Istri Pengkhianat - Bab 69 Undangan Makan dari Oktavia

Sejak percakapan pada malam itu, beberapa hari kemudian, Irwandi menerima pesan singkat dari Marena, “Suamiku, aku minta maaf. Aku memang salah. Aku akan perbaiki semuanya. Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi untuk tetap memilikimu.”

Dan sejak Marena mengirim pesan singkat itu, bayangan Marena selalu menghantui Irwandi dan hamper setiap saat menerima pesan darinya. Hal ini sungguh membuat Irwandi gelisah, lantas memutuskan untuk menghapus kontak wechat nya, memilih untuk menyibukkan diri di kantor hingga larut malam, menghindar dari kesempatan bertemu Marena.

Selain itu, yang sangat membuat Irwandi semakin tertekan adalah dia telah menjelaskan bahwa perhatiannya untuk Cikka hanya sebagai seorang adiik saja, tapi, Cikka justru setiap hari tetap berusaha mencari alasan agar bisa selalu menemani dirinya, atau bahkan saat lembur, Cikka lebih sering menemaninya, dan ini semakin bermunculan gossip di area kantor.

Saat sedang bekerja, tiba-tiba Irwandi menerima telepon masuk dari Oktavia. Sedikit dilirik olehnya, dan segera menerima panggilan itu, “Oktavia, ada perlu apa kah?”

“Jadi, kalau tidak ada perlu tidak boleh telepon?” Oktavia dengan bahasa sedikit halus menjawab: “Sore ini aku tidak ada kelas, mau masak beberapa lauk sederhana saja di rumah, nanti sore kamu ke rumah ya kalau sudah pulang kerja.”

“Terima kasih.” Irwandi menjawab dengan sedikit tersenyum, “Kapan-kapan saja. Aku setelah pulang kerja ini masih ada kerjaan lainnya.”

“Sesibuk apapun, tetap jangan sampai lupa makan.” Sahut Oktavia dengan perhatian, “Oke ya, pokoknya setelah jam pulang kerja, kamu harus kesini, tenang saja, hanya kita bedua kok.” Oktavia kemudian langsung menutup teleponnya.

Kesannya kepada Oktavia, selalu terlihat baik dan tidak pernah mengecewakan,wanita yang pintar dan sangat realistis. Mungkin saja, dia melakukan ini untuk membantu Marena. Akhirnya, Irwandi tetap memutuskan untuk memenuhi undangannya ke rumah Oktavia, dia pun ingin menyampaikan sesuai padanya agar disampaikan pada Marena untuk melupakan dirinya.

Bel rumah berbunyi, Oktavia kemudian membuka pintu, melihat Irwandi datanga, ia tersenyum : “Wah, dating juga.”, sembari dirinya mengambilkan sandal berukuran kaki laki-laki, kemudian menyodorkannya pada Irwandi, bahkan kembali meletakkan sepatu Irwandi ke dalam rak sepatu.

Begitu mengangkat pandangannya, melihat pandangan Irwandi yang sedikit sungkan, Oktavia akhirnya berusaha mencairkan suasana “ssttt” sembari tersenyum : “Kamu pasti pertama kalinaya dijamu seperti ini, bukan? Dan sedikit merasa aneh.”

“Hehe.” Irwandi hanya tersenyum gugup dan terus melangkah masuk ke dalam rumah, “Kendo dimana? Sepertinya aku tidak melihat Kendo.”

“Iya, Kendo lagi ada dirumah kakek neneknya.” Oktavia sedikit santai menjawab : “Kayak aku sekarang ini, kerja sambil mengurus dia, agak kurang bisa membagi waktu, maka dari itu aku titipkan ke mama papa.” Oktavia menjelaskan sambil menuangkan teh, “Kamu sendiri dulu ya, aku mau panasin kuah dulu.”

“Ada yang perlu aku bantu kah?” Irwandi mengikutinya dair belakang.

“Tidak perlu, sayurnya sudah matang kok.” Oktavia tersenyum, “Tapi kalau kamu merasa bosan di ruang tamu, kamu bisa kemari temani aku berbincang.”

“Baiklah.” Irwandi mengiyakan berjalan menuju dapur, mengambil mangkuk dan sumpit yang di bilang dengan air panas, dan satu persatu membawa sayura ke atas meja makan, “Kenapa kamu banyak sekali masak sayur ini, kita berdua tidak akan bisa menghabisinya.”

Melihat Irwandi yang sibuk kesana kemari membantu dirinya di dapur, Oktavia tiba-tiba merasakan kehangatan rumah tangga. Entah saat sebelum dan sesudah bercerai, selalu saja dirinya seorang diri yang sibuk di area dapur, dan sekarang ditemani Irwandi, seperti ada sedikit rasa yang tak biasa.

Dia yang menyadari lamunannya, berusaha lekas menjawab saat mendengar pertanyaan dari Irwandi, ia tak ingin Irwandi melihat dirinya tampak bahagia karena Irwandi, “Kalau begitu, aku panggil satu orang lagi untuk ikut makan bersama.” Mendengar jawaban Oktavia, Irwandi tercengang, Oktavia segera menenangkan : “Semua lauk ini dibuatkan khusus untuk kamu. Kalau hari ini tidak bisa dihabiskan semua, berarti besok kamu harus kembali kemari dan memakannya lagi hingga habis.”

“Ok.” Irwandi merasa dirinya sedikit salah tingkah, berusaha berbicara dengan candaannya : “Asalkan kamu tidak takut direpotkan, besok aku akan kembali memakannya lagi kalau hari ini tidak bisa kita habiskan.”

“Ini kamu yang menjanjikannya ya.” Oktavia sembari menyediakan sebotol bird an anggur merah, diletakkannya jadi satu hidangan, “Kamu minum bir, aku temani kamu minum anggur merah.”

Hehe, Irwandi tertawa, “Sudahlah, aku saja yang menemanimu minum anggur merah.” Diletakkannya bir itu kesamping, mengambil sebotol anggur merah dan dibukakannya, menjamu tuangan pertama untuk Oktavia kemudian menuangkan pada gelasnya sendiri.

“Terserahmu saja.” Oktavia tertawa pelan, “Apa kamu khawatir aku memintamu minum terlalu banyak.”

“Mana mungkin aku takut denganmu untuk minum ini!” Irwandi bercanda menggelitik, “Yang terpenting itu, aku mau lebih banyak makan masakanmu.” Dan langsung melahap lauknya, mengangkat jemplonya, mengunjuk gigi : “Patut diacungkan jempol, masakanmu jauh lebih enak dari sebelumnya.”

“Iyakah?” Oktavia tersipu malu menyipitkan matanya, kemudian melahap beberapa lauk, mengunyah beberapa kali, menelan kemudian tertawa dengan tatapan mata menyelidik : “Sesuai perkataanmu, seperti nya aku juga merasa masakanku jauh lebih enak.”

Penuh canda tawa diantara mereka berdua, menghabiskan hampir separuh botol anggur merah, saat Oktavia menuangkan untuk Irwandi, ia seperti bisa menebak bahwa isi anggur merah itu tidak banyak lagi, “Aku ambil satu botol lagi ya.”

“Tidak perlu lah.”Irwandi menolak halus, “Pas kok ini, sekalian anggur merah ini habis.”

“Ambil sebotol lagi, dan minum saja semampunya. Toh juga bukan untuk harus dihabiskan sekarang juga.” Oktavia bersikeras berdiri dan ingin mengambilnya, “Selain itu, meskipun hari ini kita tidak menghabiskannya, besok bukankah kamu ingin kemari lagi?”

“Jad, besok beneran makan-makan lagi?” Irwandi memasrikan, “Aku tadi hanya bercanda.”

“Kenapa… jadi, saat ini kamu sudah tidak bisa menetapkan janjimu ?” Lirikan Oktavia tajam kemudian menuju rak bir untuk mengambil sebotol lagi.

Melihat perawakan Oktavia yang ramping dengan rambut panjangnya, dan lekukan jalannya, Irwandi merasa sangat santai tanpa beban, tanpa disadari ia membuka senyuman itu.

“Tertawa kenapa” Oktavia yang telah mengambil anggur merah itu menanyakan.

“Hehe, tidak apa-apa. Aku cuman merasa lebih santai saja.” Irwandi menjawab jujur, “Sudah lama tidak merasakan rasa seperti ini.”

“Kamu juga merasakan hal ini.” Oktavia sedikit melotot, kemudian menundukkan pandangannya, kambali menyuap makanannya, berbicara : “Kalau begitu, nantinya kamu harus sering datang kemari.”

“Hehe, kalau begitu aku minta maaf.” Irwandi menyeringai, “Tiap kali aku dating selalu saja merepotkanmu.”

“Jangan terlau berandai-andai indah.” Oktavia sedikit menggoda, kemudian ikut menyeringai : “Maksutku, nantinya kalau kamu kemari dan waktu mu sedikit renggang, yang masak disini kamu sampai akhirnya aku pulang kerja.”

“Tidak masalah.” Irwandi tanpa piker panjang mengiyakan. Tiba-tiba dirinya merasa sedikit salah jawab dan segera mengalihkan pembicaraan, “Tapi maksutku kalau nantinya aku ada waktu kosong ya.”

Mendengar penjelasan Irwandi, wajah Oktavia semakin memerah. Dia pun berusaha tidak menunjukkannya, “Seperti nya gak akan ada kesempatan untuk mencicipi masakanmu. Ok, minum !” Dia segera mengambil gelas yang telah terisi anggur merah itu, dan mengetuk pelan menyentuh gelas Irwandi.

Anggur merah sudah habis diminumnya. Melihat Irwandi yang tidak menyetujui Oktavia melanjutkan minumnya, Oktavia pun tidak memaksa. Setelah menyelesaikan makan bersamanya, mereka berdua membereskan meja makan bersama.

Irwandi membungkus semua sampah dalam satu wadah plastik yang akan dibawa sekalian ke bawah nanti. Melihat Oktavia yang sedang mencuci piring, dia tercengang tanpa sadar. Dia teringat, kehidupan pernikahan yang pernah dia harapkan dulu adalah kehidupan yang seperti saat ini.

Semua urusan rumah tangga, dilakukan bersama. Karena hanya dengan begitu, bisa saling membersamai pasangan dan berkomunikasi secara baik. Tapi, setelah ia menikah, bahkan tidak pernah menemukan hal demikian.

Setelah mencuci dan merapikan bagian dapur, Oktavia mencuci tangannya dan mengeringkannya dengan serbet kemudian menuangkan teh untuk Irwandi. Melihat hal itu, tiba-tiba Irwandi membuka suara : “Kita jalan santai keluar yuk.” Setelah terucap, Irwandi sedikit menyesalinya. Tapi mau bagaimana lagi, perkatannya tak dapat ditarik kembali.

Oktavia terdiam sejenak, dengan senang hati menjawab, “Boleh juga, kebetulan aku juga sudah lama tidak jalan santai.” Ia pun menyegerakan menuju kamar, tak lama kemudian, kembali keluar.

Irwandi sedikit tercengang melihat perubahannya, wajahnya berseri, dengan sigap sudah mengenakan baju santai dan mengurai rambut kecoklatannya, sungguh benar-benar cantik, dan sekarang semakin terlihat mempesona.

Melihat Irwandi yang tercengang diam, Oktavia memalu dengan pandangan mengancam, “Ayo.” Tapi saat itu, hatinya sungguh sangat berbunga-bunga.

“Ohiya, ayo.” Irwandi mengambil sampah plastik dan menuju kea rah pintu.

Oktavia hanya tertawa melihat Irwandi yang kelabakan.

Begitu tiba di di lantai bawah, Irwandi membuang sampah pada bak sampah yang sudah di sediakan, kemudain ia menepuk-nepukkan tangannya untuk sedikit membersihkan kotoran yang menempel. Oktavia menyulurkan tissue, Irwandi pun tak sungkan menolak, bertanya : “Kita mau jalan-jalan kemana?”

“di sekitar area kompleks saja.”

“Ok.” Irwandi menjawab, mengiktui langkah Oktavia menyusuri area komplek.

Tak ada sepatah kata apapun yang mereka perbincangkan, mereka hanya terus melanjutkan langkah kaki. Komplek itu terlihat sangat sepi, rindnag, indah, lampu jalanan tiak terlalu terang, cukup untuk menerangi jalan.

Begitu berjalan agak jauh dari area komplek, Oktavia mencoba melirik Irwandi, mencoba perlahan menyampaikan sesuatu, “Kamu tahu tujuanku hari ini apa, bukan?”

