Ten Years - Bab 38 Perbedaan Cerita di Atas dan di Bawah Panggung (2)

Wesley kesal sekali mendengarnya: “Aku tidak mau lagi, ayo pergi, malam ini aku traktir, kita saksikan pentas opera!”

Kemudian, mereka pun mengenakan kaos sederhana, celana jeans sederhana, berjalan menuju teater yang terkenal di seluruh negeri. Beberapa hari ini, teater itu baru saja mendatangkan sebuah tim opera yang sangat terkenal dari Amerika, akan menampilkan total 33 kali opera, tidak lebih dan tidak kurang. Selesai menampilkan, langsung membereskan barang dan angkat kaki, sungguh teratur.

Aurora mencari berjam-jam, tak kunjung menemukan loket penjualan karcis.

Wesley menelepon sebentar, tidak lama kemudian, seseorang berpakaian jas tiba, menganggukkan kepala dan membungkukkan badan, sambil mengantarkan karcis.

Aurora menghela nafas melihatnya, “Pola pikirmu terlalu membanggakan diri.”

Wesley: “Ssttt, kamu ungkit nama Carter Wen, lihat saja apakah orang itu tidak lebih parah dariku!”

Aurora salah tingkah dibuatnya, benar juga rasanya. Dia segera menghampiri dan melihat karcis itu: “Apa nama operanya?”

Wesley melihatnya cukup lama, mengeja dengan suara datar: “M-U-S-E-S.”

Aurora menuliskan kata muses ke telapak tangannya.

…..Muses? Dewi Muses?

Keduanya duduk di baris depan, saling menatap satu sama lain, Muses dari negara kapitalisme memang lain dari yang lain, bahkan gaya berpakaiannya saja begitu kapitalisme.

Wesley membuka kedua mata dengan lebar: “Aurora, selain nada yang sedikit lebih tinggi, apakah kamu bisa mengerti apa yang mereka nyanyikan?”

Terdengar suara tawa yang meremehkan dari samping…

Wesley memegang popcorn dengan erat, berkata kesal: “Huh, mengerti Bahasa Inggris memang membanggakan ya, coba saja berbicara dalam Bahasa Afrika jika memang hebat! Sial, diskriminasi besar-besaran!” Matanya melotot besar.

Orang itu sama sekali tidak emosi.

Aurora hanya tersenyum: “Huh, perempuan sumber celaka.”

Wesley kebingungan: “Siapa yang kamu maksud?”

Aurora berpura-pura bodoh, menunjuk perempuan berkulit putih dan bergaun kuning sambil berkata: “Muses….”

Wesley menghadang telinga Aurora, bertanya dengan serius: “Siapa yang sudah dia celakai?”

Aurora berusaha menahan tawa: “Banyak sekali..”

Wesley melihat ke arah panggung, kebetulan tiba pada puncak opera, seorang pelukis muda yang miskin tidak sengaja bertemu Dewi Muses, terjadi cinta pandangan pertama.

Laki-laki berambut pirang itu berlutut dengan satu kaki: “Dewi yang aku hormati, kenapa kamu cantik sekali, kamu telah merebut seluruh bagian hatiku tanpa tersisa. Rambut perakmu adalah cahaya suci dan menyilakukan bagiku.”

“Sekelilingku gelap karena matamu, wahai Dewiku, semua cahaya di dunia ini menjadi gelap karenamu. Dewi yang mulia memberikanku kepintaran, malah aku tinggalkan, aku merindukan bibir merahmu dengan sepenuh tulang dan jiwa, itu adalah bunga terindah di dunia ini.

“Saat angin pagi berhembus, cahaya matahari menyinari bumi, aku membuka jendela, kamu turun ke dunia, membawa kasih seorang Dewi dan keheranan pada dunia, meminta Venus tersenyum padaku, mendorongku ke dalam neraka berapi. Demi cinta, hidup mati kekal dan abadi!”

Muses memegang buku khusus mengatur inspirasi manusia, bersikap tegas: “Lucifer yang tercinta, kamu hanya mencintai sebagian dari tubuhmu----- itu adalah inspirasi yang misterius dan tidak bisa dimengerti untuk selamanya. Semua penyair, pelukis, pemusik, dan penulis sejarah selalu mengungkapkan cintanya padaku. Oleh karena itu, atas nama para Dewa dan Dewi, aku akan memberikan inspirasi padamu.”

Lucifer terdiam.

Muses tersenyum, mengayunkan tongkat dewi dengan alami dan penuh wibawa, mendatangkan inspirasi ke diri Lucifer.

Cerita berakhir.

Wesley terlihat sedikit kecewa: “Begini saja sudah berakhir?”

Aurora melihat jam dinding yang tergantung di empat sisi, berkata: “Seharusnya masih ada satu opera lanjutannya.”

Pada opera terakhir, yang menjadi sorotan masih saja Lucifer yang bernasib miskin. Dia tidak meraih kebanggaan dan wibawa tinggi berkat inspirasi yang diberikan Muses.

Dia tetap saja berjalan di sebuah gang kumuh, dengan gerakan perlahan dan kebingungan melihat empat sisi. Demi sebuah roti berkulit kasar, dia mengerjakan pekerjaan berat apapun.

Semua waktu yang panjang, yang disimpan demi melukis, kini digunakan untuk melamun, lalu, mendapatkan tawa dan sindiran besar-besaran dari Muses di dalam istana dewi.

Saat dia turun lagi ke dunia manusia demi menebarkan inspirasi pada penyair lain, laki-laki bernama Lucifer itu sudah kembali ke tanah untuk selamanya.

Melihat batu nisan itu, wajah Dewi yang selalu cantik dan tidak mungkin menua menjadi usang dalam sekejap, dalam hati merasa sangat pedih.

Tertulis kalimat di atasnya: “Orang gila yang lucu, pelukis yang membutakan kedua mata sendiri ---- Lucifer.

Dia tidak menginginkan inspirasi darinya, dia lebih memilih untuk tidak melihat inspirasi sendiri. Laki-laki yang meninggalkan karir pelukis, Lucifer yang berhati sangat suci, panik dan kehabisan akal saat melihat sosok indah yang turun saat pagi hari tiba, Lucifer yang polos dan tenggelam dalam lautan cinta.

Berakhir untuk selamanya.

“Laki-laki itu, bodoh sekali.” Aurora menggelengkan kepala.

“Dewi itu, jahat sekali.” Wesley menghela nafas.

Keduanya saling bertatapan, lalu tertawa.

Aurora selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang perempuan, sedangkan Wesley membawa pola pikir seorang laki-laki.

Novel Terkait

Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
4 tahun yang lalu

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu

Cutie Mom

Alexia
CEO
4 tahun yang lalu

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
3 tahun yang lalu

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu