Istri Pengkhianat - Bab 8 Marena Berada di Hainan

Pada saat ini di salah satu cafe kota Hainan duduk di meja dekat jendela, berambut hitam yang terurai di bahu dengan mengenakan pakaian santai, Marena. Wajahnya tidak terkesan arogan, membuatnya terlihat semakin menawan, kedua matanya beberapa kali menyipit karena guratan senyum di bibirnya, menatap laki laki di depannya.

Paras tampan laki laki di depannya menatapnya dengan penuh kelembutan, menggerakkan tangannya beberapa kali berbincang santai. Marena beberapa kali menimpali perkataannya, membuat laki laki di depannya semakin antusias tidak kekurangan topik pembicaraan.

Pengunjung di kafe ini perlahan mulai melangkahkan kaki mereka keluar, Marena mengangkat tangannya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan sudah hampir pukul 10 malam, dia meminum kopi di dalam gelasnya dengan sangat anggun, “mengatakan, sudah larut, lebih baik kita kembali.”

Mendengar perkataan lembut yang keluar dari mulut Marena, laki laki di depannya juga turut mengangkat tangannya melihat jam yang juga melingkar di pergelangan tangannya, “lebih baik kita istirahat lebih awal, besok kita masih harus pergi ke tempat lain.” Setelah mengatakan itu dia beranjak, berdiri di dekatnya menunggu Marena beranjak dari kursinya. Marena mengambil tas miliknya, saat sudah akan berjalan, laki laki itu langsung mendekat dan menjejeri langkahnya.

Melihat hal ini, senyuman langsung tersungging di bibir Marena, dia hanya tersenyum dan tidak memberikan penolakan. Setelah berjalan keluar dari dalam kafe, laki laki yang berjalan disebelahnya mencoba perlahan untuk menyentuh tangannya, saat melihat tidak ada reaksi penolakan dari Marena dia menggenggamnya dan berjalan ke depan, tangannya menggenggam tangan kecil Marena dengan erat.

Marena terkejut, mencoba untuk melepaskan genggaman tangan itu, tapi semakin dia mencoba genggamannya semakin erat, dalam waktu bersamaan dia mengatakan dengan lembut, “tanganmu sangat dingin, aku akan menggenggamnya.”

“Tidak perlu, terimakasih.” Marena yang masih kelabakan mencoba untuk kembali memberontak, tetapi masih saja tidak berhasil, akhirnya dia melihat tangannya dipegang sama laki laki itu, wajahnya sudah merah padam, kepalanya tertunduk, langkah kakinya sedikit gelagapan melangkahkan kakinya ke depan.

Melihat Marena yang salah tingkah, laki laki itu merasa puas dalam hatinya, berpura-pura, bukankah masih sama seperti yang dulu. Tetapi begitu teringat jika ia sebentar lagi akan menindih tubuh perempuan itu di bawah tubuhnya, merasai tubuh seksinya di atas ranjang, hatinya mulai sangat bersemangat. Sedangkan hati Marena sudah tidak karuan dan juga diselimuti rasa gugup.

Mereka berdua yang sedang asik berduaan tidak menyadari jika pada saat ini tidak jauh dari mereka berada ada seorang laki laki yang diam diam mengikuti di belakang mereka sejak mereka berada di dalam kafe. Dia juga sempat mengambil gambar saat mereka berada di dalam kafe, saat dimana mereka sedang berdiri saat ini, termasuk saat mereka bergandengan tangan memasuki hotel.

Terutama adalah saat Marena masuk ke dalam hotel dengan bergandengan tangan dengan laki laki, semua itu tidak luput dari jepretannya. Tulisan Cape Guest House semakin bersinar terang ketika hari semakin larut, semakin menambah kesan akrab di antara keduanya saat memasuki hotel.

Setelah masuk ke dalam, “terima kasih, tanganku sudah tidak dingin lagi.” Setelah mengatakan itu Marena menarik tangannya dari genggaman laki laki itu, kemudian berjalan masuk ke dalam lift. Laki laki itu tersenyum merendahkan, kemudian mengikutinya di belakang.

Setelah sampai di lantai di mana kamar mereka berada, Marena dengan cepat langsung berjalan ke kamarnya, tanpa menunggu laki laki bereaksi, dia langsung masuk ke dalam dan menutup pintu. Laki laki yang berjalan mengikutinya di belakang hampir saja menabrak pintu, wajahnya menunjukkan kekesalan, tetapi tidak lama kemudian kekesalan itu berganti senyuman, mengetuk pintu perlahan, “Marena, istirahatlah, aku akan kembali ke kamarku.”

Dia memang berkata seperti itu, tapi langkahnya masih belum beranjak, masih mematung di depan pintu, setelah menunggu beberapa saat tidak terlihat Marena membuka pintu, jadi dia memutuskan untuk pergi. Mulutnya masih menggerutu merendahkan, mereka bukannya tidak pernah melakukannya sebelumnya kan.

Marena yang masuk ke dalam kamar meletakkan kedua tangannya di depan dadanya karena gugup, menyandarkan tubuhnya di balik pintu, rasanya seperti takut di paksa masuk oleh laki laki ke dalam kamar saja. Setelah terdengar suara langkah menjauh, dia baru bisa menghembuskan napas lega, menjauhkan diri dari pintu masuk, duduk di kursi di dalam kamar menatap pemandangan di luar dengan terdiam.

Tidak lama kemudian dia mengeluarkan telepon yang sudah dia aktifkan ke mode diam sebelumnya, terlihat sahabatnya menelepon dan mengiriminya pesan, begitu juga dengan suaminya, dia membuka pesan dari suaminya, membacanya, terlihat guratan rasa bersalah dari kedua matanya. Dia menatap dalam dalam pesan dari suaminya itu.

Dia melihat waktu sudah menunjukkan pukul 10 lebih, mungkin suaminya sudah tertidur. Besok saja baru menghubunginya lagi. Hatinya berfikir demikian, kemudian membuka pesan dari sahabatnya, ternyata malam tadi suaminya dan sahabatnya serta suami sahabatnya pergi makan bersama, hal itu membuatnya sedikit lebih tenang.

Dia meletakkan teleponnya di atas meja bundar, kemudian mengangkat kakinya ke atas, menekuknya di atas kursi, tangannya memeluk lutut, membenamkan kepalanya di dalamnya, sesekali dia melihat pemandangan di luar. Dalam kegelapan malam, ada terlihat berbagai macam cahaya di depan matanya, tidak berhenti bersinar dan mengedipkan cahaya dan tulisan, kedipan lampu itu membuat Marena benar benar tidak merasa tenang.

Pada saat ini dia benar benar menginginkan ada seseorang yang bisa menjadi sandarannya, dengan begitu dia tahu jika saat ini dia benar benar masih hidup.

Pada saat ini terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya, terdengar suara laki laki setelahnya, “Marena, ini aku, buka pintunya sebentar.”

Mendengar suara lembut laki laki itu membuat hati Marena bergetar, dia menarik nafas panjang, bertanya dengan tenang, “aku sudah di atas kasur, ada apa?”

“Kran di kamar mandi tempatku rusak, aku ingin mandi di tempatmu saja.”

Mendengar alasan ini hati Marena sedikit kecewa dan juga mengejek, “kalau begitu kamu beritahu pihak hotel saja untuk mengurusnya, jika tidak kamu bisa meminta untuk ganti kamar. Aku sudah di atas kasur, tidak nyaman untuk turun.” Setelah mengatakan itu dia langsung memainkan bibirnya, apa dia pikir dirinya adalah anak kecil.

“Oh, baiklah.” Laki laki di depan pintu menyahut seenaknya, tetapi wajahnya menunjukkan ejekan dan juga kemarahan, dalam hatinya dia sudah tidak sabar untuk segera melahap dan memainkan perempuan itu. Dia menghentikan perkataannya kemudian melanjutkan, “sekarang masih belum larut, bangunlah, di kamarku ada anggur merah, bagaimana jika kita melanjutkan perbincangan kita?”

“Tidak, besok masih harus pergi ke tempat lain.” Marena menjawab seenaknya, “lebih baik kamu segera mencari petugas hotel.”

Laki laki itu masih mematung di depan pintu, setelah melihat ada seseorang yang berjalan mendekat dia baru kemudian melangkahkan kakinya dengan enggan.

Laki laki yang lain sedang berada di salah satu hotel lainnya, laki laki yang memotret diam diam pemandangan ini mulai melihat apa yang sudah dia dapatkan di dalam kameranya, bibirnya terdengar mulai menggerutu, “brengsek kamu Sojun Lu, kamu masih saja seorang bajingan, diluar bersenang senang dengan perempuan. Lihatlah bagaimana akhir dari nasibmu kali ini. Tapi tubuh perempuan itu sangat seksi, dia juga cantik. Setelah kembali aku akan menyelidikimu, aku akan mendapatkanmu dan memainkanmu.”

Setelah selesai mengambil gambar, dia menyalakan rokok di tangannya, dia sedang berfikir bagaimana caranya menggunakan foto ini untuk mendapatkan keuntungan paling besar baginya.

Sedangkan Sojun Lu, sejak dia meninggalkan kamar Marena, dia kembali ke kamarnya sendiri, melepas bajunya masuk ke dalam kamar mandi, membuka kran air, dan berdiri dibawahnya menikmati guyuran air yang terjatuh di tubuhnya, meredam amarah yang bergejolak dalam dirinya.

Keesokan paginya, setelah Irwandi terbangun dia langsung melihat telepon miliknya, ternyata tidak ada panggilan tidak terjawab atau pesan dari istrinya, kedua matanya tertutup menahan rasa sakit, setelah berfikir sebentar dia memutuskan untuk menghubungi istrinya.

Telepon berdering beberapa kali dan istrinya langsung mengangkatnya, “suamiku, kenapa pagi sekali kamu menelepon, ada masalah apa?”

Mendengar suara istrinya yang tidak kesal, malah terkesan lembut membuat Irwandi terkejut, dia langsung mengatakan, “kemarin aku menelponmu tetapi kamu tidak mengangkatnya, kamu juga tidak membalas pesanku, aku mengkhawatirkanmu jadi sepagi ini aku sudah menghubungimu.”

“Kemarin saat aku melihat pesan sudah sangat larut, aku pikir kamu sudah tidur jadi tidak menghubungimu.” Marena menjelaskan, kemudian melanjutkan, “hari ini aku berencana akan menghubungimu.”

“Oh.” Irwandi tersenyum, mengatakan, “bagaimana, apa Hainan menyenangkan, apakah tugasmu di sana sangat berat?” Dulu saat istrinya pergi dinas saat dia sampai istrinya selalu menghubunginya, karena dia tahu jika dia tidak menghubungi suaminya itu suaminya bisa khawatir. Mengenai pesan yang suaminya kirimkan, dia juga selalu membalasnya, meskipun itu malam hari. Tetapi kali ini dia mengatakan alasan jika hari sudah larut.

“Prosesnya lumayan lancar, dan dalam waktu satu atau dua hari ini mungkin sudah akan kembali.” Marena menjelaskan dengan lembut, kemudian kembali bertanya, “suamiku, apa dalam beberapa hari ini kamu merindukanku.”

Irwandi yang akan menjawab pertanyaan istrinya tiba tiba mendengar suara samar samar laki laki, sepertinya sedang mengatakan Marena cepatlah. Kemudian dia bertanya, “istriku, siapa yang barusan memanggilmu?”

Setelah mendengar itu Marena langsung melihat laki laki disampingnya, memelototinya, kemudian menjelaskan kepada Irwandi, “tadi itu rekan kerja, dia memintaku untuk bergegas pergi sarapan.”

“Oh.” Irwandi sengaja menghembuskan napas lega, kemudian berkata dengan tersenyum, “kamu mengagetkanku saja, aku pikir istriku ini sudah tidak menginginkanku lagi.” Tanpa menunggu istrinya menjawab dia kembali bertanya, “sayang, dinas kali ini ada berapa orang dari perusahaan yang bergabung?”

“Hanya aku dan satu rekan laki laki.” Suaranya sudah tidak terdengar selembut sebelumnya, dia masih bisa bersikap bercanda, “kenapa, apa kamu curiga, apa kamu cemburu.”

“Haha.” Irwandi mulai tertawa, “tentu saja aku akan cemburu, kota Hainan itu paling cocok untuk dikunjungi oleh pasangan, tidak disangka jika ada laki laki yang sudah menemanimu pergi ke sana terlebih dahulu.”

Lelucon yang dikatakan oleh suaminya membuat hati Marena gemetaran, hampir saja dia tidak bisa memegang teleponnya dengan erat, tapi masih memaksakan dirinya berkata dengan tenang, “jangan berfikir sembarangan, sudah, aku tidak akan berbincang lagi denganmu, aku akan pergi sarapan dengan rekan kerjaku.” Setelah mengatakan itu di langsung mengakhiri panggilan telepon, melihat laki laki disampingnya kemudian berkata kesal, “Sojun Lu, kamu sengaja kan!”

Laki laki bernama Sojun Lu mengerutkan keningnya lembut, “Marena, kamu salah paham, aku benar benar tidak memperhatikan, aku khawatir jika kamu kelaparan, aku hanya ingin memanggilmu untuk segera pergi sarapan saja.” Setelah mengatakan itu dia melangkahkan kakinya dengan cepat ke depan pintu.

Setelah panggilan telepon itu berakhir, ekspresi di wajah Irwandi langsung terlihat dingin, tidak perlu disebutkan lagi, laki laki itu pasti adalah selingkuhan istrinya, hal itu membuatnya semakin percaya jika kemarin malam istrinya sedang bersama dengan laki laki lain, dia tidak memiliki waktu untuk membalas telepon dan pesannya.

Dalam kehidupan pernikahannya selama ini bersama istrinya seharusnya tahu benar jika dia sedang sangat mengkhawatirkannya, dulu dia tahu jika Irwandi bisa khawatir, meskipun itu tengah malam dia akan meneleponnya. Tetapi sekarang kekhawatirannya ini sudah diabaikan, sosok Irwandi dalam hatinya sudah bukanlah sosok yang paling penting lagi. Jika tidak apakah alasan sudah terlalu larut dan takut mengganggu istirahatnya itu masuk akal, dia bahkan bisa hanya sekedar mengirim pesan kan.

Mungkin kegiatannya diatas ranjang kemarin malam membuatnya sangat sibuk.

Novel Terkait

Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
5 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
4 tahun yang lalu