Istri Pengkhianat - Bab 61 Diinterogasi oleh Ayah dan Ibu Mertua

Keesokan hari, Irwandi mendapatkan telepon dari ayah mertua, bilang bahwa sudah lama sekali mereka tidak pulang ke rumah untuk makan bersama, jadi ingin menyuruhnya nanti malam pulang untuk makan bersama. Selesai ayah mertua bicara, ia langsung menutup teleponnya.

Irwandi yang teleponnya dimatikan, terdiam, tampaknya ayah dan ibu mertua sudah mengetahui masalah perceraian dia dengan Marena. Sepertinya Marena yang pulang dan memberitahu. Memang seharusnya aku memberitahu ayah dan ibu mertua, tetapi, karena aku sakit dan belum terpikirkan bagaimana bilangnya, jadinya terundur terus.

Tidak tahu saat Marena pulang ke rumahnya bagaimana bilangnya.

Sepulang kerja, Irwandi membawa bir dan hadiah yang baru dibeli, datang ke rumah ayah mertua, melihat ibu mertua membukakan pintu, aku tersenyum dan menyapa, “ibu.”

“tidak berani untuk menanggung panggilanmu ini.” Ibu mertua, Suya berbicara dengan tidak senang, “sekarang kamu sudah hebat, bilang tidak mau Marena langsung dibuang. Tidak pikir apa rupamu waktu pertama kali datang ke Kota Brigil.”

Irwandi merasa sangat canggung, dia memaksa untuk tersenyum dan bertanya, “apakah ayah ada di rumah?” melihat ibu mertua tidak bicara lagi, dia langsung menyelip lewat samping ibu mertua dan masuk ke dalam rumah, melihat ayah mertua di ruang tamu, dia menyapanya, “ayah.”

“ya, sudah datang ya.” Ayah mertua, Munos menyapa balik, berkata: “ikut aku ke ruang kerja.”

Irwandi meletakkan barang di tangannya, matanya menatap sekeliling namun tidak melihat Marena, lalu dia langsung menenteng tasnya dan mengikuti ayah mertua dari belakang, masuk ke ruang kerja.

“duduklah.” Sambil melihat Irwandi yang masuk, Munos menunjuk ke arah bangku, lalu duduk di bangku yang satunya lagi, melihat Irwandi dan bertanya: “kamu dan Marena sebenarnya ada apa?”

Irwandi duduk di bangku, dia ragu dan bertanya : “ayah, Marena tidak bilang pada kalian ya.”

Munos berkata dengan sedikit tidak senang, “sekarang aku ingin dengar, bagaimana kamu akan menjelaskannya pada kami.”

Melihat Irwandi menundukkan kepala dan tidak bicara, Munos menghela napas, bicara dengan kata-kata yang tulus: “aku tahu Marena, anak ini sangat emosian, keras kepala dan sifatnya keras. Aku juga sering memberitahunya. Tetapi dia tetap tidak berubah, ini juga membuatku tidak senang, juga pasrah, karena dia sudah menikah denganmu, tentu tidak boleh memarahi dan memukul seperti memperlakukan anak-anak.

Tapi, kalau mau dibilang, ketika kalian masih pacaran, kamu juga tahu hal-hal ini. Masa, waktu pacaran bisa menahannya, sudah menikah malah tidak bisa. Bagaimanapun, kamu juga tahu, Marena sayang padamu, kalau tidak, kalian tidak mungkin menikah. Poin ini pasti kamu sangat jelas. Sekarang, coba kamu katakan kenapa cerai dengan Marena.”

Setelah Munos selesai bicara, ruang kerjanya menjadi sunyi lagi. Sudah berlalu lama, Irwandi mengangkat kepalanya, bertanya: “ayah, apakah Marena tidak memberitahu kalian alasan kami cerai?”

“kamu masih bisa memanggilku ayah, berarti di lubuk hatimu masih ada aku dan ibu mertuamu.” Munos menghela napas lagi dan berkata: “kalian beberapa hari tidak pulang ke rumah untuk makan, ibu mertuamu menelepon Marena. Saat pulang Marena hanya menangis, setelah ditanya-tanya terus, langsung bilang kalau kalian sudah bercerai, begitu ditanya lagi, dia tidak mau jawab.” Berhenti sejenak, Munos bertanya dengan ragu-ragu: “apakah, karena Marena tidak mau melahirkan anak, kamu punya simpanan di luar sana?”

“ayah.” Irwandi memanggil dengan wajah yang masam, tidak menyangka ayah mertuanya mencurigainya seperti itu.

“kalau begitu beritahu alasannya.” Munos bertanya sambil menatap Irwandi: “padahal baik-baik saja, kenapa malah cerai?”

“beberapa hari lalu aku sakit, kalau tidak pasti aku akan beritahu ayah dan ibu mertua lebih awal.” Irwandi yang tampak masam, bicara dengan pelan: “sebenarnya, di dalam hati, aku ingin Marena sendiri yang memberitahu kalian. Tapi karena anda sudah bertanya kepadaku, kalau begitu aku saja yang bilang.”

Bicara sampai sini, Irwandi berhenti sejenak, memejamkan mata dengan sedih, lalu lanjut bicara: “Marena selingkuh!”

Mendengar putrinya selingkuh, Munos menganga, dia tidak bisa mempercayainya, lalu berdiri dan bicara dengan emosi: “ini tidak mungkin. Walaupun Marena banyak kekurangan, tetapi dia sepenuh hati terhadapmu, mana mungkin selingkuh.”

Irwandi buru-buru berdiri dan membopong Munos, “ayah, jangan emosi.”

“berikan aku buktinya.” Munos marah dan menepis tangan Irwandi, “karena kamu bilang Marena selingkuh, tunjukkan buktinya.”

“ayah, anda duduk dulu dan dengarkan penjelasanku.” Irwandi memapah Munos untuk duduk di bangku, lalu dia juga duduk. Di tengah kecurigaan Munos, Irwandi menceritakan kejadiannya dari awal sampai akhir. Dan, poin penting yang dia katakan adalah beberapa kali komunikasi dengan Marena, yang didapatnya adalah kebohongan, lalu bilang lagi kalau masalah ini teman baik Marena dan suaminya juga mengetahuinya dan pernah melihatnya.

“tunjukkan fotonya padaku.” Wajah Munos muram, masih belum menyerah juga “bukannya katanya kamu punya fotonya? Keluarkan fotonya.”

Untungnya, sejak setelah cerai, foto-foto ini terus disimpan di dalam tas, Irwandi mengeluarkannya, dan memberikan foto dan surat cerainya kepada Munos tanpa bilang apa-apa.

Munos meletakkan surat cerainya di atas meja, dengan terburu-buru melihat foto-fotonya, dengan cepat dia membuka pintu ruang kerjanya dan pergi ke ruang tamu, lalu berteriak: “Marena, Marena! Keluar kamu!”

“kamu kenapa teriak-teriak apa sih.” Suya bicara dengan tidak senang, “ada masalah apa, kamu sampai harus langsung memanggil putri kita. Masa perceraiannya salah putri kita!” sambil bicara dia menatap Irwandi yang sedang keluar dari ruang kerja, berkata: “Irwandi, kamu benar-benar tidak punya hati nurani, kalau waktu itu bukan karena dukungan dari ayahmu, tidak mungkin kamu bisa menikahi Marena. Kamu lihat kamu buat ayahmu marah sampai seperti apa!”

“diam kamu. Kamu yang memanjakannya sampai seperti itu.” Munos menatap Suya sambil memarahinya, menunjuk ke pintu kamar, dan menyuruhnya: “sekarang kamu ke kamar, panggil Marena keluar.”

“kalau bisa kamu lampiaskan kemarahanmu padaku.” Suya bicara dengan sangat marah: “kalau mau panggil, kamu panggil saja sendiri.” Selesai bicara, melihat Irwandi dan berkata: “Irwandi, lihatlah kamu sekarang, pikirkan lagi saat kamu baru datang ke Kota Brigil, miskin dan kampungan, tapi, anak kami Marena malah mau menikah denganmu, sekarang kamu puas kan, sudah mau cerai dengan Marena.

Untunglah Marena berpikiran panjang, tidak mau punya anak, kalau tidak, pasti rugi banget, sekarang sudah jelas rupa aslimu, untung saja sudah cerai. Aku beritahu kau, setelah Marena cerai, pasti akan mendapat laki-laki yang lebih baik dari kamu.”

“kamu. Kamu.” Munos murka sampai tidak bisa berkata-kata, langsung menampar wajah Suya, menunjuknya dan memarahinya: “semuanya karena kamu yang mengajar putri kita.”

Suya yang ditampar, terkejut sambil memegangi wajahnya, dia terdiam karena selama ini belum pernah melihat Munos yang marah sampai seperti itu.

Irwandi juga terkejut, buru-buru membopong Munos, berkata: “ayah, jangan emosi, ada masalah apa bicarakan baik-baik.” Di saat yang sama saat bicara, Irwandi sambil membopong Munos masuk ke ruang kerja lagi.

Suya yang tersadar, langsung berteriak dan menunjuk kearah pintu utama, berkata: “Irwandi, pergi kamu, kamu sudah membuang putriku, masih ada muka untuk sok baik di sini.”

Irwandi membopong Munos untuk duduk di bangku ruang kerjanya, Munos memegang tangan Irwandi dengan erat dan berkata: “berikan Marena satu kesempatan lagi, dia hanya gegabah, lain kali aku pasti akan mengajarnya dengan baik. Aku tahu kalau dia masih mencintaimu.”

“ayah, bagaimana aku memberinya kesempatan lagi.” Irwandi berkata dengan tersiksa: “aku sudah memberinya beberapa kali kesempatan.” Sambil bicara dia bersujud kepada Munos, berdiri dan berkata: “aku mengecewakanmu, lain kali kalau ada masalah apa, silahkan telepon kalau butuh bantuanku.”

Di saat ini, Suya menerobos masuk ruang kerja, bertanya dengan marah: “Irwandi, kamu di luar punya simpanan makanya kamu membuang Marena ya? Aku akan telepon untuk bilang tantemu, bilang kalau kamu di luar punya simpanan, sekarang sudah cerai dengan Marena.”

Irwandi melihat Suya, berkata: “alasan spesifiknya, silahkan anda tanyakan ke Marena. Kalau sudah jelas dengan alasan cerainya, baru putuskan mau telepon tau tidak.”bicara sambil berjalan melewatinya, berjalan keluar dari pintu rumah, dan menutupnya rapat-rapat.

Begitu turun dari atas, Irwandi berhenti dan mengangkat kepalanya untuk melihat sekilas, lalu memutar badannya dan jalan ke depan.

Novel Terkait

Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu