Istri Pengkhianat - Bab 10 Makan Dan Memergoki Perselingkuhan

Saat Irwandi baru sampai di pintu depan, terlihat Cikka sedang berdiri di depan meja bundar melambaikan tangan kepadanya, Irwandi tersenyum, melangkah kan kakinya masuk ke dalam. Saat sudah sampai di depan meja, dia mengatakan, “Jarang jarang aku mentraktirmu makan, kenapa kamu memilih makan di sini, jangan sampai menyesal nantinya.” Setelah mengatakan itu dia meletakkan tas di kursi, kemudian mendudukan diri nya di kursi di depan Cikka duduk.

“Haha. Tidak bisa, aku sudah merencanakan begitu banyak hal, jika kali ini makanan tidak habis, maka lain kali kita akan memakan sesuatu yang lain.” Mendengar candaan Irwandi, membuat Cikka menyunggingkan senyum jahat di wajahnya.

“Tidak bisa, aku hanya akan mentraktirmu sekali saja, tidak ada yang kedua kalinya.”

“Pelit!” Dia memanyunkan bibirnya, mengedarkan pandangannya ke arah lain, tersenyum, mengatakan, “dengar dengar restoran ini baru mulai dibuka, makanan disini sangat lezat. Setelah kamu memakannya mungkin kamu akan datang kemari lain kali. Jika kamu ingin datang maka ajak lah aku, ya? Mungkin aku mengetahui makanan enak lainnya disini yang tidak kamu ketahui.”

“Benarkah? Kalau begitu aku akan mencobanya.” Irwandi hanya tersenyum, dia tidak menjawab perkataan Cikka, mengatakan, “jika juniorku ini mengatakan makanan di sini lezat maka pasti sangat lezat.”

“Kamu mengataiku tukang makan.” Cikka memelototkan kedua matanya menatap Irwandi, kemudian setelah itu menarik lengannyanya dengan Sumringah, “ayo kita pergi pilih sayur dan dagingnya.”

Keceriaan yang dibawa oleh Cikka menular kepada Irwandi, rasa sakit dan kesedihan dalam hatinya perlahan mulai melunak, kedua matanya menunjukkan rona bahagia. “Tas, bagaimana?” Irwandi bertanya sambil menatap kedua tas yang ada di atas kursi.

Cikka malah memelototi nya kesal, “Apa kamu tidak bisa memegang nya.” Saat mengatakan itu gemggaman tangan Cikka di tangan Irwandi melonggar, memudahkan Irwandi untuk mengambil tas di atas kursi.

Haha, Irwandi tertawa, kemudian mengambil kedua tas milik mereka ke tangannya, menemani Cikka untuk memilih sayur dan daging. Setelah selesai memilih, mereka pergi untuk memesan dua botol minuman, mengambil nomor antrian kemudian kembali ke tempat duduk mereka. Setelah melihat ke sekeliling, baru tersadar jika tempat makan ini tidaklah besar, tetapi di pokokan lantai satu terlihat ada sebuah tangga, mungkin di atas masih ada ruangan lain. Tempat di lantai satu sudah terisi penuh, kelihatannya makanan di tempat ini rasanya lumayan juga.

Irwandi bertanya heran, “bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini.”

“Temanku yang memberi tahuku.” Cikka tersenyum sumringah menatapnya, “waktu itu temanku mengatakan jika dia sangat ingin datang kemari karena makanan disini sangat enak, aku sudah bekerja keras kan.”

Irwandi tertawa lebar, “iya kamu sudah bekerja keras.”

Mereka berbincang cukup lama, kemudian pelayan mengantar makanan yang mereka pesan. Irwandi terlihat menuangkan alkohol ke dalam gelasnya, sedangkan Cikka menuangkan minuman tidak beralkohol kedalam gelasnya, Irwandi membenturkan gelas nya ke gelas Cikka, “makanlah yang banyak, dan hiduplah bahagia.”

“Kamu mengataiku tukang makan. Ia memang benar seperti itu si.” Cikka memanyunkan bibirnya, saat bersamaan dia juga memelototkan kedua matanya kesal, “kebanyakan jika ingin mendoakan perempuan kamu harus mengatakan jika aku akan menjadi semakin cantik, tapi kamu malah memintaku untuk banyak makan.”

Haha, Irwandi tertawa lebar, “kamu sudah sangat cantik, tidak perlu lagi aku mendoakan akan kecantikanmu. Jika doaku nanti terkabul, maka kamu akan menjadi bidadari nantinya. Maka aku tidak akan bisa melihatmu lagi.”

“Benarkah.” Cikka begitu senang hingga kedua matanya menyipit, tapi detik selanjutnya tiba tiba kedua matanya terbuka lebar, “ternyata di matamu aku adalah gadis cantik, aku mengira jika di matamu hanya ada Marena saja.”

Mendengar Cikka yang tiba tiba membahas istrinya, Irwandi langsung menundukkan kepalanya, tatapan kedua matanya menjadi meredup, setelah itu menenggak semua minuman di dalam gelasnya, tersenyum, mengatakan, “cepat makan, tidak enak jika sudah dingin.”

“Jangan hanya memintaku untuk makan saja.” Cikka tersenyum lebar, kemudian meletakkan udang yang sudah dia kupas kedalam mangkuk Irwandi, “senior juga makanlah.”

Irwandi yang melihat udang besar di mangkuknya langsung mematung, tanpa disadari dia teringat saat dulu dirinya mengupas kulit udang untuk istrinya, tidak disangka Cikka tidak memakan udang yang dia kupas, tapi malah memberikannya kepadanya. Mungkin Cikka melakukannya dengan tidak sengaja, atau karena rasa terimakasih karena sudah mentraktirnya, tapi tindakannya itu membuat hati Irwandi terasa hangat.

Orang memang bisa tersentuh atau merasakan kehangatan dengan mudah, meskipun itu adalah tindakan tidak sengaja, atau perkataan yang dikatakan seenaknya tapi yang penuh perhatian, tatapan peduli, sudah cukup membuat orang merasa tersentuh atau merasa kehangatan dalam hatinya.

Dia menjapit udang di mangkuknya, memasukkannya kedalam mulut, mengunyahnya perlahan, kehangatan ini, rasa terharu ini membuat Irwandi juga berinisiatif mengupas kulit udang untuk Cikka, membuat kelembutan di wajahnya semakin terlihat jelas, begitu juga dengan tatapan kedua matanya.

Melihat sisi seperti ini dalam diri Cikka membuat Irwandi merasa sedikit canggung, sebenarnya selama ini dia mengetahui jika Cikka memiliki perasaan kepadanya. Tetapi sebagai laki laki yang sudah menikah, Irwandi selalu saja menjaga jarak darinya, tapi kelihatannya malam ini Cikka akan mulai salah paham. Jadi Irwandi tidak mengupas udang untuknya lagi, meminum minuman dalam gelasnya dengan cepat, berharap agar perjamuan makan ini cepat selesai.

Cikka yang merasakan perubahan dalam sikap Irwandi membuatnya murung, mengambil bakso dan memasukkannya kedalam mangkok Irwandi, mulutnya mengatakan, “senior, aku tidak berani makan terlalu banyak, jika makan terlalu banyak aku harus diet lagi nantinya.”

Sebenarnya Irwandi sudah akan mengatakan, “tubuhmu sudah bagus, tidak perlu diet lagi.” Tapi Irwandi langsung menahannya, menelan perkataan itu kedalam perutnya, hanya tersenyum mengatakan, “kalau begitu aku yang akan makan semuanya.” Irwandi langsung menghabiskan makanan di mangkuknya, kemudian pergi ke kasir untuk membayar.

Karena kecepatan dan isyarat secara tidak langsung dari Irwandi, rona wajah Cikka semakin terlihat tidak mengenakkan, dia tidak banyak berkata kata lagi seperti sebelumnya, makan juga tidak sebanyak sebelumnya. Tapi entah karena kesal atau apa, dia mengambil makanan di piring dan memasukkannya kedalam mangkok milik Irwandi, memelototinya, mengisyaratkan kepadanya untuk mengahabiskan semua makanan di mangkoknya.

Irwandi meskipun merasa getir dalam hatinya, tapi masih menyunggingkan senyum di wajahnya, menyadari jika junornya ini sedang kesal. Akhirnya tidak perlu ditebak lagi, dia menghabiskan semua makanan di dalam mangkoknya. Acara makan itu berlangsung lebih cepat dibandingkan waktu makan normal pada umumnya.

Saat selesai makan dan mulai beranjak, tiba tiba Cikka memelototinya, kemudian menatap tas, dia bahkan tidak membawa tas nya, berjalan begitu saja keluar restoran. Irwandi menganga dibuat keheranan, tapi setelah itu tersenyum, mengambil tas nya, kemudian mengambil tas milik Cikka juga di tangannya yang lain, melangkahkan kakinya mengejar Cikka yang sudah keluar terlebih dahulu.

Setelah keluar, wajah Cikka yang sudah merah padam diam diam meliriknya beberapa kali, “senior, jika makan terlalu banyak, lebih baik jalan jalan sebentar.”

Memang benar jika Irwandi sudah makan terlalu banyak, pada awalnya dia ingin memanggil taxi untuk Cikka, kemudian dia akan berjalan sendirian untuk kembali kerumah, tapi saat mendengar Cikka mengajaknya berjalan jalan sebentar, wajahnya terlihat terkejut, tatapannya penuh kecurigaan.

Melihat Irwandi yang masih terkejut, ekspresi di wajah Cikka juga terlihat berubah, tanpa mengatakan dia apapun memutar jalannya ke arah yang lain. Irwandi tersenyum getir, menatap tas Cikka di tangannya, setelah itu mengikuti langkah kaki Cikka dibelakang.

Irwandi yang mengikutinya dibelakang baru menyadari jika Cikka mengenakan pakaian berwarna kuning muda yang menyelimuti tubuhnya, sepatu bot kulit setengah tumit yang membalut kakinya, rambutnya diikat dengan ikat rambut berwarna kunging muda, membiarkannya menggantung di belakang punggungnya, membuat kesan ceria dalam dirinya berganti menjadi dewasa dengan kesan seksi.

Karena berjalan mengikutinya di belakang, terpaksa dia harus memelankan langkah kakinya. Tidak lama kemudian Cikka yang juga memelankan langkah kakinya mendapati jika Irwandi tidak mengikutinya, langkah kakinya juga turut terhenti, membalikkan badannya, menatapnya dengan tatapan kesal. Irwanti tertawa beberapa kali, kemudian langsung berhambur mendekat kepadanya, berjalan berjejeran dengannya perlahan.

Setelah berjalan beberapa langkah, terlihat parkiran mobil yang tidak jauh disana. Cikka berbalik ke arah yang lain. Irwandi hanya bisa mengikutinya saja tanpa bisa protes, pada saat ini tiba tiba dia melihat sosok yang sangat akrab baginya, sedang berpelukan keluar dari tempat parkiran, laki laki itu adalah Ronald, hal itu membuatnya mematung, melangkahkan kakinya ke tempat yang lebih gelap agar tidak terlihat, matanya masih menatap ke arah pintu keluar parkiran.

Cikka yang berada disampingnya merasa aneh akan sikapnya ini, dia juga turut menghentikan langkah kakinya, menatap ke arah ke kedua mata Irwandi menatap, melihat sosok laki laki yang sedang berpelukan mesra dengan seorang perempuan, berjalan keluar dari parkiran menuju ke hotel terdekat.

Wajah Cikka kembali memerah, dia salah paham kepada sikap Irwandi, dia mengira jika Irwandi memiliki niat buruk dalam benaknya, jadi memukul bahunya kencang, “mesum!”

Melihat Ronald bersama perempuan lain masuk kedalam hotel, ditambah mendengar perkataan Cikka, Irwandi dibuat mematung seketika, berkata, “mesum apanya, aku mengenal laki laki itu.”

Cikka yang sadar jika dirinya sudah salah paham membuka mulutnya menganga, menunduk menahan malu, dalam benaknya terbesit pemikiran jika Irwandi mengajaknya pergi ke hotel. Saat hatinya sedang tidak karuan, dia menarik tas miliknya yang sedari tadi dibawa oleh Irwandi, “aku akan pulang duluan.” Setelah itu dia berlari kencang menuju ke jalanan.

Melihat Irwandi yang mengikutinya, hal itu malah membuat dirinya semakin gugup, tanganya memegang erat tas miliknya. Tapi setelah itu dia kembali santai, entah kenapa ada rasa kecewa terbesit dalam hatinya, karena dia melihat Irwandi berdiri disampingnya mencari taxi untuknya pulang.

Ada sebuah taxi yang menepi, Cikka mendudukkan dirinya di kursi belakang, Irwandi terlihat mengeluarkan uang selembar berwarna merah kepada sopir. Cikka langsung memajukkan tubuhnya, mencoba menghentikan tindakan Irwandi, mengatakan, “senior, tidak usah membayar, dan ongkosnya juga tidak sebanyak itu.”

“Haha.” Irwandi tertawa, “uang lebihnya gunakan saja untuk mentraktir sarapanku besok. Setelah sampai kabari aku.” Setelah itu dia menyeodorkan uang itu lagi kepada sopir.

Sopir itu juga tidak terlihat sungkan, tersenyum menerima uang yang disodorkan kepadanya, “nona, setelah sampai aku akan mengembalikan kembaliannya kepadamu.” Setelah mengatakan itu dia langsung melajukan mobilnya, Cikka memalingkan kepalanya dari kaca belakang menatap Irwandi yang masih mematung melambaikan tangannya, hal itu membuatnya tersenyum lebar, kedua matanya melembut.

Setelah melihat mobil sudah menjauh, Irwandi kembali menyulut rokoknya, tanpa disadari dia kembali teringat akan hal yang dia lihat sebelumnya, rasanya aneh sekali. Ronald dalam benaknya selalu menunjukkan sikap yang sangat menyayangi istrinya, sedangkan Oktavia juga memperlakukan Ronald dengan sangat lembut. Bagaimana bisa Ronald sampai masuk kedalam hotel bersama perempuan lain?

Apa jangan jangan sekarang ini sedang populer yang namanya perselingkuhan! Itu adalah apa yang ada dalam benak Irwandi. Beberapa hari ini karena istrinya selingkuh, saat memiliki waktu luang dia menyempatkan diri untuk melihat artikel atau postingan yang memberitakan mengenai perselingkuhan. Anehnya berita yang dia temukan sangatlah banyak jumlahnya.

Irwandi yang masih merokok dengan pemikiran tidak habis pikir, kemudian membuang puntung rokok yang sudah habis dia hisap kedalam tempat sampah.

Pada saat ini, di sisi lain, Marena yang sedang bermain di Hainan terlihat bergandengan tangan bersama Sojun Han berjalan kembali ke tempat mereka menginap. Pemandangan ini juga tidak luput dari jepretan Welly Yang yang selalu mengikuti mereka.

Novel Terkait

Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Pejuang Hati

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu