Istri Pengkhianat - Bab 60 Sendiri Orang Terakhir Yang Mengetahui Kebenaran

Sore ini, saat jam pulang kerja telah tiba, Irwandi yang sedang duduk di dalam ruangannya mendapatkan telepon dari Ronald, dari nada bicaranya yang sedikit tidak jelas ini, Ronald terus mengajak dirinya untuk keluar minum. Dia merasa sedikit ragu, dia sudah mabuk seperti itu, tapi malam ini masih ingin mengajaknya minum.

Apakah Ronald lagi-lagi menyuruhnya menjadi pelobi, atau dia ingin berterima kasih padanya, karena dirinya telah berhasil membujuk Oktavia waktu itu?

Meskipun, pada saat ini Irwandi juga ingin minum, tapi, dia tidak ingin meminum minuman seperti itu.

Saat ini, Irwandi dengan tersenyum menolaknya : “Saudaraku, bukankah siang ini kamu sudah minum, malam ini masih ingin minum? Lain kali sajalah.”

“Tidak, harus hari ini.” ucap Ronald dengan tegas.

“Lain kali lah, aku akan mentraktirmu.” Irwandi tersenyum ringan, “Kalau tidak, jika malam ini aku membuat kamu mabuk, nanti Oktavia akan menyalahkan aku.”

Suara Ronald terdiam sejenak di ujung telepon, dia baru berkata : “Tidak akan, dia tidak akan lagi. Hari ini, aku dan Oktavia sudah bercerai.”

Mendengar Ronald terbata-bata mengatakan bahwa dia dan Oktavia telah bercerai pada hari ini juga, Irwandi sangat terkejut, dia lalu bertanya : “Mengapa?”

“Ini semua ulahku sendiri.” ucap Ronald dengan sedih, “Saudaraku, temani aku minum.”

Pada kondisi seperti saat ini, Irwandi tak mungkin menolaknya, dia akhirnya menyetujuinya, lalu bertanya dengan jelas alamatnya, kemudian segera menuju ke lokasi begitu pulang kerja. Baru saja dia menutup teleponnya, terlihat Cikka berlari masuk ke dalam ruangannya, dan langsung bertanya padanya, “Saudara, apa malam ini kamu ada urusan?”

Melihat kedua mata indah Cikka, Irwandi menjawabnya dengan tersenyum : “Malam ini aku sungguh ada urusan. Kenapa, apa kamu memerlukan bantuan?”

“Ada urusan apa kamu malam ini?” Cikka tak menjawabnya melainkan malah bertanya.

“Malam ini aku hendak makan bersama dengan temanku.”

“Malam ini kamu tidak makan di rumah?” Cikka merasa curiga, lalu kembali cemberut, “Kamu baru sembuh dari sakitmu, bagaimana bisa kamu keluar untuk minum lagi?”

“Haha, bukan minum.” kata Irwandi berusaha menjelaskan, “Ada teman yang ingin mencariku.”

“Sungguh?” tanya Cikka, kedua matanya menatap Irwandi dengan lekat, lalu bertanya : “Pria atau wanita?”

“Pria.” jawab Irwandi sambil tersenyum, lalu bertanya : “Kamu masih belum menjawab, ada apa kamu mencariku?”

“Tadinya aku berencana mengajakmu karoke malam ini.” ucap Cikka dengan jujur, “Bagaimana kalau, setelah kamu makan, kita pergi karoke bersama?”

“Haha, kenapa kamu mendadak ingin mengajakku bernyanyi.” ujar Irwandi sambil tersenyum ragu.

Raut wajah Cikka perlahan merona, lalu tersipu malu menunduk, suaranya terdengar pelan : “Karena kamu terlihat muram terus.”

Irwandi terdiam sejenak, lalu memandang Cikka dengan dalam, kemudian memalingkan wajahnya, “Terima kasih, tapi aku baru saja sembuh dari sakitku. Lain kali saja ya, jika ada kesempatan, aku akan mentraktirmu karoke.”

Cikka melihat kepedihan yang ada di mata Irwandi, “Oh.” menjawab dengan singkat, kemudian berkata dengan penuh senyum : “Kamu jangan lupakan kata-katamu ya, ingat untuk mentraktirku.” sambil berkata, dia berjalan keluar ruangan.

Setelah pulang kerja, Irwandi segera menaiki sebuah taksi dan menuju ke lokasi. Dia tidak menyadari, sosok Cikka yang sedang mengawasinya dari kejauhan dan melihat dirinya masuk ke dalam mobil.

Setelah sampai di restoran, Irwandi segera memasuki ruangan VIP, tapi hampir saja dia tersedak oleh asap rokok yang mengumpal di sana, bahkan matanya saja hampir mengeluarkan air mata saking pedihnya. Dia segera membuka jendela yang ada di ruangan itu, lalu meletakkan tasnya, dan duduk di hadapan Ronald, menatap dia yang tak hentinya menghisap rokok, dia tersenyum dan berkata : “Saudara, hentikan rokokmu, di sini sudah hampir tenggelam oleh asap rokokmu.”

Pada saat ini, Ronald baru menyadari kehadiran Irwandi, dia mengangkat kepalanya melihat Irwandi, “Oh, kamu sudah datang, ayo kita minum.”

Irwandi tak menolaknya, dia langsung menuang penuh gelasnya sendiri, lalu mengangkat gelasnya, dan berkata : “Ayo, minum.” pada saat Irwandi memutuskan untuk datang, dia sudah memikirkan suatu rencana dengan baik, dia akan memabukkan Ronald, lalu mencari sebuah hotel dan membiarkan dia untuk beristirahat. Hal semacam ini memang berat, tapi dia juga sudah melewatinya.

Selesai meneguk minuman itu, Irwandi melahap makanan yang ada di depan mata, terasa dingin di mulut. Dia baru menyadari bahwa makanan di atas meja ini semua belum tersentuh sama sekali. Dia segera keluar mencari pelayan, lalu menyuruh pelayan itu untuk memanaskan kembali makanan ini semua, pelayan itu memberitahunya, bahwa Ronald sudah sedari siang tadi berada di ruangan ini dan mulai minum sendiri.

Irwandi sangat mengerti akan hal ini, dia pun meminta pelayan tersebut menyeduhkan segelas teh manis pekat, lalu mengantarnya ke ruangan ini. Dia menolak ajakan minum dari Ronald, dia hanya menemani Ronald mengobrol dan mengobrol, setelah menunggu teh itu sedikit hangat, dia pun menyodorkannya ke Ronald, “Saudaraku, minumlah ini, habis ini kita lanjut minum.”

Mendengar ajakan minum, Ronald pun tak menolak sedikit pun, dia segera meneguk habis segelas teh manis pekat itu, setelah meletakkan gelas teh tersebut, dia berkata : “Ayo, minum.” sambil mengangkat gelasnya dan meneguk minuman itu.

Irwandi juga menemaninya minum.

Setelah makanan kembali dipanasin, minuman Ronald juga semakin bertambah, cara dia berbicara sudah tidak karuan. Setelah melihat asap rokok di dalam ruangan ini sudah tidak ada, Irwandi pun segera menutup jendelanya, lalu mengurangi minumnya dan tak henti-hentinya menyodorkan makanan untuk Ronald.

Setelah meneguk dua gelas minuman, pada saat ini, Irwandi akhirnya mengerti mengapa Oktavia bersikeras mengajukan cerai, dalam kondisi seperti ini, jalan satu-satunya memang harus bercerai. Hatinya ikut menghela napas, lalu menyodorkan sebatang rokok kepada Ronald, dan berkata dengan kesal : “Ronald, bukannya aku ingin mengguruimu, tapi kamu memang bodoh.”

“Iya, iya benar.” ucap Ronald sambil menerima rokoknya, lalu berkata dengan terbata-bata : “Ta… tapi, aku sebenarnya sudah bertekad untuk putus. Hanya saja, aku tak menyangka Lina berbuat seperti ini padaku.”

“Aku pernah melihat wanita ini, aku juga tak menyangka dia memiliki siasat seperti ini.” Irwandi sedikit ragu-ragu : “Tapi, aku juga mengerti perasaannya. Dia tak ingin lagi menjalani hubungan ini dengan bersembunyi-sembunyi, tapi malah dicampakkan olehmu.”

“Kamu. Pernah bertemu… dengan Lina?” tanya Ronald sambil memandang Irwandi dengan curiga, lalu bertanya : “Kapan?”

“Dalam waktu dekat ini.” Irwandi menjelaskan, “Saat itu aku sedang berada di dekat Youjian Maocai, lalu aku melihatmu bersama wanita itu membuka kamar malam itu.” dia terdiam sejenak, lalu Irwandi melanjutkan dengan kesal : “Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang kamu pikirkan. Jika dilihat-lihat, wanita ini bahkan tak secantik Oktavia, dia hanya sedikit lebih muda saja, kenapa kamu.”

“Hais.” Ronald menghelakan napas panjang, “Saudara, tidak ada obat penyesalan. Aku sungguh menyesal.”

“Minum, minum.” ucap Irwandi sambil mengangkat gelasnya. Tak butuh waktu lama, Ronald benar-benar telah ambruk, kepalanya tersungkur di atas meja dengan terisak. Dan saat ini, Irwandi juga ikut merasa sedih, dia pun mulai meneguk minuman sendiri.

Setelah meneguk beberapa gelas, Irwandi juga mulai merasakan kepalanya sedikit pusing, dia segera membayar tagihan Ronald dan kembali ke ruangan itu. kemudian membawa Ronald keluar dari restoran itu dan mencari hotel terdekat yang ada di sekitaran, lalu membawanya ke dalam untuk beristirahat.

Setelah menempatkan Ronald di atas tempat tidur, Irwandi segera menuangkan segelas air hangat dan meletakkan di atas meja samping tempat tidur. Dia pun beristirahat sebentar di dalam kamar, lalu bersiap untuk pergi. Tapi tak disangka, saat dia hendak beranjak dari kamar, Ronald kembali terduduk dan terus berteriak ingin lanjut minum.

Irwandi segera duduk di sampingnya dan menyodorkan segelas air hangat itu padanya. Setelah Ronald meneguk habis air tersebut, dia segera memuntahkan semua isi perutnya di samping tempat tidur. Aroma asam nan bau mulai menyebar ke seisi ruangan. Irwandi yang tak berdaya ini, hanya bisa menahan aroma ini, dia lalu mengambilkan sebuah handuk basah untuk membersihkan wajah Ronald, kemudian dia mencari pelayan kamar dan memberinya sedikit tip, agar dia membersihkan ruangan ini dengan bersih.

Setelah semua telah beres, Irwandi menoleh ke arah Ronald yang ternyata juga sedang menatapnya, lalu tak bisa menahan tawanya : “Akhirnya kamu sedikit sadar setelah memuntahkan ini semua, hampir saja kamu membuat aku pingsan. Apa kamu ingin minum?” sambil berbicara Irwandi kembali menuangkan segelas air hangat dan meletakkannya di samping tempat tidur.

Ronald mulai bangun dari tidurnya dan bersandar di ujung tempat tidur, dia meneguk seteguk air, lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyodorkannya ke Irwandi, “Terima kasih. Aku tak bisa lagi berkata apa-apa selain ini.”

Mendengar suara Ronald yang begitu canggung, Irwandi menerima rokoknya, lalu duduk di sebuah kursi, dan menyalakan rokok sambil berkata : “Di antara kita berdua, tak perlu mengucapkan kata terima kasih.”

Irwandi kembali menemani Ronald mengobrol, setelah melihat kondisi Ronald sudah membaik, dia bersiap untuk pamitan, “Saudaraku, aku pulang dulu, telepon aku jika terjadi apa-apa.”

“Maaf ya sudah merepotkanmu.” Ronald hendak beranjak dari ranjangnya, tapi karena habis mabuk, dirinya tak mempunyai tenaga untuk berdiri.

Melihat dia seperti itu, Irwandi pun tertawa : “Lebih baik kamu tiduran saja.” Sambil berbicara, dia beranjak pergi. Pada saat dia tiba di depan pintu, tiba-tiba terdengar suara dari Ronald di belakang, dengan pelan berkata : “Kembalilah, dan jaga Marena dengan baik.”

Tangan Irwandi terpaku di gagang pintu, dia terdiam, lalu membalikkan badannya menatap Ronald dengan sedikit ragu, berkata : “Maksudmu?”

“Aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya menyarankan kamu untuk menjaga istrimu dengan baik.” Ronald bergegas menjelaskan.

“Karena kamu berkata demikian, kamu pasti telah mengetahui sesuatu.” Irwandi kembali berjalan masuk ke kamar, lalu bertanya : “Saudaraku, beri tahu aku, apa yang kamu ketahui.”

Setelah ditatap dengan lekat oleh Irwandi, perlahan dia memalingkan wajahnya, lalu kembali menatap irwandi, dan berkata : “Aku melihat Marena, dua kali bersama dengan pria yang sama, tatapan matanya sangat mesra ketika mereka sedang makan bersama.”

“Dua kali yang mana, di tempat apa?”

“Satu kali pas makan siang, di Restoran Leisure. Dan satu lagi pas makan malam, di Restoran Fragrance Paviliun. Dan pada malam itu, aku memintamu untuk membujuk Oktavia.”

“Terima kasih, aku tahu.”

Melihat Irwandi yang hendak pergi, Ronald tiba-tiba melontarkan sebuah kata : “Irwan, jika nanti ada kesempatan, aku ingin meminta kamu untuk menjaga Oktavia.”

“Baiklah, aku mengerti.”

Setelah keluar dari hotel, Irwandi menyalakan sebatang rokok dan berjalan dengan sendiri di pinggir jalan.

Dari Donita dan sekarang Ronald, ternyata mereka semua sudah mengetahuinya, dan hanya dirinya sendiri orang paling terakhir yang mengetahui hal ini.

Hari ini, Marena juga sudah memikirkan segala cara, tapi dia merasa semua itu tidak layak. Namun, dirinya sangat merindukan Irwandi. Dan saat ini, dia memutuskan untuk bertemu dengan Irwandi malam ini.

Dia pergi ke rumahnya yang dulu, lalu melihat rumah yang begitu gelap dari bawah. Marena memberanikan diri dan membuka pintu rumah, dia berkeliling ke kamarnya, dia melihat selimut yang tak pernah digunakan, bahkan masih baru, hatinya terasa sangat sakit.

Dia duduk di ruang tamu dan menunggu untuk waktu yang cukup lama, tapi dia tak kunjung melihat sosok Irwandi. Marena merasa ragu, entah kenapa, dia teringat dengan perkataan yang diucapkan oleh Ibunya sendiri, pria seperti Irwandi ini harus dijaga dengan baik, jika tidak, dia akan direbut oleh wanita lain di luar sana.

Marena mulai panik.

Apakah Irwandi sudah menemukan wanita baru, kalau tidak, kenapa dia harus mengganti selimutnya dengan yang baru?

Sudah begitu larut dan Irwandi masih belum pulang, apakah dia sedang berkencan dengan wanita lain, kalau tidak, kenapa dia masih tak pulang-pulang?

Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Marena tiba-tiba mendengar suara pintu terbuka, dia segera beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan pintu.

Irwandi yang baru saja membuka pintu rumahnya, dia baru menyadari kondisi rumahnya sudah terang benderang, melihat Marena berlari ke arahnya dengan panik, rasa kepedihan dan juga kebencian mulai meluap dari dalam hatinya, lalu bertanya dengan dingin : “Sudah begitu larut, apa yang kamu lakukan di sini?”

Keberanian Marena seketika sirna setelah ditatap dan mendengar suaranya yang dingin, ditambah dengan prasangkanya sendiri, dia juga menjawab dengan dingin, “Ada suatu barang yang lupa aku ambil.” sambil berbicara, dia pun melewati Irwandi dan berjalan ke pintu keluar. Mendengar suara pintu tertutup dari belakang, air mata Marena segera mengalir dengan bebas.

Dia ingin kembali ke rumah ini, tapi tak mempunyai keberanian. Marena benci dengan dirinya yang tak berguna ini, benci dengan dirinya yang begitu lemah. Sambil menggigit bibirnya, Marena berjalan memasuki pintu lift.

Novel Terkait

 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
3 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Mr. Ceo's Woman

Mr. Ceo's Woman

Rebecca Wang
Percintaan
3 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu