digerogoti oleh ribuan serangga, terasa begitu sakit.

Fredo memalingkan wajah, “Lebih baik kamu menjauh dengan Joe , dia tidaklah seperti yang kamu bayangkan.” Fredo berkata dengan dingin, lalu berbalik badan dan pergi.

Sekujur tubuh Asmi terasa dingin sekali, dia memeluk pundaknya sendiri dengan kedua tangan, dan memasuki hotel dengan gemetaran. Saat ini adalah saat orang-orang paling bergairah di dalam aula, tidak ada orang yang memperhatikan Asmi yang sedang bersedih. Fredo duduk menyendiri sambil minum, matanya melirik, dan dia melihat sosok Asmi yang kesepian.

“Huh.” Fredo mencibir, dia memperingatkan dirinya untuk jangan melunak hatinya. Asmi adalah wanita yang tidak jelas asal-asulnya, dan selalu menebar pesona di mana-mana, dia pasti berbeda dengan penampilannya.

Setelah mencarikan alasan untuk dirinya, hati Fredo pun tenang. Dia bersyukur Anisa Lim tidak berada di sisinya, dengan tidak ada Anisa Lim, dia merasa jauh lebih sunyi.

Fredo mengangkat telepon, di saat kaki Anisa Lim terluka, bagaimanapun dia juga seharusnya menghiburnya.

Berbeda dengan nada bicara yang kaku pada biasanya, Fredo berkata dengan lembut, “Anisa Lim, apakah sudah merasa lebih baik?” Bahkan Fredo juga tidak tahu dari mana datangnya kesabaran dan emsoinya yang baik.

Dari dulu emosinya sangat buruk, dalam pekerjaan, Tanu mereka sudah mengetahui seberapa tidak sabar dan seberapa buruk emosinya.

“Kak Fajar, apakah kamu sudah sampai? Kenapa tidak menelepon aku, aku bosan sekali di dalam rumah dan tidak bisa keluar.” Suara Anisa Lim begitu centil, Fredo bisa membayangkan ekspresi Anisa Lim yang bermanja sambil mengerutkan bibir.

“Anisa Lim, aku terlalu sibuk, sampai tidak sempat beristirahat setelah turun dari pesawat. Kamu istirahat baik-baik di rumah, aku akan pulang tiga hari lagi.” Fredo berkedip, tiga hari, dia akan tinggal di sini tiga hari bersama Asmi.

Pergi dinas bersama adalah saat yang paling mudah terjadi sesuatu pada pekerja kerah putih, seperti drama Korea, mereka berhubungan seksual dalam perjalanan dinas ke Thailand.

“Kak Fajar, kenapa kamu tidak bersuara?” Tidak mendengar suara Fredo, Anisa Lim merasa cemas sekali, dia sangat ingin kakinya lekas sembuh dan pergi mencari Fredo..

“Tidak apa-apa, Anisa Lim, sekarang aku berada di aula acara pesta, aku akan meneleponmu lagi setelah pulang.” Fredo menutup telepon, ini adalah kebiasan buruknya, langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban orang lain.

Anisa Lim tak hentinya mendesah di sebelah sana, dalam matanya, Fredo adalah orang yang dia pandang tinggi, dia selalu berusaha untuk mendekatinya, tetapi dia selalu merasa ada jarak di antara mereka.

Ini sangat membuat Anisa Lim pusing kepala, kapankah Fredo akan menerimanya dari dalam lubuk hati?

Novel Terkait

Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu