Ten Years - Bab 40 Kepalsuan di Balik Topeng (1)

“Jika tahu dari awal, lebih baik minta Calvin saja yang datang.” Aurora berkata sambil tersenyum pada Wesley.

Dengan begitulah mereka menangis hebat di kantor polisi, saat mengingatnya kembali di rumah, rasanya sunggu memalukan.

Wesley membalikkan bola mata: “Kenapa kamu tidak memberikan nomor telepon Calvin Wen pada polisi muda itu? Dengan begitu Grinch aku juga tidak akan mati begitu mudah!”

Aurora merasa canggung, “Dalam sekejap aku melupakannya.”

Saat itu pemilik mobil terus mendesak, polisi juga terus bermondar mandir menanyakan nomor telepon, tanpa banyak berpikir dia pun langsung menyebutkan nomor Wesley.

Oleh karena itu, Aurora berpikir keras mencari sebuah alasan, kemudian menghela nafas: “Huh, Wesley, aku hanya merasa saat itu perlu diakui dan dijemput seseorang…..”

Sekalipun menelepon Calvin, dia juga pasti menyerahkan dirinya pada Wesley. Begitu akan sangat repot, untuk apa berbelit-belit.

Wesley malah memejamkan mata: “Alasan ini, bagus..bagus sekali!” Setelah itu, dia pun berjalan ke lantai atas, sekaligus menghempas pintu.

Phiangg!

Aurora tidak berdaya, nampaknya emosi orang ini semakin buruk.

Belum dua menit berlalu, Gerry dilempar keluar dari kamar, Aurora terkejut dan segera berlari menangkapnya.

Anjing itu sudah meneteskan air mata dan ingus sekaligus. Bukankah hanya menumpang tidur satu sore, apalagi yang terjadi……

Suara Wesley terdengar dari jauh: “Urus anjingmu baik-baik!”

Aurora tersenyum, membelai kepala anjing itu sambil berkaya: “Bagaimana seharusnya aku mengurusmu?”

Bodoh, jelas-jelas dia tidak menyukaimu……

Sama seperti harapan Calvin, Zoey berhasil diterima di Xilin University.

Calvin naik ke kelas 3, pekerjaan OSIS telah berakhir dengan sempurna, demi perjuangan berat bulan tujuh.

Mary merasa kurang setuju: “Soal perkataan Calvin, tidak perlu cemas deh?” Masuk dalam lima besar, ditambah lagi nilai tambahan karena menjadi murid teladan di seluruh negeri, memangnya masih perlu cemas karena tidak bisa memilih universitas?

Evan Xin mengangkat kepala: “Apa yang kamu tahu, saudaraku berencana mengharumkan nama Keluarga Wen!”

Mary berpikir sesaat, lalu meledek dengan nada datar: “Aku tidak mengerti. Tetapi, kamu juga belum tentu lebih tahu dariku soal apa yang Calvin Wen pikirkan.”

Evan melihat sekilas sosok indah di depan mata: “Apa yang dia pikirkan, apalagi jika bukan mencemaskan bagaimana cara agar bisa satu universitas dengan Wesley.”

Tatapan mata Mary pada Evan menjadi aneh dalam seketika: “Kamu….apa yang kamu tahu?”

Evan bersikap sangat yakin: “Mereka berdua selalu satu sekolah, bagaimana mungkin universitas terlewatkan?”

Raut wajah Mary menggelap, berkata dengan kesal: “Logika macam apa ini!”

“Kita bertiga ditambah Nova, oh lupa, kamu tidak mengenal Nova Lu, yang pasti dia seorang dewi. Benar sekali, meski kita berempat selalu dekat sejak kecil, tetapi orang yang paham pasti akan tahu Calvin lebih akrab dengan Wesley. Saat di bangku SMP, aku dan Wesley masuk ke SMP Negeri 7, dia dan Nova Lu masuk ke SMP Negeri 1, hasilnya tanpa mengatakan apapun, anak itu langsung memikul tas berpindah ke SMP Negeri 7, sungguh berani. Setelah itu dia juga diberi pelajaran habis-habisan oleh Paman Wen, hehe….” Evan berkata panjang lebar.

Mary tersenyum licik: “Hei babon, jangan bilang kamu cemburu? Perkataan ini terasa menyedihkan sekali, aku turut merasa sedih….”

Evan Xin kesal sekali mendengar ledekan itu: “Banci sial, perlukah aku cemburu? Berbicara soal cemburu, Calvin-lah yang harus cemburu!”

“Apa maksudmu?” Maata Mary mulai bercahaya.

“Sebelum pergi ke Vienna, Nova Lu dan Wesley sudah sangat dekat. Meski sebagai teman sepermainan, saudaraan dengan mereka, jangan katakan aku tidak ada apa-apanya. Lebih tidak enak didengar, saat itu Calvin adalah pengagum di hadapan mereka!” Evan Xin berkata-kata sendiri.

Mary melihat Evan dengan perasaan simpati.

Evan mulai gemetaran: “Sial, banci, lihatlah dirimu sendiri, jangan menatapku seperti seorang ibu-ibu!”

Mary tersenyum bagai orang yang tidak bersalah, “Tidak berdaya, begitu mendengar cerita, rasanya kamu yang paling kasihan!”

“Sial! Kasihan darimana? Aku kasihan darimana? Coba kamu katakan! Sebutkan!”

“Evan, untuk apa kamu berteriak seperti itu, cepat berdiri, apa jawaban nomor 3!” Guru Bahasa Inggris berteriak dengan marah.

Uhuk, uhuk, murdi-murid, ini masih jam pelajaran.

Evan tercengang. Apa yang dimaksud kata kerja, kata objek, kata predikat… membuat otak menjadi gosong dalam seketika.

Rosie duduk dengan bangga, tersenyum bahagia.

Aurora terbatuk pelan, membentuk huruf C dengan jari tangan dan meletakkannya ke telinga.

“C!” Evan menegakkan badan, menjawab dengan penuh percaya diri.

“Kenapa jawabannya C?” Guru itu sudah mengajar selama setengah dari hidupnya, terbiasa dengan cara-cara menyulitkan murid.

Dengan suara terpatah-patah Evam berkata: “Karena……hmm karena, di dalam soal dikatakan….terbang… ketika aku.. hm…”

Guru itu menggigit gigi dan berkata dengan keras: “Ulangi! Kenapa?”

Air mata Evan menetes, Aurora tetap tidak mengatakannya……

Tiba pada puncak musim gugur, dalam beberapa hari saja semua daun pohon terjatuh.

Saat sedang santai Aurora selalu belajar merajut di hadapan televisi.

Dia menoleh melihat Wesley: “Calvin dan Mary menginginkan syal, Evan menginginkan sarung tangan. Bagaimana denganmu Wesley, apa yang kamu inginkan?”

Wesley meregangkan jari-jari tangan, berkata dengan murung: “Aku tidak menginginkan apapun.”

“Begitu ya.” Aurora tersenyum sambil menundukkan kepala, berkata dengan suara yang sangat lembut.

Saat petang hari, warna langit mulai gelap. Sebelum malam tiba, angina kencang sudah sibuk menggoyangkan pohon di sekeliling rumah. Beberapa saat kemudian, hujan badai pun mengguyur permukaan bumi.

Aurora, Wesley menutup rapat semua jendela. Aurora baru saja berjalan ke kamar mandi, secara tiba-tiba semua menggelap, karena padam listrik. Dia melihat ke luar jendela… selain bayangan pohon yang gelap, tidak terlihat cahaya apapun di sekeliling, sepertinya kabel listrik putus karena angin. Waktu sudah malam, cuaca juga buruk, perbaikan yang dipaksakan pasti akan sangat sulit.

“Aurora.” Wesley meraba menuruni tangga.

Aurora menggosok mata, perlahan terbiasa dengan situasi gelap itu, terlihat sebuah bayangan kurus di depan tangga.

“Aurora, kemari.” Kata Wesley.

Aurora berjalan menghampirinya, menyentuhnya dengan perlahan, terasa mantel tebal dengan permukaan sedikit kasar.

Laki-laki itu membalikkan tangan lalu mengepal tangannya, hati yang tegang terasa lega dalam seketika, terasa kehangatan yang menenangkan pada celah-celah jari. Laki-laki itu tertawa, sengaja menirukan muka hantu di tengah kegelapan itu.

Aurora berkata dengan tidak berdaya: “Wesley , aku tidak takut kok.”

Jadi, jangan habiskan tenaga untuk menakut-nakutiku.

“Aku yang takut tahu?” Wesley membalikkan bola mata, melihat ke luar jendela sambil berkata: “Hei, pemandangan di luar indah sekali, kita keluar cari makan saja.”

Aurora melihat sekejap ke arah dapur: “Buburku baru saja selesai dimasak……”

Wesley menelan air ludah, pura-pura tidak mendengar: “Aku tahu toko shabu-shabu yang baru saja di buka di Jalan Xixiao, katanya enak sekali loh.”

Aurora menjawab: “Hm… lalu sayur yang baru saja aku tumis….”

Wesley menggerakkan telinga, lanjut berkata: “Lalu ada lagi di depan gerbang Kuil Timur, Kakek Lu baru saja membuka cabang mie daging sapi.”

Aurora mulai kesal: “Yayaya, aku tahu, selalu keras kepala.”

Wesley membalikkan telapak tangan sambil tersenyum licik.

Keduanya pun mencari-cari jas hujan di dalam lemari, begitu mendapatkannya langsung berlari keluar.

“Kalian mau kemana?” Terlihat cahaya lampu yang menyilaukan dari kejauhan.

Mobil itu berjalan perlahan, berhenti di samping pohon terdekat dari mereka. Ketika melihatnya dengan jelas, wajah di tengah kegelapan itu adalah Calvin Wen.

“Padam listrik, keluar cari makan.” Wesleu melihat mobil itu beberapa kali: “Wah, Tuan Muda Wen, lagi-lagi menggunakan mobil Kakekmu?”

Aurora melihat mobil itu lalu tersenyum, benar saja, itu memang mobil yang sering digunakan Sekretaris Li.

Calvin mengangkat kepala, meletakkan tangan ke setir dengan perlahan, berkata tanpa ekspresi: “Mau kemana? Aku antar kalian saja.”

Wesley menggelengkan kepala sambil mengomel: “Kamu tidak punya SIM, aku masih ingin hidup beberapa tahun lebih lama.”

Calvin juga tidak memaksa, hanya tersenyum sambil melihat keduanya sekilas, kemudian menginjak pedal gas melaju pergi.

Novel Terkait

A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Jesslyn
Kesayangan
5 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
3 tahun yang lalu