Ten Years - Bab 11 Aku Bukan Siapa-Siapa (2)

"Kamar ini terlalu besar, aku tidak terbiasa." Aurora tersenyum menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu......beri kamu kamar yang kecil sedikit, gimana?" Calvin menjilat bibirnya yang kering, bertanya dengan hati-hati.

"Baik." Aurora tertawa.

Mata Calvin bersinar, menghela nafas lega, lesung pipitnya terlihat.

"Zoey, kapan pulang?" suaranya sangat lembut, meskipun bibirnya tipis, tapi tidak tajam ketika tersenyum.

"Sore ini." Calvin berkata, namun tiba-tiba merasa dirinya salah bicara.

"Boleh pindah sekarang?" Aurora membuka lebar pintu kamarnya.

Di dalam, hampir tidak ada bekas keberadaannya, tetap seperti ketika Zoey tinggal di dalam. Di kasur, terletak dua tas besar yang ditaruh dengan rapi.

Aurora sudah mempersiapkan semua hal dari awal, berpura-pura tidak tahu dan menunggu.

Namun mata Calvin perlahan-lahan berubah dingin, seluruh kecemasannya, seluruh kata-katanya, seluruh kegelisahannya, saat ini terlihat sangat lucu.

Selama ini dia tidak berani seperti anggota keluarga yang lain, menganggap Aurora bodoh atau pintar, namun jelas terlihat, kecerdasannya melewati perkiraannya, mengerti maksud orang lain sampai membuat orang merasa dingin.

Calvin mondar mandir gelisah di depan kamarnya sekian lama, begitu cemas dan merasa bersalah, namun seketika menghilang.

Calvin merasa marah, ekspresinya dingin, berkata datar: "Apa yang kamu inginkan, aku akan menebusnya di lain hari."

Aurora membeku, kemudian tersenyum pahit, tidak tahu harus melakukan apa.

Begitu tahu Aurora pindah ke kamar tamu, Kakek Wen marah: "Calvin Wen, siapa Aurora? Kamu beritahu aku!" wajah kakek keras dan dingin menatapi Calvin.

"Kakek, kakek jangan marah, ini salahku, kakak hanya........" Zoey berdiri di samping, hampir menangis.

"Aku bukan kakekmu, kalau kamu benar-benar ingin memanggilku, panggil saja 'Kakek Wen'!" Kakek Wen tidak melihat Zoey, matanya memelototi Calvin dengan tajam.

Calvin mengepal erat tangannya, menatapi Kakek Wen dan berkata: "Kakek kalau bukan kakek Zoey, otomatis juga bukan kakekku!"

Kakek Wen sangat marah, dia mengulurkan tangan dan menampar wajah Calvin.

Calvin sama sekali tidak menghindar, dia mendongakkan kepalanya dan menerima tamparan Kakek. Seketika, 5 jari bekas tamparan muncul di wajah Calvin.

Kakek Wen meskipun sangat tegas terhadap cucunya, tapi selama ini tidak pernah memukulnya sedikitpun, karena itu, memukulnya seperti ini, hatinya marah namun juga sedih.

"Aurora adalah adik kandungmu, kamu tahu tidak!" Kakek merasa hatinya sangat sakit, dia menarik tangan Aurora, dan memberdirikan Aurora di depannya.

"Kakek, Zoey siapa?" Calvin berkata, suaranya berubah sesenggukan.

Suara Kakek Wen terdengar tua dan sedih, dia menggenggam tangan Zoey, berkata ringan: "Anak baik, anggap saja keluarga Wen berhutang padamu. Kamu punya takdirmu sendiri, jangan bersikeras lagi."

Aurora menatapi Zoey.

Wajah Zoey seketika memucat, menatapi Kakek Wen, matanya basah. Dia tertawa dan membuka mulut, kata-katanya belum keluar, air matanya sudah mengalir keluar lebih dulu, dia menggenggam tangan Aurora dengan erat, bertanya dengan suara tangisan: "Kamu adalah aku, kalau begitu aku itu siapa?"

Aurora merasa tertusuk oleh tatapan Zoey, namun dia tiba-tiba melihat Zoey menutup mata, tubuhnya seperti daun tua yang gugur, pingsan terbaring di atas lantai.

Calvin berteriak keras, menggendong Zoey dan langsung berlari keluar.

Diagnosa dokter adalah Zoey terlalu emosional, ditambah dengan penyakit sebelumnya yang belum sembuh baru bisa pingsan. Mau sembuh juga tidak susah, asalkan jangan emosi lagi dan istirahat dengan tenang.

Ketika Aurora tiba di rumah sakit, Calvin sedang duduk di dalam kamar pasien menatapi Zoey yang tertidur.

Aurora ada di luar pintu, bersandar di jendela, berdiri sekian lama, melihat sekian lama, kakinya sudah sakit, hidungnya juga sakit, namun Calvin sama sekali tidak mendongak.

Kemudian Ibu Wen juga mendengar kabar dan langsung bergegas ke rumah sakit dari acara pertunjukkan piano.

"Aurora, kamu pulang dulu, saat ini Zoey tidak boleh melihatmu." Ibu melihatnya sekilas, kemudian mendorongnya keluar.

Aurora berdiri diam di koridor, yang muncul di matanya adalah orang-orang yang disiksa penyakit, mata mereka semua kosong.

Pulang......ke rumah?

Rumahnya dimana.........

Siapa yang membangun sebuah labirin dari kesepian untuknya, membuatnya begitu lama tidak bisa menemukan jalan pulang.

Dia berjalan sangat lama, salju yang sudah berhenti kembali turun, berjatuhan di rambutnya, menemaninya berdiri kembali di depan pintu rumah keluarga Wen.

Tapi, ini bukanlah rumahnya.

Aurora berdiri sekian lama, namun dia tidak punya keberanian membuka pintu itu.

Dia tertawa dan duduk di tangga depan rumah.

Saat ini, alangkah baiknya kalau ada orang yang bisa membawanya pergi, Aurora berpikir, menghisap ingusnya.

Juga di hari bersalju seperti ini, hari dingin seperti ini......Gadis kecil penjual korek api menyalakan korek apinya dan melihat semua hal yang diinginkannya, termasuk neneknya yang paling dia sayangi, kalau begitu, kalau dia menyalakan korek api, apa yang akan muncul?

Aurora memiliki pikiran yang keras kepala, tidak mampu menekan harapan yang menyebar di hatinya, dia menyentuh sakunya yang kosong, baru menyadari, dia tidak memiliki alat untuk bahagia.

Korek api, baiklah, sekarang korek api sudah sangat langka, ada uang juga tidak bisa membeli korek api, menjadi gadis penjual korek api tidak realistis.

Kalau begitu, putri laut? Oh, tidak ada ekor ikan.

Kalau begitu, Gadis selada? Ehem, apa itu selada?

Kalau begitu, putri salju? Baiklah, dia jadi ibu tiri, menyuapkan Calvin apel beracun......

Aurora berpikir sambil tertawa, suasana hatinya berubah baik secara ajaib.

Dia tidak suka berbicara, terlihat sangat jujur, namun selalu diam-diam memikirkan hal yang membuat dia menjadi orang jahat di dalam hati. Mungkin orang seperti ini, baru bisa hidup lama di dunia yang keras ini, iya kan?

"Kamu menertawai apa?" suara yang penuh rasa penasaran, masker berwarna merah muda.

Aurora mendongak, lagi-lagi melihat Wesley Yan.

Seluruh badannya berwarna merah muda, topi merah muda, jaket merah muda, celana merah muda, sepatu merah muda, masker merah muda, selain itu, juga membawa ransel merah muda.

Pakaian merah muda halus, wajahnya tenang, terasa hangat dan mencolok.

"Wesley." Aurora menatapi dia, matanya hangat.

"Iya." Wesley menjawab.

"Kamu lagi-lagi datang menyelamatkanku?" Aurora tertawa, giginya rapi, terlihat malu.

Wesley melihat tawanya, di matanya muncul sesuatu, namun dia menggelengkan kepala, dia menyipitkan mata hitamnya yang bersinar, bertanya: "Hari itu, apa yang kamu katakan, masih berlaku?"

"Apa?" Aurora bingung.

"Menyuruhku membawamu pergi bermain." Wesley memasukkan tangannya ke dalam saku dan berkata.

"Kamu, mau membawaku pergi?" Aurora bertanya dengan hati-hati, tidak berani bernafas.

Wesley mengangguk, muncul rambut hitam dari topi merah muda.

Aurora merasa sangat terharu, dia menatapi Wesley, matanya bersinar.

"Bawakan ranselku." Wesley melepaskan ransel merah mudanya, kemudian menggantungnya di punggung Aurora, dia memijat bahunya, menggerakkan kepalanya dan berkata ringan: "Lelah setengah mati."

Aurora 'oh' sejenak, rasa harunya berubah menjadi rasa jengkel.

Novel Terkait

The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
3 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu