Istri Pengkhianat - Bab 26 Ayah Mertua dan Ibu Mertua

Menurut informasiku dan kata-kata yang sepertinya sengaja dibocorkan oleh Direktur Brusto siang ini, setelah Irwandi menganalisisnya dengan jelas, ia pun mencuci muka dan berbaring di ranjang kamar lain lalu tertidur.

Beberapa hari ini, istri yang selingkuh, pelatihan ke luar kota, perkumpulan antar rekan kerja dan lain-lain, membuat ia kelelahan secara rohani maupun jasmani. Kebetulan sore ini tidak ada urusan, Irwandi yang minum sedikit alkohol untuk menyantaikan diri, langsung tertidur di atas ranjang dan sedikit .

Marena yang pulang ke perusahaan, setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan gembira, tiba-tiba teringat suaminya lagi. Ia pun mengerutkan dahi dan berpikir bagaimana caranya untuk menjelaskan semua ini kepada suaminya dengan wajar dan lancar. Membutuhkan kesempatan seperti apa?

Ponselnya berdering dan ia menemukan bahwa Ibunya yang menghubunginya.Marena pun langsung mengangkatnya sambil tertawa manja dan berkata, “Ibu, mengapa hari ini kepikiran menelepon aku?”

“Dasar kamu ini, aku tidak menghubungi kamu, kamu tidak tahu pulang untuk mengunjungi kita.” Ibunya, Suya sedang mengomelinya dengan penuh kasih sayang, “Kamu hitung sendiri, sudah berapa hari tidak pulang.”

“Hehe.” Marena tertawa dan berkata dengan manja lagi, “Kan aku lagi sibuk. Beberapa lama yang lalu aku baru berbisnis keluar kota, baru pulang dua hari ini.” Ia mengubah topik pembicaraan dan berkata, “Ibu, hari ini tidak kerja? Bagaimana dengan Ayah?”

“Kerjaan Ibu tidak begitu sibuk.” Suya berkata, “Ayah kamu sedang kerja. Hari ini aku beli ikan gabus utara liar, nanti malam kamu pulang makan. Irwandi sedang pelatihan keluar kota, tidak tahu juga bagaimana kamu melewati hari-hari ini.”

Setelah ragu-ragu, Marena tidak bilang suaminya sudah pulang, tetapi ia mengiyakan dengan cepat, “Baiklah, sudah lama tidak makan masakan Ibu, aku sungguh merasa rindu.”

“Kalau rindu, nanti pulang makan yang banyak.” Suya mengeluh, “Kalau begitu, nanti kamu pulang, aku masak ikan.”

Setelah memutuskan panggilan, Marena merenung, apakah malam ini mau mengajak suaminya pulang makan bersama. Secara logika, ini adalah kesempatan yang baik. Tapi ia juga tidak ingin menghubungi suaminya terlebih dahulu.

Marena bersandar di kursi sambil melipatkan tangan di depan dadanya, ia terus mengetuk ponsel di dagunya. Sebenarnya ia harus bagaimana mengajak suami untuk datang makan ke rumah. Seketika ia kepikiran Ayahnya.

Irwandi sangat hormat kepada orang tuanya, terutama ia bisa berbincang dengan Ayahnya. Mereka berdua sering minum sedikit alkohol atau menyeduh teh sambil berbincang bersama. Semunya pasti akan beres kalau Ayahnya menghubungi suaminya.

Ia sudah tidak peduli harus bagaimana bilang kepada Ayahnya. Ia pun menghubungi Ayahnya terlebih dahulu baru memikirkannya lagi. Maka itu, Marena menghubungi Ayahnya, Munos Zheng, “Ayah, ini aku. Ayah sekarang sibuk tidak?”

“Hehe, kebetulan sekarang tidak ada pasien di departemen.” Ayahnya bertanya dengan bahagia, “Mengapa hari ini kamu kepikiran untuk menghubungiku? Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, memangnya aku tidak boleh menghubungi Ayah?” Marena berkata dengan manja, “Karena rindu, maka aku menghubungimu.”

“Iya, aku tahu kamu rindu padaku.” Munos berkata dengan nada bercanda, “Kalau tidak ada apa-apa, aku matikan ya. Kata Ibumu, malam ini kamu akan datang ke rumah untuk makan bersama. Nanti malam juga ketemu, tidak perlu rindu.”

“Ayah.” Marena memanggil dengan manja, ia tahu bahwa Ayahnya sedang bercanda, tapi bagaimana kalau ia benar-benar memutuskan panggilannya.

“Haha.” Munos tertawa dengan gembira, “Katakanlah, ada apa sebenarnya?”

“Ayah.” Marena berkata dengan terbata-bata, “Aku ingin meminta bantuanmu untuk menghubungi Irwandi dan mengajaknya makan malam di rumah.”

“Ada apa? Apakah Irwandi sudah pulang?” Munos bertanya karena bingung, “Bukannya ia harus pelatihan keluar kota selama setengah bulan? Mengapa sekarang sudah pulang?” Setelah berhenti sebentar, ia pun lanjut berkata, “Bukannya kamu bisa menghubunginya sendiri? Mengapa harus Ayah, kamu melakukan kesalahan lagi ya?”

“Apa sih!” Marena berkata dengan kesal, “Mengapa bilang aku yang bersalah, memangnya ia tidak bersalah.” Lalu ia pun menjelaskannya, “Perusahaan yang menyuruhnya untuk pulang lebih awal, aku tidak bertanya rinciannya.”

“Itu semua tidak penting, berdasarkan kemampuannya, seharusnya ini adalah hal baik. Aku ini bertanya padamu, mengapa menyuruhku untuk menghubunginya?” Suara Munos terdengar tidak seperti sedang bercanda, melainkan agak serius.

Marena berfikir sebentar, kepikiran suaminya yang pulang telat tadi malam, serta bau rokok dan alkohol di bajunya, ia pun mengeluh, “Itu karena kemarin malam ia meminum alkohol diluar dan pulang malam. Aku mengocehinya sedikit, jadi...” Berkata sampai sini, ia pun dengan pandai tidak lanjut berkata, tetapi membiarkan Ayahnya untuk membayangkannya sendiri.

"Sifatmu, seharusnya tidak hanya mengoceh sedikit kan.” Munos menyalahkan ia, “Sejak awal aku sudah pernah bilang padamu untuk bertingkah lebih baik pada Irwandi, tetapi kamu tidak mendengar kata-kataku. Lagipula Irwandi berkumpul di luar juga tidak ada salahnya. Mengapa harus dipermasalahkan?”

“Ayah.” Marena sudah tidak mau mendengar lagi dan memanggilnya dengan manja.

“Sudah, sudah, aku akan menghubungi Irwandi.” Munos diam-diam menghela nafas, “Semoga kedepannya kamu jangan menyesal.” Ia pun memutuskan panggilannya setelah berkata.

Irwandi yang sedang tertidur mendengar ponselnya berdering, ia pun langsung mengambil dan melihatnya. Ayah mertua yang menghubunginya, ia pun langsung mengangkat, “Ayah, apakah ada masalah hingga menelepon kemari?”

Mendengar suara Irwandi yang sedikit tidak jelas, Munos bertanya: “Mengapa? Apakah kamu sedang tidur?”

“Hehe, kebetulan sore ini tidak ada urusan lagi di kantor.” Irwandi menjelaskan, “Ayah, ada masalah apa?”

Tampaknya kemarin malam Irwandi benar-benar minum terlalu banyak dan juga pulang malam. Munos yang sedang berfikir pun berkata sambil tertawa, “Kata Marena, kamu sudah pulang, hari ini Ibu mertuamu membeli seekor ikan liar dan menyuruh kalian pulang rumah makan.”

Setelah sedikit bengong, Irwandi pun langsung menyetujuinya dengan cepat, “Baiklah, sudah lama juga tidak minum alkohol bersama Ayah.”

“Haha, bagus kalau begitu, malam ini kita berdua minum sedikit.” Munos berkata sambil tertawa senang. Tetapi hal yang sebenarnya ingin ia katakan adalah tidak masalah menemani aku minum alkohol atau tidak, yang penting kalian suami istri baik-baik saja. Tetapi ia tidak mengatakannya. Menurut ia, seharusnya anaknya yang lebih bersalah.

Setelah selesai bertelepon dengan Ayah mertua, Irwandi merasa sedikit bersalah. Ia sudah lama tidak pergi menemani Ayah mertua berbincang dan minum bersama. Sebelumnya selang beberapa hari ini, dirinya sering pergi kesana, beberapa hari ini pikirannya sedang dibuat kacau oleh istri. Sepertinya Ayah mertua mereka sudah tua dan hanya berharap anak-anak bisa sering menemani di sisi mereka.

Melihat sudah mau pukul lima, ia pun bangun dan turun dari ranjang. Ia pun berberes dengan sederhana dan berpakaian baju, lalu keluar rumah. Tiba di pasar, ia pun membeli empat botol alkohol yang enak dan juga jujube yang berkualitas tinggi.

Terhadap Ayah mertua yang pengertian dan cerdas, Irwandi sangat hormat dan berterima kasih padanya. Saat itu, ia berpacaran dengan Marena saat kuliah, entah karena alasan apa, Marena tidak memberitahu keluarganya. Setelah lulus kuliah, ia baru membawa Irwandi pulang ke rumah.

Masih ingat saat itu Ibu mertua sepertinya kurang setuju, tetapi Ayah mertua malah sangat setuju dan sangat mendukung. Karena persetujuan dari Ayah mertua dan Marena yang bersikeras, Irwandi baru bisa menikah dengan Marena.

Saat Irwandi menikah, sudah merupakan tahun kedua ia datang ke kota Brigil. Saat itu ia mengikuti ujian terbuka dan masuk ke perusahaan tenaga listrik yang sekarang. Baru kerja selama satu tahun lebih, ia tidak memiliki banyak uang, masih kurang sedikit untuk membayar uang muka. Tantenya sendiri yang mengirim uang kepadanya setelah mendengar hal ini.

Saat itu adik sepupu perempuan Irwandi di luar negri juga sangat membutuhkan uang. Uang yang dikirim oleh Tantenya juga ada yang dipinjam dari luar. Irwandi hanya mengambil empat puluh juta, dan mengembalikan semua sisanya. Ini juga membuat Tante merasa sedih dan juga tak berdaya terhadap keponakan yang keras kepala ini.

Setelah Ayah mertua mendengar hal ini, ia pun diam-diam memberikannya uang sebanyak dua ratus juta lebih. Lalu berkata bahwa ini adalah uang untuk renovasi. Walaupun setelahnya sudah mengembalikan uang itu kepada Ayah mertua, tetapi hal ini selalu membuat Irwandi merasa sangat berterima kasih. Setelah menikah, Ayah mertua juga sangat ramah kepadanya, seperti hampir menganggap dirinya sebagai anak kandung.

Dari Ayah mertua, Irwandi yang sudah kehilangan orang tua sejak kecil, bisa merasakan kasih sayang dari seorang Ayah dan kehangatan. Ini juga merupakan salah satu alasan Irwandi sangat mencintai Marena.

Keluar dari pasar dan tiba di rumah Ayah mertua sudah pukul enam lebih. Ia menekan bel pintu dan melihat istrinya yang membuka pintu dengan mengandalkan wajah yang cantik tanpa riasan sambil menatapnya dengan angkuh. Irwandi pun linglung sebentar dan mengangguk kepala setelah sedikit tercengang. Ia menundukkan kepala dan mengganti sepatu sambil menenteng kantong yang ia bawa dari pasar lalu masuk ke ruang tamu. Marena yang berada di belakangnya, menatap sinis dengan tidak senang.

Irwandi yang masuk ke ruang tamu dan melihat Ayah mertua duduk disana, ia pun menyapanya sambil tersenyum, “Ayah.” Lalu ia meletakkan kantong di atas meja. Kemudian masuk ke dapur melihat Ibu mertua yang sedang sibuk, “Ibu, ada urusan apa, aku saja yang melakukannya.”

Suya yang mendengar suara pun menoleh dan melihat Irwandi, ia juga tidak sungkan, “Kamu datang dalam waktu yang tepat, cucilah beberapa sayur ini.”

“Baik.” Irwandi melepaskan mantel dan menaruhnya di atas sofa ruang tamu. Saat ingin masuk ke dapur, Ayah mertua pun memanggilnya, “Irwandi, kamu tidak perlu sibuk-sibuk, sini temani aku ngobrol.”

Lalu Munos memanggil Marena yang sedang duduk di sofa dan melototi Irwandi, “Marena, seduhkan teh untuk Irwandi.” Tetapi Marena malah menoleh pergi. Munos hanya bisa senyum tak berdaya pada Irwandi, “Sudah terbiasa dimanjakan.” Sambil berkata, ia bangun dan bersiap untuk menyeduh teh.

Irwandi segera menolak sambil tertawa dan berkata, “Ayah, kalau mau minum teh aku akan seduh sendiri. Aku ke dapur dulu, nanti baru ngobrol bersamamu.” Sambil berkata, ia masuk ke dalam dapur.

Melihat Irwandi yang masuk ke dalam dapur, Munos pun melototi Marena yang sedang duduk disampingnya sambil memainkan ponsel, “Kamu ini, apa yang harus kukatakan padamu. Daripada main ponsel disini, lebih baik pergi membantu.” Tapi melihat anaknya seperti tidak mendengar, ia diam-diam menghela nafas dengan tak berdaya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya yang terlalu memanjakannya.

Irwandi yang memasuki dapur pun mencuci sayur dengan cepat. Ia mengeluarkan celemek dari lemari di samping dan memakai dengan mahir, tersenyum dan berkata, “Ibu, kamu pergi istirahat saja, sisanya biarkan aku saja yang kerjakan.”

Suya tidak menolak, “Kalau begitu aku keluar dulu, sudah sibuk satu sore, pinggangku terasa sedikit pegal.” Sambil berkata, ia berjalan keluar dari dapur.

Irwandi pun tertawa, lalu menunduk dan mulai sibuk. Sibuk hampir satu jam, ia memasak lauk dan membawa ke meja satu per satu, juga mengambilkan mangkuk, sumpit dan gelas bir. Ia melepas celemek dan memanggil sambil tersenyum: “Ayah, Ibu, ayo makan.” Lalu ia berjalan ke arah meja kopi dan mengeluarkan alkohol dari kantong, kemudian datang ke samping meja makan.

Saat bersiap untuk membuka, melihat alkohol yang dipegang adalah alkohol yang telah difermentasikan selama tiga puluh tahun. Ayah Mertua pun berkata dengan sedikit kesal, “Untuk apa membeli alkohol sebagus ini?”

Mendengar ini, Suya baru menyadari alkohol yang dipegang Irwandi. Ia pun mengulurkan tangan dan mengambil kemari, “Hari ini bukanlah hari penting, untuk apa minum alkohol sebagus ini. Simpan, minum saat tahun baru saja.” Sambil berkata, ia mengambil alkohol dan meletakkannya di dalam kamar. Lalu mengeluarkan arak putih biasa dan menaruhnya di atas meja, “Munos, kamu darah tinggi, hanya boleh minum satu gelas. Irwandi, kedepannya kamu juga jangan minum banyak-banyak, kalau tidak, bisa mempengaruhi anak.”

Munos tersenyum pahit pada Irwandi. Irwandi berkata sambil tertawa: “Kata Ibu benar, malam ini aku akan menemani Ayah untuk minum satu gelas alkohol saja.”

Melihat Irwandi yang menuang alkohol sampai penuh, Munos pun menyesap sedikit lalu makan satu suap lauk dan berkata sambil tersenyum: “Benar kata Ibumu, kamu dan Marena seharusnya segera melahirkan anak. Mumpung tubuh aku dan Ibumu masih kuat, kita juga bisa bantu kalian untuk merawat anak.”

Irwandi bersulang dengan Ayah mertua dan berkata sambil tertawa hangat, “Ayah, tidak perlu buru-buru untuk hal ini, tunggu kondisi kita lebih baik lagi. Baru kita diskusikan hal untuk melahirkan anak.”

Tangan Munos yang sedang mengambil lauk pun berhenti, Marena yang sedang fokus makan pun menoleh ke arah suaminya dengan penasaran. Biasanya datang makan, kedua orang tua memang selalu mendesak mereka untuk melahirkan anak. Marena yang selalu menolaknya, sekarang mengapa Irwandi juga ikut menolak.

“Kondisi apa yang harus lebih baik lagi?” Mendengar ini Suya pun tidak senang. 'Plak' Ia menaruh sumpit di atas meja. “Dulu menyuruh kalian untuk melahirkan anak, kalian selalu bilang tunggu kondisi lebih baik, sekarang kondisi sudah baik, bilangnya tunggu lebih baik lagi.”

“Ini bukannya sengaja tidak mau membiarkanku menggendong cucu? Oktavia di departemen kita, anaknya telah melahirkan dua cucu untuknya. Coba lihat diri kalian.”

“Melahirkan anak juga bukan hal yang mendesak.” Munos melihat suasana yang sedikit canggung, ikut menengahi dan berkata, “Tapi yang dikatakan Ibumu benar, usia dan tubuh kalian yang sekarang sangat pas di saat untuk melahirkan anak.”

Setelah selesai makan, melihat Irwandi membersihkan dapur dan mencuci mangkuk sumpit, lalu menenteng kantong sampah dan bersiap pergi, Marena mengambil tas dari sofa dan berkata sambil tersenyum: “Ayah, Ibu, aku dan Irwandi pulang dulu.” Sambil berkata, ia menggandeng tangan Irwandi yang satu lagi dan berjalan keluar rumah dengan tidak rela melepas.

Melihat anaknya yang keras kepala, ia terpikir lagi sejak Irwandi tiba, Irwandi yang terus sibuk. Dulu Irwandi masih menunjukkan rasa tidak sabar dan mau terhadap hal melahirkan bayi. Tapi hari ini, Munos merasa sedikit khawatir.

Keluar dari pintu rumah dan turun ke lantai bawah, Irwandi mengulurkan keluar tangannya dengan sedikit menggunakan tenaga, berjalan ke pinggir jalan dan membuang sampah ke dalam tong sampah, lalu langsung berjalan ke arah luar perumahan.

Marena mengejar dengan marah dan meletakkan kunci mobil ke tangan Irwandi, “Kamu bawa mobil, kita pulang dan bicarakan baik-baik.” Sambil berkata, ia berjalan ke arah tempat parkir dengan cepat.

Irwandi yang berdiri di sana bengong sebentar, jangan-jangan istrinya sudah mau menjelaskan dengan jujur.

Novel Terkait

Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu
A Dream of Marrying You

A Dream of Marrying You

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
3 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu