Istri Pengkhianat - Bab 6 Menghubungi Sahabat Istri

Sudah begitu banyak minuman yang masuk ke dalam perutnya, tetapi kesadarannya masih saja begitu baik, perasaannya semakin menyedihkan dan penuh kegetiran!

Kenapa istrinya harus menghianatinya, menghianati keluarga yang sudah mereka bina selama ini. Mengenai gaji pokoknya saja setelah dikurangi asuransi kesehatan dan yang lainnya, setiap bulan bisa mendapatkan sekitar 40 juta, gaji dari istrinya juga mencapai 20 juta, jika keduanya digabungkan maka akan lebih dari cukup.

Kondisi tubuhnya juga sangat hebat, ketika diatas ranjang, entah itu kekuatan atau berapa kalinya, sudah sangat memuaskan istrinya, setiap melakukannya dia bisa membuat istrinya mendesah penuh kenikmatan. Masalah perasaan, dia selalu saja patuh kepada istrinya, memanjakannya dengan teramat sangat, sama seperti apa yang Cikka katakan, dia adalah budak istri.

Tetapi Irwandi masih tidak mengerti kenapa istrinya harus menghianatinya seperti ini, tidak ada kemungkinan apapun dalam benaknya. Kemudian dalam pandangannya muncul sosok istrinya yang tersenyum dengan sangat dingin, dan disisi lain wajah istrinya yang sangat ramah berhambur ke pelukan laki laki lain.

Seketika dia langsung beranjak dari kursi yang diduduki, tangannya meraih botol minuman di atas meja dan bersiap untuk memecahkannya. Saat dia sudah membelalakkan kedua matanya, di depannya sudah tidak ada sosok istrinya, dan juga tidak ada sosok laki laki lain, hanya ada rumah yang kosong melompong. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat, Irwandi menyadari jika dia masih berada di rumah, dan dari telinganya terdengar suara televisi. Dia sadar jika barusan itu hanyalah halusinasinya.

Seketika tubuhnya kehilangan kekuatan, kembali terjatuh ke atas sofa karena lemas, tangannya masih memegang erat botol minuman yang sempat dia ambil. Dia mengarahkan mulut botol ke bawah, ternyata minuman di dalam sudah habis. Sedangkan dari kedua pelupuk matanya mulai menetes butiran air mata.

Saat dia terbangun dengan kedua mata yang menyempit, dia menyadari jika dirinya masih terbaring di atas sofa, melihat jam yang menggantung di dinding, ternyata sudah tengah malam. Dia membuka matanya lebar untuk melihat keadaan di rumah, setelah itu beranjak dari sofa, terhuyung huyung masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah selesai mandi, dia mengambil telepon miliknya, terlihat ada beberapa panggilan tidak terjawab, beberapa adalah milik rekan kerjanya, dan ketiga yang lainnya adalah panggilan tidak terjawab dari istrinya. Istrinya menelepon sekitar pukul 10 malam. Dia tersenyum. Masuk ke dalam kamar utama, meletakkan teleponnya di meja samping ranjang, membaringkan diri di atas tempat tidur.

Kedua matanya terbuka lebar, pikirannya sedang kacau balau, malam ini berlalu begitu saja, saat mendengar teleponnya berdering, Irwandi langsung beranjak dari atas tempat tidur, melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi, mempersiapkan diri, mengambil tas kerjanya dengan cepat seperti ingin meninggalkan rumah yang dulunya penuh dengan kehangatan ini.

Saat dia sudah berada di luar rumah, langkah kakinya menjadi stabil, wajahnya menyunggingkan senyuman, mulai bertegur sapa dengan sopan kepada satpam, berjalan meninggalkan kompleks rumah. Dia pergi ke perusahaan dengan menaiki kendaraan umum, setelah masuk ke dalam ruang kerjanya dia menuangkan air untuk menyeduh segelas teh.

Teh dalam gelasnya bahkan belum dia minum sudah terlihat Cikka masuk ke dalam ruangan, Irwandi yang sebelumnya terlihat begitu bersemangat, rona wajahnya terlihat tidak mengenakkan, seperti tidak percaya akan apa yang dia lihat, dia kembali menatapnya, kemudian mulai mengatakan, “senior, tidak perlu berusaha keras seperti itu, bukankah hanya satu minggu saja.”

Mendengar ejekan itu Irwandi menatapnya kebingungan, “apanya yang berusaha keras.”

Mendengar pertanyaan itu, wajah Cikka langsung merah, tatapan kedua matanya beralih menatap arah lain, kemudian kembali menatapnya sekilas, berkata kesal, “kamu, kamu menjengkelkan.”

Setelah mengatakan itu dia langsung berjalan keluar dari ruangan. Irwandi yang masih mematung langsung merasa aneh, dia tidak mengatakan apapun, kenapa bisa berubah menjadi menjengkelkan. Mungkin perempuan itu sedang tidak waras, setelah itu dia tidak memikirkan apapun lagi.

Siang nanti Irwandi akan pergi pelatihan, dia merapikan pekerjaan yang tersisa, dengan begitu akan mudah mengurusnya setelah kembali dari pelatihan. Setelah itu dia menghabiskan waktu dengan bersosialisasi bersama rekan kerja, berbincang, saat siang mereka memesan makanan di kantin, saat perjalanan kembali ke ruang kerjanya, dia mencari beberapa informasi dari internet, artikel atau berita mengenai istri yang selingkuh, semua dia buka dan baca, di dalamnya juga dilengkapi dengan saran bagaimana menghadapinya.

Setelah membaca beberapa postingan di internet, Irwandi mencoba menggabungkan cara yang tertera di dalamnya, kemudian mendapati siapa yang sekiranya mengetahui tentang keadaan istrinya.

Hasil yang menunjukkan adalah rekan kerja dan juga sahabatnya, tetapi selama ini mereka tidak begitu akrab dengan dirinya, dan jika dia melakukan hal itu mungkin akan membuat istrinya menjadi waspada. Akhirnya Irwandi memutuskan untuk menargetkan Okatvia.

Oktavia adalah teman istrinya saat di sekolah menengah atas dan juga saat di perguruan tinggi, sampai sekarang mereka adalah teman baik, pada saat dia masih berpacaran dengan istrinya dia sudah mengenal Oktavia. Suaminya, Ronald juga pernah minum bersamanya beberapa kali, hubungan diantara mereka berdua terbilang cukup bagus, jika dia mencarinya untuk menanyakan beberapa hal, seharusnya tidak akan ada masalah.

Dia sudah memutuskan, saat istirahat makan siang dia menghubungi Ronald, dan sambungan telepon tersambung, “direktur Ronald, apa kabar, aku Irwandi.”

“Hahaha. Aku tahu itu kamu.” Ronald yang mendengar suara Irwandi langsung tertawa, “kita ini teman, jangan memanggil aku seperti itu. Kenapa tiba tiba kamu menghubungiku, apa kamu ingin pergi minum bersama. Oh iya kamu sudah kembali dari pelatihan?”

“Haha.” Irwandi juga turut tertawa, “iya benar, jika ada waktu mari pergi minum bersama, jika malam ini ada waktu, ajak saja istrimu sekalian untuk makan Haidilao hot pot, sekalian kita minum bersama, bagaimana?”

“Haha, baiklah.” Ronald langsung mengiyakan, “Jika hari ini kamu tidak menghubungiku, mungkin dalam beberapa hari ke depan akulah yang akan menghubungimu. Ya sudah seperti itu saja, malam ini aku saja yang akan mentraktir.”

“Bagaimana bisa, malam ini aku saja yang mentraktir.” Irwandi menjawab, “simpan saja traktiranmu itu untuk lain kali, kita bicarakan lainnya setelah malam nanti.”

Mereka berdua saling berbincang beberapa patah kata sebelum mengakhiri panggilan telepon, setelah panggilan telepon terputus, Irwandi menelpon restoran hot pot untuk memesan sebuah ruangan. Setelah itu dia mencari alasan untuk bisa meninggalkan perusahaan, menaiki taxi menuju ke Brigil First Hospital.

Saat sudah berada di depan pintu masuk rumah sakit, Irwandi sedikit ragu ragu apakah akan masuk atau tidak. Bagaimanapun juga kondom yang dia temukan sudah kering, apakah rumah sakit akan bersedia melakukan penelitian mengenai hal ini, hatinya sedang bergejolak, tapi setelah itu dia masih memutuskan untuk masuk ke dalam.

Irwandi memberanikan diri, menyerahkan kondom yang terbungkus tissue yang sudah kering dan juga sehelai rambut milik istrinya kepada dokter, “aku ingin memeriksa cairan yang ada di dalam kondom ini, apakah pemiliknya sama dengan pemilik rambut ini.”

Melihat kondom dan sehelai rambut panjang, dokter sedikit tercengang, keningnya berkerut, menatap Irwandi dengan penuh pemikiran, “biasanya penelitian seperti itu dilakukan terhadap rambut, darah, cairan air ketuban atau cairan sperma. Yang kamu inginkan sedikit berbeda, aku juga tidak bisa menjamin apakah bisa melakukannya atau tidak. Keadaannya seperti itu, apa masih ingin untuk menelitinya?”

“Tentu saja.” Irwandi menjawabnya tanpa ragu, setelah itu dia menarik nafas panjang dan mengeratkan kakinya. Ini adalah hal yang bisa dia lakukan kepada istrinya untuk pernikahan mereka. Siapa tahu bisa berhasil!

Mendengar Irwandi yang masih memutuskan untuk mengetesnya, dokter mengatakan, ambillah hasilnya setelah delapan hari.” Setelah mengatakan itu dia mengerutkan keningnya, menggerakkan penjepit di tangannya dan memasukannya ke sebuah tabung reaksi.

Irwandi merasa sangat malu dengan tatapan dalam yang dokter itu tujukan kepadanya, setelah itu dia melangkahkan kakinya dengan cepat keluar dari rumah sakit, berdiri di pinggir jalan dan merokok, dia menghisapnya dalam dalam, setelah perasaannya mulai tenang dia baru kembali ke kantor menaiki taksi.

Saat waktu sudah menunjukkan hampir waktu pulang kerja, Irwandi sengaja meninggalkan perusahaan lebih cepat beberapa menit, dia menaiki taksi untuk menuju ke restoran Haidilao hot pot yang sudah dia pesan sebelumnya, masuk ke dalam ruangan, mengirimkan nama ruangan itu kepada Ronald.

Tidak lama kemudian Ronald dan juga Oktavia sudah datang. Terlihat mereka tidak membawa putra mereka, Kendo. Irwandi beranjak dari kursi yang diduduki, setelah bertegur sapa dengan mereka dia menyerahkan sebatang rokok kepada Ronald, bertanya, “kenapa kamu tidak membawa anak angkat aku kemari.”

Sejak anaknya Kendo lahir, Marena selalu saja ribut jika dia ingin menjadi ibu angkatnya, tentu saja Irwandi menjadi ayah angkatnya. Tetapi Irwandi juga sangat menyukai Kendo yang begitu aktif dan menggemaskan, bahkan dia sering memberikan mainan untuknya, saat libur dia juga sering membawa Kendo pergi bermain.

“Kendo berada di rumah mama.” Oktavia masih saja begitu cantik dan lembut, dia kembali mengatakan, “kenapa Marena masih belum datang?” Oktavia dalam hatinya dia bisa merasakan jika ada yang berbeda dari dalam diri Irwandi. Dia menatapnya lebih dalam, tetapi dia tidak mendapati apapun, mungkin hanya dia yang sudah berfikir berlebihan saja.

Irwandi langsung terkejut akan apa yang dikatakan oleh Oktavia, istrinya pergi dinas keluar saja tidak mengatakannya kepada Oktavia, dalam ingatannya, istrinya bersahabat baik dengan Oktavia, bahkan sering pergi keluar bersama atau mengirim pesan. Ternyata kali ini dia tidak mengatakan apapun kepada Oktavia, mungkin ada sesuatu hal yang tidak dia ketahui di sini.

“Kemarin dia pergi dinas keluar.” Irwandi menjelaskan, kemudian bertanya, “apa dia tidak mengatakannya kepadamu?” Saat menanyakan itu Irwandi juga memiliki pemikiran dalam hatinya, mungkin kali ini dia tidak akan mendapatkan apapun mengenai istrinya dari Oktavia.

“Tidak.” Oktavia meletakkan tas yang ada di tangannya, kemudian memerintah, “jangan terlalu banyak merokok.”

Irwandi yang merasa kecewa dalam hatinya masih menunjukkan senyuman di wajahnya saat berbincang dengan Ronald. Kemudian dia mengatakan, “baiklah, setelah satu rokok ini habis maka aku tidak merokok lagi.” Setelah mengatakan itu Irwandi menyodorkan menu kepada Oktavia, “aku belum memesan apapun, kamu saja yang memesannya.”

Terlihat Oktavia tidak sungkan untuk menerima menu yang disodorkan oleh Irwandi, dia menundukkan kepala dan menandai apa saja yang ingin dia pesan. Irwandi masih saja berbincang dipenuhi tawa bersama Ronald.

Setelah Oktavia selesai memesan makanan, Irwandi kembali memesan dua botol arak putih dan juga anggur merah. Oktavia menolak, “malam ini aku tidak akan minum. Arak putih cukup satu botol saja, jangan sampai kamu membuat Ronald mabuk nantinya.”

Setelah mendengar itu Irwandi tertawa, dia melihat sekilas Ronald yang duduk disampingnya, terlihat dia juga tidak membantah, kemudian mengatakan, “bagaimana bisa, waktu itu akulah yang minum terlalu banyak. Malam ini kita pesan dua botol arak putih, jika rasanya lumayan maka kita minum. Bagaimana?” Melihat Oktavia tidak mengatakan apapun, dia membatalkan untuk memesan anggur merah, kemudian memesan jus buah untuk Oktavia, kemudian menyerahkan apa yang sudah dia pesan kepada pelayan disampingnya, “terima kasih, tolong sajikan lebih cepat.”

Setelah menemani Irwandi berbincang beberapa patah kata, Oktavia mengeluarkan telepon miliknya, “kalian berbincanglah, aku akan menghubungi Marena.”

Setelah makanan datang, Oktavia meletakkan telepon di tangannya, kemudian berkata heran, Marena tidak menjawab pesanku, mungkin dia sedang makan.”

Irwandi menyerahkan jus buah kepada Oktavia, tersenyum, mengatakan, “kamu makanlah, aku akan minum bersama Ronald.” Pemikiran Irwandi adalah membuat Ronald mabuk, kemudian mencari kesempatan untuk menanyakan mengenai Marena kepada Oktavia.

“Jangan minum terlalu banyak.” Oktavia meminum jus buahnya, mengingatkan mereka karena hatinya tidak tenang. Setelah itu dia mengangkat sumpit di tangannya mengambil makanan.

Irwandi membuka satu botol arak putih, kemudian menuangkannya ke gelas milik Ronald dan juga miliknya sendiri, minum sambil berbincang. Mereka berdua sudah cukup lama tidak pergi minum bersama, perbincangan yang terjadi diantara keduanya juga cukup menyenangkan, tidak disadari satu botol sudah habis mereka minum, Irwandi kembali membuka arak putih kedua, kembali melanjutkan acara minum minum mereka.

Sedangkan Oktavia sudah makan cukup kenyang, dia memainkan telepon di tangannya, dan tangan yang lain hanya mencapai beberapa makanan dengan sumpitnya dan memasukannya ke dalam mulut, dia tidak menyadari jika Irwandi sudah membuka botol arak putih kedua. Saat botol kedua sudah diminum hingga setengahnya, Ronald sudah cukup mabuk, perkataannya sudah sedikit melenceng.

Oktavia yang sedang memainkan teleponnya bergumam sendiri, “ei, kenapa Marena tidak membalas pesanku.” Setelah mengatakan itu dia meletakkan teleponnya di atas meja dan melihat mereka sudah sangat mabuk, Oktavia mulai kesal, “Irwandi, kenapa kamu membuat Ronald mabuk lagi.”

“Haha.” Irwandi tiba tiba tertawa, “hari ini perbincangan kita sangat menyenangkan, jadi tanpa disadari kita sudah mabuk.” Dalam hatinya dia menyadari jika sejak mereka mulai minum waktu sudah berlalu sekitar satu setengah jam, bagaimana mungkin istrinya tidak melihat telepon. Itu menandakan jika istrinya sedang melakukan hal yang sangat penting jadi tidak melihat telepon. Atau mungkin dia sudah melihat pesan dari Oktavia tapi sengaja tidak membalasnya.

Irwandi tidak percaya mengenai kemungkinan pertama, sekarang adalah waktunya makan malam, hal itu menandakan jika istrinya mungkin sedang menemani orang yang penting makan malam, dia tidak ingin melihat teleponnya.

Setelah mendengar perkataan Irwandi, Oktavia menatapnya sedikit kesal, meletakkan teleponnya di atas meja, menuangkan teh untuk Ronald, kemudian memapahnya, “Ronald, minumlah sedikit teh untuk menyadarkanmu.”

“Aku tidak mabuk.” Ronald menyipitkan kedua matanya menatap istrinya, menerima sodoran teh yang diberikan oleh istrinya dengan gemetaran, kemudian meletakkannya di sampingnya, dia menatap Irwandi, “kita lanjutkan.”

“Masih mau minum!” Oktavia mulai kesal, “lain kali saja, kita pulang saja sekarang.”

“Kita lanjutkan lain kali saja.” Irwandi menatap Ronald yang sudah sangat mabuk juga mencoba untuk menghentikannya, kemudian berkata kepada Oktavia, “kalian tunggu sebentar, aku akan pergi membayar dan memanggilkan taxi untuk kalian.”

Melihat Oktavia yang tidak menolak perkataannya, Irwandi yang sudah tidak bisa berdiri dengan stabil melangkahkan kakinya keluar ruangan. Saat dia membayar tagihannya, dia sekalian meminta pelayan untuk memanggilkan taxi untuk mereka, setelah itu kembali ke dalam ruangan di mana yang lain berada.

Mereka berdua memapah Ronald masuk ke dalam taxi, melihat Irwandi yang juga turut masuk ke dalam, Oktavia bertanya heran, “kenapa kamu juga naik, rumah kita tidak sejalan.”

“Kompleks rumahmu tidak membiarkan taxi untuk masuk ke dalam, apakah kamu bisa memapahnya masuk ke dalam sendirian?”

Setelah mendengar apa yang dikatakan Irwandi, Oktavia berfikir jika hal itu memang benar, tetapi dia masih bertanya heran, “kamu juga cukup mabuk, apa tidak apa apa?”

Mendengar Oktavia yang tidak menunjukkan penolakan, dalam hati Irwandi terasa senang, dia mulai tertawa, “setidaknya aku jauh lebih cepat dibandingkan dengan suamimu.”

“Aku hanya khawatir jika kamu juga akan terjatuh di tanah.” Oktavia juga tertawa, “aku tidak akan peduli kepadamu.” Dia sedikit menggeser tubuhnya setelah mengatakan itu, kemudian Irwandi juga turut naik ke dalam taksi.

Novel Terkait

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Wonderful Son-in-Law

Wonderful Son-in-Law

Edrick
Menantu
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
5 tahun yang lalu