Ten Years - Bab 38 Perbedaan Cerita di Atas dan di Bawah Panggung (3)

Tiba-tiba merasa sangat sedih, kenapa kita harus menonton opera yang begitu menyedihkan?

Terdiam cukup lama, hidup begitu indah, ada iga, ada , ada piano usang, ada radio, inilah hidup kita yang lengkap, bukan berada di atas panggung dengan jutaan tekanan yang tidak mampu dimuntahkan, benar kan?

“Sudah berapa lama, kamu tidak menangis dengan puas?” Aurora teringat kepeduliaan Kakak lewat radio.

Kalimat itu terasa sangat tepat, hm, aku rasa kita menonton cerita yang menyedihkan ini hanya demi mencari alasan untuk menangis.

Wesley tercengang: “Dua hari yang lalu aku baru saja menangis, kamu lupa ya, saat aku mengangkat piano dan menjatuhi kaki sendiri.”

Aurora tersenyum, hehe. Sungguh tidak pernah bertemu orang sebodoh dia, mengangkat piano saja bisa menimpa kaki sendiri. Sudahlah jika tertimpa piano, dia malah meneteskan air mata selama hampir setengah jam, sampai-sampai membuat Evan Xin yang tinggal di halaman depan menelepon: “Ada apa ada apa? Aurora, Gerry di rumahmu keselek nasi tim lagi? Bodoh sekali, cengeng sekali, buang saja deh! Nanti aku akan berikan kamu seekor Husky jinak, saat menangis pun jauh lebih enak didengar daripada lolongan serigala itu!”

Wesley merasa kesal sekali mendengarnya, aku akan membunuhmu!

Aurora memeluk Gerry sambil tertawa lepas, sayangnya anjing itu tidak tahu dirinya adalah pemeran utama dari drama kali ini, hanya terus membayangi sepiring nasi tim dengan bengong dan bodohnya.

Setelah keluar dari teater, hari sudang petang, keduanya berjalan di jalan setapak awal musim gugur, angin sejuk berhembus perlahan.

Popcorn belum habis dimakan, sepanjang jalan selalu dipegang dengan tangan, dalam sekejap saja telah menjadi dingin dan saling menempel.

Wesley teringat sesuatu, kemudian menjulurkan tangan ke dalam saku cukup lama, lalu mengeluarkannya, terlihat sebuah kelereng transparan pada telapak tangannya.

“Joe memberikannya padamu, katanya ini adalah hasil perjuangan cukup lama di sekolah.”

Aurora menerima kelereng itu sembari bertanya: “Kenapa tidak memberikan padaku secara langsung?”

Wesley meletakkan tangan ke belakang kepala: “Tentu saja karena takut kamu memarahinya bermain terus, tidak belajar dengan baik.”

Aurora mengepal tangan secara perlahan, tersenyum: “Kapan aku pernah memarahinya? Perkataan itu sungguh memojokkanku.”

“Belakangan ini keadaan Kakek He tidak terlalu baik.” Wesley mengubah topik pembicaran, berkata dengan suara kaku.

Aurora terdiam, soal ini dia juga tahu. Belakangan ini, saat membuka lapak, Kakek He selalu batuk parah, tiap kali Aurora berangkat membeli sayur, dari kejauhan saja bisa melihat ekspresi menderita pada wajahnya, hanya saja tetap memaksakan diri untuk menyapa dirinya.

“Alangkah baik jika bukan Joe.” Nada bicara Aurora terdengar bersedih.

Wesley sontak melihat ke arahnya: “Apa??”

“Joe masih begitu kecil. Jika aku yang berada di posisinya, tentu bisa menopang keluarga itu.” Dia menghela nafas, merasa sangat kecewa.

“Maafkan jika aku lancang memotong pembicaraanmu, sepertinya kamu hanya satu setengah tahun lebih besar dari Joe.” Wesley tersenyum dingin.

Aurora malah terlihat sangat tenang, menatapnya dengan tatapan datar….

“Wesley, bagaimana jika Kakek He…” Aurora tidak mampu untuk tidak berpikir negatif, meski biasanya terlihat sangat kuat dan bersemangat, Kakek He sudah sangat berumur, tidak mungkin tahan pada kecelakaan apapun.

Wesley berkata sambil tersenyum: “Ini yang ingin aku katakan. Aurora, jika, jika di rumah nanti bertambah sepasang sumpit, apakah kamu akan merasa keberatan?

Aurora sedikit tercengang, kata-lata Wesley terus berputar dalam benaknya, hingga pada akhirnya hanya ada dua kata ---- Di rumah.

Oh, rumah yang Wesley maksud adalah rumahnya, juga rumah Aurora?Sudah sampai menanyakan soal anggota keluarga, apakah ini artinya menanyakan pendapat?

“Wesley, siapa aku, siapa aku….” Aurora bertanya dengan suara terputus-putus, wajah itu memerah dengan cepat.

Perkataan itu sama sekali tidak lucu, dia tidak mungkin tersenyum seperti saat melihat Ibunya, hanya bisa tegang hingga kehabisan akal.

Wesley menghela nafas, menjulurkan tangan, memberikan pelukan erat.

“Siapa kamu? Biarkan aku pikir dulu, kamu adalah Aurora Yun yang tidak bisa kembali ke masa lalu, kamu adalah Aurora Wen yang tidak bisa berjalan ke masa depan, kamu adalah Aurora yang hanya memiliki Wesley, mana yang kamu pilih?”

Aurora, saat aku sudah lama sekali tidak memanggilmu Aurora Wen, melainkan hanya Aurora, mana yang akan kamu pilih?

Aurora, saat aku sengaja memanggilmu putri, juga tidak henti-hentinya menyebut Aurora kita, mana yang akan kamu pilih?

Aku seringkali membandingkan, yang mana lebih enak didengar? Yang mana bisa membuatmu merasa tidak lagi menjadi orang dewasa yang bisa menanggung semuanya? Yang mana bisa membuatmu merasa diri sendiri adalah anak kecil yang boleh rewel kapanpun? Yang mana bisa membuat Aurora-ku menjadi lebih bahagia?

Aku seringkali merasa diri sendiri berhati sempit, marah dan kesal pada berbagai hal, dunia ini sungguh tidak adil bagiku. Tetapi, kamu menahan semua amarahmu, selalu… sulit sekali. Aku sedang berpikir, selain membalas dengan perasaan yang tidak seberapa, ada cara apalagi yang lebih baik……”

Novel Terkait

The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
My Japanese Girlfriend

My Japanese Girlfriend

Keira
Percintaan
3 tahun yang lalu