“Iya, kira-kira sedikit bisa tertebak.” Irwandi tertawa sinis, “Lebih baik tidak usah dibahas.”

Oktavia sedikit ragu, “Tapi, aku tidak tega melihat Marena yang terus menerus terpuruk. Terlebih lagi, kemarin dia mencari ku lagi.”

Mereka tetap berjalan diam seribu bahasa, kemudian Irwandi menghentikan langkah kakinya, memusatkan pandangan kepada Oktavia, “Kalau aku sampaikan padamu bahwa aku sudah pernah memberinya beberapa kali kesempatan, apa kamu percaya?”

“Percaya.” Oktavia memandang Irwandi ingin menyampaikan sesuatu : “Tapi.”

“Mungkin ada beberapa hal yang tidak kamu ketahui.” Irwandi memutus penjelasan Oktavia, kemudian bertanya : “Kamu tahu siapa Sojun Lu itu? Aku pikir, kamu pasti tahu kalau Sojun adalah mantan kekasih Marena saat di bangku sekolah.”

“Aku tahu.” Oktavia menjawab tanpa ragu: “Saat di bangku sekolah, aku memang sedikit kurang menyetujuinya. Tapi, Marena sangat kuat pendiriannya.” Terdiam sejenak, kemudian melanjutkan percapakapnnya : “Tapi, Marena yang sekarang tentu tidak mungkin selingkuh dengan Sojun.”

Irwandi menyumut sepuntung rokok dan meneruskan langkahnya. Beberapa langkah kemudian, dia berkata : “Sepertinya, dia tidak jujur padamu.”

“Dia sudah beberapa kali memastikannya padaku kalau dia tidak selingkuh.” Oktavia memastikan dan tidak mau kalah, “Selain itu juga terus menekankan bahwa dia hanya ingin balas dendam kepada Sojun.”

Hehe, Irwandi tertawa tidak percaya, “Oktavia, kamu mingkin tidak percaya. Sungguh, aku sendiri yang melihatnya selingkuh, awalnya aku ingin memaafkan dirinya, asalkan dia bisa berubah dan bisa jujur padaku.”

“Tapi, apa kamu sudah jujur dangannya?” Oktavia menanyakan : “Saat kamu memergoki dirinya selingkuh, kenapa kamu tidak menegur nya langsung?”

Irwandi berusaha menatap Oktavia, mengaku dan menganggukkan kepala : “Benar. Saat itu, aku pernah beberapa kali mengkomunikasikan dengan dirinya. Tapi, hanya kebohongan yang aku dapat. Kamu pun tahu bagainana sikap Marena. Jika tidak ada bukri nyata, maka dia tidak akan pernah mau untuk jujur bahkan bisa menyerang balik padaku.”

Huftm Oktavia berfikir, “Iya juga sih. Tapi, apa benar-benar tidak bisa menerimanya lagi?”

“Kesempatan apalagi yang harus ku kasih?” Irwandi tehenti sejenak, dan lanjut menyampaikan : “Bahkan aku sudah beritahu padamu semuanya tanpa terkecuali.” Kemudian Irwandi berusaha mengingatkan perihal saat dia tiba-tiba pulang ke rumah, menemukan durex terpakai, sampai dengan dirinya bercerai.

Setelah menyampaikannya ulang, Irwandi kembali bertanya : “Sekarang, apa kamu sudah paham kenapa aku tidak sudi lagi kembali dengan Marena? Dia sudah benar-benar menjatuhkan harga diriku, menghabiskan batas kesabaranku. Selain itu, aku juga sudah tidak bisa lagi mempercayainya!”

Diam sejenak, kemudian melanjutkan penjelasannya : “Sampai saat ini, dia pun tidak pernah menyampaikan permohonan maafnya atas semua perbuatan yang dilakukannya! Dia hanya minta maaf padaku atas semua sifat keras kepalanya.” Irwandi menertawakan dirinya, “Tapi sekarang percuma, maafnya sudah tak lagi berguna.”

Mendengar penjelasan Irwandi, Oktavia berkaca-kaca, menarik nafas dan menjawab dengan nada sangat halus, “Maaf, aku sungguh tidak tahu mengenai itu.”

Novel Terkait

Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu