Istri Pengkhianat - Bab 4 Salah Kaprah

Sebelum menutup pintu, istrinya sempat menyalakan saklar lampu di depan rumahnya, kemudian baru menutup pintu, setelah itu dia melangkahkan kakinya menuju ke depan lift, menekan tombol untuk turun ke bawah, dan lift sampai di lantai tujuh, baru kemudian dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Irwandi membalikkan badannya dan berlari sampai dua lantai, kemudian langkah kakinya terhenti, dia menyadari jika istrinya hanyak mengenakan pakaian santai saja turun ke bawah, mungkin dia baru selesai berbenah rumah dan akan pergi untuk membuang sampah.

Dan juga, jika istrinya ingin pergi keluar maka dia juga tidak akan mampu mengikuti cepatnya laju lift, menunggu hingga dia sampai di bawah maka istrinya mungkin sudah keluar dari kompleks. Setelah dipikir pikir, dia kembali ke lift di mana dia sebelumnya berada, dan menunggu dengan tenang.

Kenapa masih belum kembali, Irwandi yang sangat gelisah melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dengan menampilkan mode malam, istrinya sudah turun sekitar setengah jam, apa membuang sampah saja membutuhkan waktu selama itu. Apa jangan jangan istrinya pergi ke bawah untuk bertemu dengan selingkuhannya.

Saat Irwandi ingin mengeluarkan teleponnya untuk menghubungi istrinya, suara pintu dari lift yang terbuka terdengar, saat dia ingin menyodorkan kepalanya keluar untuk melihat, dia tiba tiba menariknya kembali, saat kunci dimasukkan ke lobang pintu, dia baru mengeluarkan kepalanya dan melihat, dia melihat istrinya yang sedang membuka pintu membelakanginya.

Tidak disadari Irwandi sudah berada di kamar hotelnya. Setelah dia masuk ke dalam, dia langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang, terbaring di atasnya seperti orang tidak bernyawa saja, kedua matanya menatap atap dengan tatapan kosong.

Tapi wajahnya terlihat sangat kesepian, dalam benaknya sepertinya ada dua sosok Irwandi dalam dirinya, satu mengatakan jika semua ini hanyalah kesalahpahaman, dan satunya lagi mengatakan jika istrinya sudah selingkuh. Dia dengan hati yang getir membayangkan di kedua kaki jenjang istrinya terdapat pinggang laki laki lain dengan suara erangan yang sangat lembut, pemikiran itu membuatnya kembali teringat akan hal manis bersama istrinya.

Kedua sosok Irwandi berteriak dalam benaknya, tapi tidak ada satu di antara mereka bisa menguasai Irwandi, dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang seperti ini, mendengar kebisingan riuhnya kendaraan di jalanan kota.

Teleponnya berdering, suara deringannya itu sangat khas, itu adalah nada dering yang dia atur untuk panggilan dari istrinya, Irwandi yang tersadar kemudian menarik kembali tatapan kedua matanya, mengeluarkan teleponnya dari dalam kantong mantelnya, melihat waktu, hari sudah pagi, menunjukkan pukul enam lebih, dia melihat layar teleponnya, dan itu adalah telepon milik istrinya.

Tapi dia tidak mengangkatnya, malah meletakkan teleponnya ke meja samping ranjang, membiarkannya berdering begitu saja, deringan itu berlangsung dua kali, dan setelah itu akhirnya berhenti, setelah itu muncullah pesan WeChat dari teleponnya, tidak perlu dilihat, itu pasti pesan dari istrinya.

Haha. Dengan penuh rasa sakit tiba tiba Irwandi tertawa, dia perlahan mulai beranjak dari atas ranjang, melepaskan bajunya dan masuk ke dalam kamar mandi, berdiri di bawah guyuran air, membiarkan air terjatuh dan membasahi tubuhnya, rasanya dengan seperti ini dia baru bisa membersihkan penghinaan yang dia alami dan juga kemarahan yang ada di dalam hatinya.

Penghinaan ini sudah masuk ke dalam hatinya, apa dia bisa membersihkannya? Tidak, hanya bisa membalas dendam, dengan begitu dia baru bisa membalaskan penghinaan dan rasa malu yang diberikan istrinya kepadanya. Hanya dengan membalas dendam dia baru bisa melampiaskan kemarahan dalam dirinya. Irwandi berdiri di bawah guyuran air, tanpa disadari kedua matanya merah, entah merah karena kemasukan air atau karena air yang keluar dari kedua matanya.

Dia membersihkan tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala, mencukur habis jenggotnya. Hal itu membuatnya tidak terlihat terlalu menyedihkan, setelah selesai bersiap, dia keluar dari hotel yang dia inapi, berjalan sebentar agar membuat semangatnya kembali lagi.

Dia yang selalu hidup mandiri sejak kecil mengetahui dengan jelas jika segala sesuatunya harus mengandalkan diri sendiri. Dalam kehidupan di jaman seperti ini, ekonomilah yang memutuskan kehidupanmu.

Sekarang mungkin pernikahannya sudah berakhir, tetapi dia tidak boleh kehilangan pekerjaan. Jika karena hal ini sampai mempengaruhi pekerjaannya, atau jika dia tidak memiliki pekerjaan, maka dia akan kehilangan segalanya, bahkan dia tidak akan bisa membalaskan dendam.

Segala sesuatunya selalu saja membutuhkan materi.

Dia berjalan sudah sampai di dekat perusahaan, mencari tempat untuk menyantap sarapan, meskipun dia tidak memiliki selera, tapi dia masih memaksakan untuk makan beberapa suap, dia membeli sebungkus rokok, setelah menghisapnya satu batang, kebetulan sudah masuk waktu kerja. Dia mengikuti gerombolan mereka yang pergi bekerja, menyapa mereka yang dia kenal, kemudian berjalan masuk ke bagian tempatnya bekerja.

Dia masuk ke dalam bagiannya bekerja, melihat reaksi terkejut dari rekan kerjanya, dia hanya tersenyum dan menyapa mereka seperlunya. Saat mereka bertanya kenapa dia bisa kembali secepat ini, Irwandi hanya tersenyum dan menjawabnya beberapa patah kata saja, setelah itu masuk ke dalam ruangannya.

Dia masih belum duduk di atas kursinya tapi pintu ruangannya sudah diketuk, orangnya bahkan belum terlihat, tapi suaranya sudah terdengar. “Senior, dengar dengar kamu sudah kembali.” Setelah itu dia melihat Cikka yang begitu sumringah mendorong pintu masuk ke dalam.

Mengenai juniornya waktu berada di kampus ini Irwandi juga tidak bisa berbuat apa apa, dia sudah berkali-kali mengatakan kepadanya jika berada di kantor harus memperhatikan sikap dan perkataannya, tetapi dia masih tidak mendengar apa yang dia katakan dan berbuat seenaknya sendiri, dan lama kelamaan Irwandi juga malas untuk mengatakannya.

Setelah mendengar suaranya, Irwandi bahkan tidak mengangkat kepalanya, meletakkan dokumen di atas meja, mendudukan dirinya mencoba menarik nafas untuk menenangkan diri, setelah itu pergi ke ruangan direktur Brusto, menunggu untuk berbincang dengan direktur Miguel. Sejujurnya Irwandi sedikit gugup, dia bertemu dengannya saat rapat, dan rasanya direktur Miguel juga tidak begitu mengenal dirinya, tetapi entah kenapa dia mencarinya untuk berbincang. Tapi sejak direktur Brusto membocorkan mengenai apa perbincangan itu, rasanya itu bukan hal yang buruk. Bahkan hal ini membuatnya semakin penasaran.

Saat Irwandi masih tenggelam dalam lamunannya, tiba tiba Cikka sudah berada di depannya, wajahnya sudah tepat berada di depan wajahnya, kedua matanya menatap matanya dalam dalam, “apa yang kamu pikirkan hingga begitu menghayati, perempuan cantik ada di depanmu kamu masih tidak menyadarinya.”

Mendengar perkataannya ini, dan dia juga terlihat begitu misterius membuat Irwandi tersenyum, “katakan, ada masalah apa.”

“Cih.” Cikka memutar kedua kelopak matanya kesal, “apa yang bisa terjadi, kenapa pelatihan belum selesai tapi kamu sudah kembali.” Setelah itu dia mengatakannya lebih lirih, “apa atasan memanggilmu kembali?”

Irwandi menganggukan kepalanya pelan, kemudian dia menyalakan rokok yang sudah terjepit di sela sela jarinya.

Irwandi tidak mencoba menyembunyikan apapun kepada gadis di depannya, hal itu karena dia menganggapnya sebagai teman, yang kedua adalah karena Irwandi bisa merasakan jika perempuan ini memperlakukannya dengan tulus dan peduli.

Melihat Irwandi yang menganggukan kepalanya, Cikka langsung tersenyum secerah mentari, kemudian mengatakan, “Irwandi kamu akan naik pangkat.”

Saat mendengar perkataannya ini dia langsung terkejut, menatapnya dengan kebingungan, menggelengkan kepalanya, tidak mengatakan apapun lagi.

“Dengar dengar manager bagian perencanaan sedang dirawat dirumah sakit, dengar dengar dia sudah melaporkan laporan penyakitnya, tetapi aku mendengar kabar jika dia sudah melakukan kesalahan.” Cikka mengatakannya pelan.

“Apa hubungannya denganku, itu adalah posisi wakil pimpinan di masa depan.” Irwandi tersenyum tipis, dia merupakan orang asing bagi kota Brigil, karena istrinyalah dia datang ke tempat ini. Di tempat ini, dia tidak memiliki pendukung atau latar belakang dalam pekerjaan, jika dia bisa menempati posisinya saat ini, itu adalah karena hasil jerih payah dan kerja kerasnya selama ini, dan yang kedua mungkin karena pendidikannya. “sudah, aku masih ada urusan. Kita bicara lagi setelah pulang kerja.”

Cikka memutar kedua bola matanya kepada Irwandi, memanyunkan bibirnya, menggerutu, “habis manis sepah dibuang!” Setelah mengatakan itu dia langsung berjalan keluar dari ruangan.

Dia masih menyunggingkan senyum di wajahnya melihat Cikka berjalan keluar dari ruangannya, dia kembali menunggu beberapa menit, kemudian beranjak dan berjalan keluar, menaiki lift untuk menuju ke lantai enam, ke ruangan direktur Brusto. Melihat direktur yang sedang menundukkan kepala fokus dengan dokumen di depan mejanya, dia mengetuk pintu terlebih dahulu beberapa kali.

Saat mendengar ketukan di balik pintu, orang yang sedang berada di dalam langsung mengangkat pandangannya dan menatap Irwandi, tersenyum tipis, dia beranjak, “manager Irwandi sudah datang, masuklah, silahkan duduk.” Saat mengatakan itu dia memutari meja kerjanya untuk menyambut kedatangan Irwandi.

Saat berjalan mendekat, Irwandi mengeluarkan sebungkus rokok dari kantongnya, mengeluarkan sebatang dan memberikannya kepada Brusto, tersenyum, berkata, “direktur Brusto, aku datang untuk melapor, aku tidak terlambat kan.”

“Tidak boleh mengatakan melapor kepada aku, aku hanya melakukan apa yang direktur Miguel perintahkan saja.” Direktur tersenyum, rokok yang dia terima sebelumnya terlebih dahulu diletakkan di atas meja, kemudian beranjak mengambil teh dari meja di samping kirinya, menyeduhnya dan meletakkannya di atas meja, melihat Irwandi yang masih berdiri di sana, senyum di wajahnya terlihat semakin jelas, dia berkata dengan menunjukkan tangannya ke arah sofa, “manager Irwandi, jangan sungkan, silahkan duduk.”

Saat Irwandi keluar dari ruangan direktur Miguel, dia merasa sedikit bingung. Dia tidak tahu harus berkata apa, dengan seperti ini sudah tidak apa apa! Apa jangan jangan, dia diminta untuk kembali lebih awal agar hanya untuk berbincang dengan direktur Miguel!

Tadi saat berada di dalam ruangan, dia berbincang dan membicarakan hal yang biasa, membicarakan masalah kehidupan, masalah pendidikan, dan juga masalah pernikahannya. Dan yang terakhir direktur Miguel bahkan sempat mengatakan mengenai prestasinya dalam pekerjaan, dan dia juga memotivasi agar Irwandi bisa mendapatkan prestasi yang jauh lebih baik lagi.

Saat perbincangan mereka dirasa sudah cukup, Irwandi dengan begitu pengertian undur diri dari ruangan direktur Miguel.

Setelah dia keluar dia merasa jika harus kembali ke ruangan direktur Brusto, menyapanya dan berbincang beberapa patah kata, setelah itu baru kembali ke ruangannya, saat ini dia sedikit heran, masih tidak mengetahui alasan dibalik semua ini.

Kehidupan di perusahaan sama seperti jaring, di mana mana hanya ada kebocoran, informasi menyebar begitu saja, jadi jika ada hal yang berhubungan dengan naik jabatan atau naik gaji, berita itu tersebar begitu cepat, dan juga sangat menarik untuk mereka berbincangkan.

Sekarang juga tidak ada berita mengenai naik jabatan, Irwandi duduk di sana tertawa beberapa kali, menerima pengaruh dari Cikka, perkataannya juga membuatnya berfikir berlebihan. Dia tidak memiliki latar belakang dan juga seseorang yang mendukungnya. Posisi sepenting itu bagaimana bisa dia mendapatkannya!

Irwandi menyalakan sebatang rokok, dia kembali memikirkan akan masalah rumah tangganya, memikirkan akan istrinya. Senyum di wajahnya tiba tiba berubah menjadi senyum pahit. Sekarang rumah tangganya saja sudah mengalami masalah. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya, kenapa dia masih memikirkan masalah naik jabatan! Ini benar benar salah kaprah, dia tidak memiliki keluarga yang bahagia, apa gunanya naik jabatan!

Sumber kebahagiaan yang sebenarnya bagi dirinya bukanlah naik jabatan ataupun naik gaji. Tapi itu berasal dari kebahagiaan keluarganya.

Irwandi memasukkan puntung rokok ke dalam asbak, melihat jam yang menggantung di dinding, waktu hampir menunjukkan waktu pulang kerja, sekarang dia masih harus kembali ke rumah untuk melihat keadaan saat ini.

Istrinya yang sangat jarang mengurusi pekerjaan rumah tangga kali ini pasti sudah bekerja keras, membersihkan rumah sebersih mungkin. Irwandi memikirkannya dengan geram.

Novel Terkait

Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
My Japanese Girlfriend

My Japanese Girlfriend

Keira
Percintaan
3 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu