Istri Pengkhianat - Bab 13 Marena Pulang
Tidak peduli seberapa menyakitkan malam ini. Matahari masih bersinar dan menyinari jendela rumah pada keesokan harinya.
Irwandi bangun dan berdiri di depan wastafel, dia melihat dirinya di cermin dan sedikit melamun, bagian bawah matanya sedikit hitam, wajahnya terlihat lemah dan janggut muncul di dagunya. Dia mandi dan mencukur jenggotnya, wajahnya terlihat lebih baik, hanya saja dia terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Dia menepuk wajahnya dengan ringan dan berjalan keluar sambil tersenyum.
Di dalam bus, dia menerima pesan Wechat dari Cikka yang mengundangnya makan, Irwandi membalasnya dengan wajah senyum dan menulis pesan bahwa dia sudah sarapan. Dia ingin mengirim pesan kepada istri, dia berpikir sejenak dan akhirnya tidak melakukannya dan memasukkan ponsel ke dalam saku.
Setelah tiba di pintu gerbang perusahaan, dia bertemu rekan kerja yang akrab, dia menyapanya sambil tersenyum dan mengobrol santai sepanjang jalan, setelah masuk ke dalam kantornya, dia langsung bekerja. Dan waktu pagi berlalu dengan cepat.
Setelah makan siang di kantin, Irwandi kembali ke kantornya, dia memegang ponselnya dan berpikir sejenak, akhirnya dia mengirimkan sebuah pesan kepada istrinya. Setelah menunggu untuk beberapa saat dan tidak mendapatkan balasan dari istri. Meskipun Irwandi merasa sedih tapi dia sudah bisa menebaknya.
Setelah minum seteguk teh, dia menyalakan rokok. Irwandi memikirkan masalah pernikahannya lagi, dia memikirkan kenapa istrinya selingkuh, namun tetap tidak ada hasilnya. Dia mau tidak mau memikirkan Oktavia yang sedih semalam, itu adalah kali pertama dia melihat Oktavia menangis sejak dia mengenal Oktavia. Dalam ingatannya, Oktavia cerdas dan kuat.
Setelah memikirkannya, dia mengirimi sebuah pesan kepada Oktavia : Demam Kendo sudah turun kan, apakah sudah lebih baik sekarang.
Dia segera mendapat kabar darinya : Demamnya sudah turun, aku sedang menemani Kendo yang sedang diinfus di rumah sakit.
Dia mengiriminya sebuah emoji untuk menyemangatinya, Irwandi meletakkan ponselnya, dia minum teh dan bangun dari kursi dan keluar dari kantor sambil membawa tasnya.
Ketika melihat Irwandi yang mendorong pintu kamar rumah sakit dengan lembut, Oktavia yang duduk di samping tempat tidur, membeku sejenak dan berdiri:”Kenapa kamu tidak istirahat siang tetapi datang ke sini!”
“Haha.” Irwandi tertawa,”Istirahat tidak sepenting anak angkatku.” Dia berbicara sambil berjalan mendekati tempat tidur, dia melihat Kendo yang sudah tidur dengan wajah kemerahan. Dia meletakkan buah-buahan yang dibawanya ke atas meja yang ada di samping tempat tidur.
Oktavia melihat buahnya sekilas dan berkata sambil menyalahkannya:”Di rumahku ada, buat apa memboroskan uang.”
Haha. Irwandi tertawa dan tidak menjelaskan, setelah dia selesai mendengarkan omelan Oktavia. Dia baru bertanya sambil tersenyum:”Apa yang dikatakan dokter hari ini, apakah Kendo ada perubahan.”
“Ya.” Oktavia menjawabnya,”Hari ini dokter mengatakan bahwa kondisi Kendo sudah stabil dan akan diinfus dua hari lagi.”
“Baguslah kalau seperti itu.” Irwandi bernapas lega, dia terdiam sejenak dan berkata:”Jika kamu sore ini ada kelas maka aku akan menemani Kendo di sini, lagipula aku sudah lama tidak bermain dengan Kendo.”
“Aku sudah mengganti kelasku dengan rekanku, untuk mengaturkan kelas sore ini ke belakang.” Oktavia menjelaskan dan bertanya:”Apakah kamu tidak perlu kerja sore ini.”
“Ini, bukannya kamu tidak tahu pekerjaanku tidak sama seperti kalian yang jadi guru. Aku sangat gampang untuk mengambil cuti.” Irwandi berkata sambil tersenyum,”Kalau tidak kamu pergi mengajar saja, supaya tidak repot mengganti jadwalnya. Aku di sini saja.” Dia berkata sambil merapikan selimut Kendo, jika sakit lebih baik pakai selimutnya dengan benar.
Dia melihat Irwandi yang sangat perkatian, mata Oktavia terasa perih dan berkata:”Kamu lebih baik pulang kerja saja. Lagipula, aku sudah mengganti jadwalnya.”
“Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi ketika sudah waktu kerja.” Irwandi berkata sambil tersenyum,”Jika ada masalah, kamu jangan sungkan denganku. Bagaimanapun juga aku adalah ayah angkat Kendo.”
“Baiklah, terserah kamu, kamu jangan menganggu kerjamu di sore hari.” Oktavia tersenyum santai, dia terdiam dan bertanya:”Apakah kamu hari ini ada menghubungi Marena.”
“Sudah kirim pesan juga sudah telepon, tapi semuanya tidak dibalas.”
“Kalian harus secepatnya punya anak.” Oktavia melihat Irwandi dan berkata sambil tersenyum:”Apakah kamu pernah membahas kapan akan punya anak bersama Marena.”
“Dulu kami pernah membahasnya berkali-kali.” Irwandi tersenyum tanpa daya:”Kamu bukannya tidak tahu bagaimana emosinya, aku ingin tapi dia tidak menginginkannya.”
“Benar juga, Marena emosinya buruk.” Oktavia mendesah dan melanjutkan,”Aku akan membujuknya ketika dia pulang nanti. Sekarang umur kalian sudah tidak muda lagi, bagaimanapun, kalian harus segera punya anak.”
“Haha.” Irwandi membalasnya dengan tawa dan dia tiba-tiba bertanya:”Kamu sudah berteman dengan Marena sejah SMA, bagaimana emosinya pada waktu itu.”
“Pada saat itu ya.” Oktavia berpikir sejenak dan berkata:”Temperamennya pada waktu itu sangat bagus. Orangnya juga sangat lembut.” Dia terdiam sejenak, Oktavia melihat Irwandi dan berkata sedikit menyalahkan:”Kamu berpacaran dan menikah dengan Marena, bukankah pada waktu itu temperamennya bagus. Semua salahmu, kamu terlalu memanjakannya, sehingga Marena berubah seperti ini.”
“Haha. Ini benar-benar salahku.” Irwandi berkata:”Apakah aku salah karena memanjakan istri.”
“Kamu ini.” Oktavia sedikit membenci sikap Irwandi, ada beberapa kata yang tidak bisa dikatakan dengan jelas. Baik pada istri tetapi juga harus tetap punya prinsip, tetapi Irwandi memperlakukan Marena seolah-olah seperti putrinya.
Setelah mendengar ini, bagaimana mungkin Irwandi tidak mengerti apa yang dimaksud Oktavia, istri tidak boleh terlalu dimanja. Boleh sayang tapi juga harus tegas. Namun, Irwandi tidak bisa melakukannya.
Irwandi pura-pura bodoh dan bertanya sambil tertawa:”Apakah pacar Marena dulu memanjakannya.”
“Mengapa kamu tiba-tiba menanyakan pertanyaan ini” Oktavia bertanya dengan aneh,”Dulu, kamu tidak pernah menanyakan masalah Marena.”
“Bukankah ini karena kamu bilang aku terlalu memanjakan Marena.” Irwandi berkata dengan santai,”Jadi, aku bertanya ketika aku memikirkannya.” Kemudian dia tertawa sambil melanjutkan bertanya:”Kamu masih belum memberitahuku. Bagaimana pacarnya dulu.”
“Kalau begitu, kamu tanyakan saja kepada Marena.” Oktavia memelototinya,”Urusan kalian berdua, aku mana tahu.”
“Bukankah kalian teman baik.” Irwandi bertanya dengan senang,”Jadi, kamu seharusnya lebih tahu.” Meskipun Irwandi sedang tertawa, tapi hatinya sedang menangis. Dia ingat ketika suatu hari mengobrol, istri bertanya padanya apakah dulu dia pernah pacaran, dia sendiri mengatakan tidak pernah. Kemudian dia bertanya pada istri sambil bercanda, istri juga menjawab tidak pernah. Apakah pada saat itu, istri sudah mulai membohonginya.
Dia ragu-ragu untuk sementara waktu, mata Oktavia melihat Kendo yang ada di tempat tidur dan berkata:”Aku benar-benar tidak tahu, kamu lebih baik tanyakan pada Marena nanti.”
“Bisa tidak memuaskan keingintahuanku.” Irwandi berkata sambil bercanda:”Apa marga pacar Marena dulu, sekarang ada di mana dan apa pekerjaannya.”
Haha. Oktavia tertawa, dia memelototi Irwandi,”Irwandi, kamu hari ini sangat aneh, apakah telah terjadi sesuatu.”
“Memangnya bisa terjadi masalah apa.” Irwandi berkata sambil tertawa,”Aku setiap hari hanya kerja dan pulang ke rumah. Apakah bisa terjadi sesuatu.” Hatinya tahu, bahwa jangan terus bertanya lagi, jika tidak, Oktavia yang pintar pasti akan curiga.
“Kalau begitu apakah terjadi sesuatu pada Marena” Oktavia berkata sambil menatap Irwandi.
“Aku agak khawatir tentang Marena.” Irwandi berkata dengan cemas:”Dia tidak mengangkat ketika aku telepon, kirim Wechat juga tidak dibalas, tidak tahu bagaimana keadaannya di kota Hainan!”
“Dia juga tidak membalas pesanku.” Oktavia bertanya penuh rasa ingin tahu, kemudian dia menghiburnya:”Tapi, Marena sangat cerdas, seharusnya dia akan baik-baik saja. Lagipula ini adalah perjalanan bisnis, bukan keluar untuk bermain.”
“Aku juga berpikir seperti itu, maka aku tidak terlalu khawatir.” Irwandi berkata dengan cemas kemudian dia melihat jamnya dan berdiri,”Sudah hampir waktunya untuk bekerja, kalau begitu aku pergi dulu, kamu telepon aku jika ada masalah.”
Oktavia juga ikut berdiri,”Kalau begitu aku akan mengantarmu.” Dia berkata dan mengantar Irwandi sampai di pintu kamar rumah sakit, dia berdiri di pintu karena Irwandi menghentikannya dan dia perlahan-lahan melihat Irwandi berjalan menjauh.
Mata Oktavia terlihat cemas, Irwandi sepertinya menjadi rapuh, dia juga seperti menjadi agak kurus. Dan, dia selalu merasa bahwa Irwandi sedang ada beban pikiran dan mata Irwandi terlihat sedih.
Setelah keluar dari rumah sakit, Irwandi berjalan pelan-pelan, dia sedang berpikir, ternyata dulu istri pernah pacaran, kalau begitu mengapa dia membohonginya dan mengatakan dia tidak pernah pacaran, bukankah biasa-biasa saja jika pernah pacaran beberapa kali. Terlebih lagi, istri cantik pasti ada pria yang mengejarnya, dia hanya tidak tahu mengapa istri membohonginya.
Jangan-jangan, apakah sejak awal, istri tidak memperlakukan dirinya dengan tulus.
Ketika menebak masalah ini, Irwandi sampai tidak berani mempercayainya. Dia lebih tidak ingin mengakuinya. Karena jika pada waktu itu bukan karena istri bersikeras maka mereka juga tidak mungkin menikah, tidak!
Irwandi kembali ke perusahaan, dia menyingkirkan gangguan-gangguan yang menyebalkan itu dan mulai bekerja, tanpa sadar sudah hampir jam pulang kerja, dia mengambil ponsel untuk melihat apakah ada balasan dari istri.
Akhirnya, tidak ada satupun balasan istri, tetapi ada Wechat yang dikirim oleh Oktavia: Kendo sudah selesai diinfus dan sudah pulang ke rumah, aku sedang memasak di rumah, apakah kamu mau datang untuk makan.
Dia terdiam sejenak dan Irwandi membalasnya : Terima kasih, tidak perlu.
Kemudian dia membuka Wechat dari teman atau koleganya, dia membukanya satu per satu dan membalasnya. Irwandi bersiap meletakkan ponselnya, dia sekilas melihat Wechat, istri tetap tidak membalasnya.
Setelah selesai makan dan Irwandi bersiap pulang ke rumah, ketika dia memikirkan rumah, dia jadi tidak ingin pulang. Dia pergi jalan-jalan di taman kecil yang ada di sebelahnya. Ada pasangan yang sedang pacaran, pasangan suami istri, juga ada sekeluarga yang berisi tiga orang yang sedang berjalan, juga ada wanita separuh baya yang sedang menari.
Setelah berjalan dua putaran di taman yanag tidak besar ini, hati Irwandi yang tersentuh mencari kursi di tepi jalan dan duduk. Dua tahun yang lalu, dia dan istrinya juga termasuk di antara mereka yang sedang berjalan. Pada waktu itu, setiap hari setelah selesai makan malam, setelah dia mencuci piring, dia akan berjalan di taman dengan istri sambil bergandengan tangan dan mengobrol. Pada waktu itu setiap kali dia melihat ada keluaraga yang berjalan-jalan bersama anaknya, maka dia akan merasa sangat iri. Dia selalu membujuk istri untuk segera punya anak. Jika sekarang dipikir-pikir lagi, tidak punya anak mungkin adalah suatu hal yang baik.
Berjalan santai di taman, keluarga yang berjalan dengan anak di taman perlahan-lahan berkurang, tapi ada lebih banyak pasangan yang sedang bermesraan. Irwandi yang tidak sengaja melihat ini, sedikit merasa malu. Lebih baik pergi.
Setelah keluar dari taman, alun-alun di taman sudah kosong, wanita paruh baya yang menari sudah meninggalkan taman. Dia melihat jamnya dan hari sudah malam, dia berjalan perlahan-lahan ke arah tempat tinggalnya.
Pada saat ini Marena sudah pulang ke rumah, dia meletakkan kopernya dan melemparkan tas yang ada di tangannya ke sofa, dia mengambil baju di kamar dan masuk ke dalam kamar mandi. Selama beberapa hari di kota Hainan, meskipun dia sangat senang, tapi dia merasa ada sesuatu yang kurang, setelah dia pulang ke rumah, dia baru tahu bahwa yang kurang adalah kehangatan keluarga dan kasih sayang suami.
Dia bersiap mandi dan ingin bermesraan dengan suaminya malam ini. Suami pergi ikut pelatihan dan dia sendiri pergi ke kota Hainan, dia sudah belasan hari tidak bertemu suami, jadi dia harus menebusnya.
Ketika memikirkan keperkasaan suami, matanya bersinar dan wajahnya memerah, badannya juga ikut menjadi lemas.
Novel Terkait
Uangku Ya Milikku
Raditya DikaEternal Love
Regina WangLove In Sunset
ElinaDon't say goodbye
Dessy PutriMy Cold Wedding
MevitaCEO Daddy
TantoIstri Pengkhianat×
- Bab 1 Siapa Laki Laki ini
- Bab 2 Memudarnya Cinta
- Bab 3 Kebohongan Istri
- Bab 4 Salah Kaprah
- Bab 5 Rumah Yang Rapi Dan Bersih
- Bab 6 Menghubungi Sahabat Istri
- Bab 7 Istri Tidak Mengangkat Telepon
- Bab 8 Marena Berada di Hainan
- Bab 9 Menguak Kebohongan Istri
- Bab 10 Makan Dan Memergoki Perselingkuhan
- Bab 11 Pernikahan Yang Terlihat Bahagia
- Bab 12 Cerita Oktavia
- Bab 13 Marena Pulang
- Bab 14 Melihat Durex Lagi
- Bab 15 Pertama Kalinya Suami Istri Bertengkar
- Bab 16 Kesalahan Dalam Berdalih
- Bab 17 Tidak Beruntung Menjadi Suaminya
- Bab 18 Memeriksa CCTV Komplek Perumahan
- Bab 19 Kebingungan Marena
- Bab 20 Teringat Padanya
- Bab 21 Dari Bangga Berubah Menjadi Kecewa
- Bab 22 Meminta Bantuan Sahabat
- Bab 23 Sahabat pun Memandang Rendah Dirinya
- Bab 24 Tidak Bisa Kembali Lagi Ke Masa Lalu
- Bab 25 Sojun yang Datang Mencari
- Bab 26 Ayah Mertua dan Ibu Mertua
- Bab 27 Yang terpenting adalah Kamu.
- Bab 28 Kembali ke dulunya.
- Bab 29 Ujian Pernikahan
- Bab 30 Mengintimidasi Sang Istri
- Bab 31 Memutuskan Mencari Detektif
- Bab 32 Bersedia Membantu
- Bab 33 Menutupi
- Bab 34 Mencari Perusahaan Detektif
- Bab 35 Negosiasi
- Bab 36 Balas Dendam Atau Cinta Yang Tidak Jelas
- Bab 37 Kesadisan Istri
- Bab 38 Sombong Yang Palsu
- Bab 39 Permintaan Dari Panggilan Tidak Dikenal
- Bab 40 Menceritakan Keseluruhan Cerita
- Bab 41 Donita yang Tidak Bisa Tahan Lagi
- Bab 42 Apakah Masih Mencintainya?
- Bab 43 Dendam Welly Dan Sojun Lu
- Bab 44 Masuk ke Dalam Jebakan
- Bab 45 Solusi Sojun Lu
- Bab 46 Istri yang Meninggalkan Rumah pada Tengah Malam
- Bab 47 Marena Berada Di Kamar Hotel
- Bab 48 Kembali Memberi Kesempatan
- Bab 49 Welly Ingin Memakan Masakan Yoyo
- Bab 50 Welly Memenangkan Yoyo
- Bab 51 Menghadapi Selingkuhan Istri
- Bab 52 Bersiap-Siap Pulang untuk menjelaskan
- Bab 53 Irwandi Memutuskan Balas Dendam
- Bab 54 Welly Melaporkan Ke Polisi Lagi
- Bab 55 Sojun Lu Ditangkap
- Bab 56 Cerai
- Bab 57 Rumah Kosong Dan Sunyi
- Bab 58 Oktavia Bercerai
- Bab 59 Penderitaan Marena
- Bab 60 Sendiri Orang Terakhir Yang Mengetahui Kebenaran
- Bab 61 Diinterogasi oleh Ayah dan Ibu Mertua
- Bab 62 Balas Dendam Yoyo
- Bsb 63 Irwandi Naik Jabatan
- Bab 64 Marena ingin rujuk kembali
- Bab 65 Marena Datang Ke Perusahaan Untuk Mencari Irwandi
- Bab 66 Penolakan Irwandi
- Bab 67 Menyadarkannya
- Bab 68 Percakapan Antara Irwandi dan Marena
- Bab 69 Undangan Makan dari Oktavia
- Bab 70 Ayo Kita Pulang (End)