That Night - Bab 86 Mendesak Terus

Owen tidak bisa menahan tawanya mendengar perkataan ini, aku juga merasa gembira dan di luar dugaan, tak disangka Valen benar-benar melahirkan anak itu.

Tapi saat berpikir kembali aku pun mengerti ada apa sebenarnya.

Daniel dan Tina itu orangnya curigaan, perkataan Owen pas di pernikahan, tambah lagi aku memberikan rekaman percakapan aku sama Valen ke Daniel, sehebat apa pun si Valen, Daniel tidak mungkin masih akan mempercayainya.

Dan mereka tidak membongkar dari awal, mungkin karena tunggu Valen melahirkan anak ini dulu, lalu baru jadikan anak ini sebagai bukti Valen berselingkuh, baru bisa membuat Valen lebih sengsara lagi.

Aku mau tak mau akui Daniel sungguh tega, dia sampai bisa mencari ibu aku dan mengatakan perkataan itu, pasti hari-hari Valen sungguh tak enak sekarang. Apakah Valen pernah membayangkan dia juga akan ada hari seperti ini waktu dia menertawakan aku dicampakkan oleh Owen?

Ibuku yang lagi memaki-maki di balik telepon itu berjeda sejenak, sepertinya ia sadar perkataannya juga agak tidak patut dikatakan, “Owen, omongan aku tak bermaksud lain, kamu harus baik-baik saja sama Eva.”

“Eva itu anak yang jujur, tidak punya niatan hati yang aneh-aneh, aku cuma khawatir habis dia dibohongi sama Daniel, lalu kamu...... hadeh......”

“Bu, aku mengerti kok, ibu tenang saja.” Owen berkata dengan suara berat lalu mendorongku ke rangkulannya.

Kemudian dia menenangkan ibuku lagi, berjanji akan secepatnya membawa aku pulang untuk membesuknya, ibuku yang dihibur demikian pun sangat gembira, sampai akhirnya menutup telepon setelah menasihati beberapa patah.

Suasana di kamar terasa agak aneh, Owen melihat aku sambil mengangkat alis, dari matanya tampak rasa bangga yang tak bisa dipendamnya. “Ibu suruh kita cepat pulang.”

Aku melototinya, kalau pelototan mata ini mampu melukai, mungkin sudah akan meninggalkan luka dua lubang di tubuh Owen. “Itu ibu aku, bukan ibu kamu!”

Aku meralat dia tanpa sungkan, Owen malah tidak mengindahkannya, lalu ia buka kamera handphone, “Yuk sini, kita foto, nanti kirim ke ibu biar dia tidak cemas.”

Dia berkata seolah tidak ada siapa-siapa di sekitar, lalu merangkulku dengan erat, air muka Wiri yang di samping sudah sangat suram. Ia mencibir dan menegakkan dadanya, kelihatannya sedang berusaha bersabar.

Hatiku agak cemas, dan tidak ingin berfoto dengan Owen, sehingga aku meronta, “Lepasin aku.”

“Eva, aku pergi dulu.” Tiba-tiba Wiri berkata dengan suara berat, pandanganku masih melekat di dirinya, tapi dia malah langsung pergi tanpa menoleh lagi.

Terdengar suara pintu ditutup, hatiku juga seperti habis ditinju dengan kuat. Dalam waktu hampir bersamaan, Owen melepaskan rangkulannya, tawa yang ada di mukanya tadi juga tak ada lagi.

Dia banting handphone aku, “Piiaanggg” handphoneku jatuh di atas sofa seperti sebuah peluru.

Pelan-pelan aku mengangkat kepala melihat Owen, dengan muka menghitam ia mengeluarkan kotak rokok dan merokok.

“Kamu peduli banget sama dia.” Dia berkata dengan suara berat.

Aku membasahi bibir, tarik napas dalam-dalam dan berkata terus terang, “Iya!”

Owen memicingkan mata, rokok di jarinya juga dijepit sampai bengkok, dia menatap aku sambil menggertak gigi, ia menghirup rokok itu dalam-dalam, “Eva, kamu selalu sengaja memancing emosiku.”

Hatiku menegang, dia menyadarinya.

Benar juga, Owen kan pintar, bagaimana mungkin dia tidak menyadari siasat aku.

“Jangan kira bisa buat aku menyerah dengan siasat seperti ini, ibu suruh kita pulang, kamu mau kapan?”

Aku mengernyitkan alis, hatiku bergelora tak jelas. Air muka Owen saat ini sangat suram sekali, perkataan yang keluar dari mulutnya juga begitu geram, begitu dingin sampai membuat hatiku gemetar.

Aku tidak tahu kenapa Owen tetap mempertahankan aku, kalau dia mencintai aku, kenapa harus dengan sikap yang begitu galak? Dan lagian aku juga sudah sengaja memancing emosinya, dan dengan sangat jelas Owen tidak puas sama aku, aku benar-benar tidak mengerti, kenapa sudah sampai seperti ini tapi masih saja bertahan.

“Owen, kita ngomong baik-baik, boleh?” Aku menatapnya, ingin mengetahui yang sesungguhnya.

“Ngomong saja, mau ngomong apa?” Dia menghela napas lagi. Dari balik asap mukanya menunjukkan kekesalan, seolah-olah sudah melalui banyak kepahitan.

“Harus bagaimana baru kamu mau melepaskan aku?”

“Seumur hidup ini jangan harap.”Dia menatapku sekilas, rokok di jarinya sudah hampir terbakar sampai ujung. Owen memadamkan rokoknya di gelas dan dibuangnya ke tempat sampah.

“Apa serunya kamu menyiksa aku kayak begini?” Aku membentaknya, “Aku tahu kamu jago, aku tahu tidak ada yang berani membantah kamu, apa kamu merasa tidak punya muka karena sudah ditolak sama aku, jadi dengan cara seperti ini untuk membuktikan keberadaan kamu?”

“Oke! aku akui, aku Eva Luo, suka sama kamu, sama sekali tidak bisa menolak kamu, aku mencintai kamu mati-matian, tapi aku juga rendah mati-matian!”

“Lepaskan aku boleh? Aku tak ingin dikatakan memanfaatkan kamu, tak ingin disikapi dengan dingin dan disindir sama keluargamu, temanmu, tak ingin memiliki cinta kamu yang luar biasa itu! Aku cuma orang biasa, aku ingin punya suami yang bisa saling mencintai, lepaskan aku, boleh gak?”

Air mataku tak henti-hentinya mengalir, hampir semua perkataanku itu kukeluarkan dengan teriakan.

Aku tidak ingin memberitahukan perasaanku yang paling lemah di hatiku ke dia, tapi Owen mendesak terus, dan perkataan yang dikatakan dia ke ibuku, membuat aku tidak tahu harus bagaimana.

Bertemu dengan Owen adalah keberuntungan, atau mungkin juga penderitaan aku di sepanjang hidup ini.

Aku sungguh tidak bisa melawannya, sebelumnya membayangkan bisa berbisnis sama Owen dengan adil tuh benar-benar harapan yang terlalu besar, kenyataannya adalah aku sudah kelabakan sejak pertama ketemu dia, seluruh diriku sudah terpecah-pecah.

Dia bagaikan matahari, selalu indah gemilang menyilaukan mata, yang seketika membuat gelap sekitarnya.

Aku tidak mampu menyamai dia, lebih tidak mampu lagi menahan perasaan aku. Aku rasa aku sungguh sudah sakit parah, rendah diri ini sudah tembus ke dalam tulang belulang, yang bukan bisa diselesaikan hanya dengan satu dua patah kata.

Owen terdiam oleh bentakan aku, ia termangu beberapa detik lalu memelukku dengan erat.

Aku menangis sejadi-jadinya, meronta sekuat tenaga untuk melepaskan pelukan Owen, tapi juga tanpa sadar enggan melepaskan kehangatan Owen. Dia memelukkan erat tanpa melepas tangan, perasaanku campur aduk membuat hatiku menderita, lalu ku gigit lengan Owen.

“Aaaooo......” Owen teriak kesakitan, ia mengernyitkan alis, tapi tidak melawan.

Hatiku menjadi agak tak tega, kulepas gigitanku.

“Lepasin aku, uhhh uhh......” Aku meronta lagi, memukul-mukul tak jelas di dalam pelukannya.

“Diam.” Owen mengernyitkan alis, lalu berkata dengan suara berat, “Kalau gerak-gerak lagi aku akan meniduri kamu.”

Aku tercekam, semakin kuat aku meronta, “Kamu lepasin aku! Keluar kamu, keluar......”

“Sialan!” Suara makian itu terdengar di telingaku.

Mungkin ini pertama kalinya mendengar Owen berkata kasar? Belum sempat aku mengembalikan perhatianku, seketika aku dibopong sama Owen.

Novel Terkait

You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
4 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
4 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu
Don't say goodbye

Don't say goodbye

Dessy Putri
Percintaan
5 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
4 tahun yang lalu