Istri Pengkhianat - Bab 57 Rumah Kosong Dan Sunyi

Dia masih berdiri di tempatnya, melihat bayangan Marena yang hilang dengan begitu cepat, setelah dia tiba di tempat parkiran, wanita lagi tak terlihat. Irwandi menyalakan sebatang rokok, lalu perlahan membalikkan badannya dan meninggalkan tempat ini. Setelah sampai di rumah, dia segera menghempaskan badannya di atas sofa yang empuk sambil memejamkan matanya.

Akhirnya bercerai! Selama ini, Irwandi selalu menahan pengkhianatan dari istrinya setiap hari, dia selalu menghadapi kebohongan dan kemunafikan dari sang istri. Dia selalu mencoba untuk bahagia, dan hatinya sudah lelah disiksa dengan semua ini.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, Irwandi segera membuka matanya dan berdiri melihat sang istri berjalan masuk dari luar. Sedangkan Marena, dia juga terpaku melihat Irwandi yang tengah berdiri di sana, keduanya diam membisu saling menatap.

“Aku akan membereskan baju-bajuku, lalu segera pergi.” Irwandi mencoba tersenyum lalu berbalik dan melangkah ke kamarnya. Setelah selesai membereskan pakaiannya, dan mendorong koper ke ruang tamu, dia berkata : “Kalau begitu, aku pergi dulu. Beri tahu aku dalam beberapa hari ini jika kamu sudah membereskan semua ini.”

Maksud Irwandi dalam ‘beberapa hari’, bukankah dia sedang mendesak dirinya untuk segera pindah dari sini! Setelah dipikir-pikir, Marena jauh lebih sakit hati, raut wajahnya sangat buruk menatapi bayangan Irwandi yang sedang melangkah keluar, apakah begitu tak sabar untuk menunggu dia pergi!

Dengan penuh kekesalan, Marena segera berbalik badan dan melangkah ke kamar untuk membereskan semua pakaiannya dengan cepat. Saat dia mengeluarkan semua pakaiannya ke atas ranjang, dia pun terdiam melihat sesuatu, sebuah jaket yang tak pernah dia kenakan, bahkan label harga pun masih menggantung di sana, lalu dia mengambilnya.

Tidak perlu ditebak lagi, jaket ini adalah pemberian dari sang suami saat dia pulang dari pelatihan. Sambil memandangi jaket ini, tangan Marena sedikit bergetar dan air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

Setelah keluar dari area perumahan, Irwandi berjalan sambil mendorong kopernya, lalu terdiam dan melihat sekeliling untuk sejenak, kemudian terus melangkahkan kakinya ke depan, ke mana lagi dia bisa melangkah? Kendaraan berlalu Lalang dengan cepat di jalanan, lagu-lagu dan iklan menyuara dengan riangnya di toko pinggir jalan.

Di selimuti oleh beragam suara, Irwandi yang sedang berjalan di atas trotoar mulai melihat orang-orang di sekitaran yang berjalan melewatinya, ada yang tersenyum ada juga yang memiliki kecemasan di wajahnya. Tiba-tiba dia merasa dirinya sangat asing berada di sini, seperti dirinya tidak selaras dengan kota yang begitu hiruk-pikuk ini.

Semakin jauh dirinya melangkah, Irwandi merasa dirinya sedikit berat dan tak stabil, dia pun menemukan sebuah hotel di pinggir jalan, dan kemudian memesan sebuah kamar untuk dirinya beristirahat. Setelah masuk ke dalam kamar, dia segera menghempaskan dirinya di atas kasur yang empuk itu, pandangannya mulai kabur, lalu memejamkan mata dan merasakan seolah bumi ini sedang berputar.

Dan pada saat Irwandi terlelap di atas kasurnya, pada saat itulah Marena selesai mengemasi pakaiannya, dia juga merasa bingung ketika dirinya hendak beranjak dari rumah itu, dia tidak tahu harus ke mana. Dia tentu tidak bisa kembali ke rumahnya, karena orang tuanya pasti akan bertanya. Begitu juga dengan rumah sahabat, dia akan merasa malu jika ke sana.

Akhirnya, dia menemukan informasi tentang penyewaan rumah di internet. Setelah selesai menghubungi pihak tersebut, dia pun pergi melihat kondisi rumah itu, setelah menyetujuinya, akhirnya dia memindahkan pakaiannya dengan bolak-balik beberapa kali. Dan pada saat yang bersamaan, dia segera memberikan kabar kepada suaminya, bahwa dirinya telah pindah dari rumah itu.

Setelah Irwandi sedikit tersadarkan, dia merasa sekujur tubuhnya hangat, lalu mengulurkan tangannya dan membelai keningnya, sangat panas. Dia akhirnya mengerti, dirinya saat ini telah jatuh sakit. Beberapa tahun ini, kondisi kesehatannya sangat bagus, dia tak menyangka kemalangan ini datang bersamaan, dia bahkan jatuh sakit saat kondisi seperti ini.

Awalnya dia berpikir, dirinya selalu kuat, tapi siapa sangka ternyata dia masih begitu rapuh.

Dia masih terbaring dengan kondisi mata terbuka, dia berusaha bangun dan mencuci mukanya dengan air dingin, agar dia merasa sedikit sadar, kemudian menelepon Clive untuk meminta izin sakit dalam beberapa hari ke depan. Dan pada saat mematikan teleponnya, dia melangkahkan kakinya dengan kondisi sedikit pusing ke meja resepsionis hotel dan bertanya, adakah klinik terdekat di daerah sini? kemudian berjalan ke sana.

Selama tiga hari berturut-turut, Irwandi selalu pergi ke klinik dan membeli dua botol minuman keras serta beberapa makanan jadi ke hotel, dia pun memabukkan dirinya. Dia tidak berani untuk tidur dalam keadaaan sadar, karena bayangan istrinya selalu muncul saat dia memejamkan matanya.

Dia membenci dirinya yang begitu lemah, dia juga membenci dirinya yang gagal akan hal ini. Tapi, dia tidak bisa mengendalikan perasaannya, dia terus mengingat masa-masa indahnya bersama sang istri. Setelah itu, mengenai bungkusan Durex , dia teringat dengan sang istri dan Sojun berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam sebuah hotel, berciuman dengan mesra, bayangan itu semua terus melayang di dalam benaknya.

Cinta dan benci bercampur menjadi satu, dia terjerat dan tenggelam dalam siksaan itu.

Hari ini, setelah dia berkunjung ke klinik, Irwandi merasa jauh lebih baik, dan untungnya kondisi badannya selalu sehat, kalau tidak, jika dia terus minum dalam kondisi sakit seperti ini, mungkin sejak awal kondisi badannya sudah ambruk. Setelah kembali ke dalam kamar hotel dan menyalakan ponselnya, dia mendapati begitu banyak pesan yang masuk ke dalam ponselnya.

Salah satunya, terselip sebuah pesan dari Cikka, juga ada pesan dari sang istri. Setelah membukanya, isi pesan dari Cikka semua adalah mencemaskan kesehatannya, dia terus menanyakan kabarnya, menanya kenapa nomornya tidak bisa dihubungi, dan juga bertanya di mana dia berobat, dia ingin menjenguknya. Sedangkan pesan dari istrinya, dia memberitahunya bahwa dirinya telah meninggalkan rumah itu dan menyuruhnya untuk kembali.

Dia tersenyum pahit, sesuai dengan perjanjian yang ada, setelah istrinya pindah, maka dia harus mengirimkan setengah uang dari harga rumah itu ke rekening istrinya. Setelah berpikir sejenak, Irwandi menelepon seorang teman kuliahnya yang dulu se-angkatan dengannya, lalu membuka mulut dan meminjam uang sebesar 400 juta. Tanpa ragu-ragu, temannya segera menyetujuinya dan meminta nomor rekening banknya.

Tak butuh waktu lama, Irwandi telah mendapatkan pesan pemberitahuan dari pihak bank bahwa dia telah menerima uang sebesar 400 juta rupiah dari temannya. Irwandi kemudian mentransfer uang itu ke rekening keluarga yang dulu dia buat, lalu dia memberi kabar ke Marena bahwa uang sudah ditransfer kepadanya.

Lalu, dia juga mengirimkan pesan kepada Cikka, dan mengucapkan terima kasih sudah mencemaskannya, serta memberitahunya bahwa dia sudah sembuh dari sakitnya. Baru saja hendak meletakkan ponselnya, tiba-tiba ponselnya berdering, terlihat nama Cikka terpampang di depan layar, kemudian dia berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon tersebut.

Baru saja telepon tersambung, Cikka telah menghujaninya dengan sederet pertanyaan : “Irwan, bagaimana keadaanmu, sakit apa kamu, apa sudah baikkan, kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi, kamu di mana?”

“Haha.” Irwandi mencoba untuk tertawa, “Bukan sakit serius, hanya demam saja. Aku sudah baikkan kok, besok aku sudah mulai kerja.”

“Apa? Besok kamu mulai bekerja?” Cikka sedikit terkejut : “Sepertinya demammu terlalu tinggi, besok itu hari minggu. Kamu di mana sekarang, aku ke sana.”

“Oh, besok minggu ya, kamu sampai bilang aku demam terlalu tinggi.” Irwandi sengaja tertawa ringan, lalu berkata : “Terima kasih, kamu tidak perlu datang, aku sekarang sudah sehat.”

“Apa kamu ada di rumah?” Cikka masih bersikeras bertanya.

“Aku tidak ada di rumah, aku sedang berada di ibukota.” ujar Irwandi berbohong.

“Kenapa kamu bisa berobat hingga ke ibukota?” Cikka lagi-lagi bertanya dengan cemas, “Dari suaramu yang serak ini, aku bisa mendengar kalau dirimu sedang lemas, bagaimana keadaanmu yang sebenarnya?”

“Beberapa hari yang lalu aku ke ibukota, ada urusan yang harus aku selesaikan, lalu tiba-tiba demam, maka dari itu, aku berobat di sini.” kata Irwandi sambil tersenyum, “Coba kamu dengar, sekarang saja aku sudah bisa mengobrol di telepon denganmu, ini berarti aku sudah sehat.” Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, “Sudahlah, senin aku akan masuk kerja seperti biasa.”

Setelah selesai menelepon, Irwandi mengemas semua barang-barangnya dan bersiap untuk pulang ke rumah. Dan pada saat mengemasi barang-barang yang ada di toilet, dia secara tidak sengaja melihat dirinya sendiri di depan cermin, jenggotnya sudah mulai panjang, raut wajahnya yang terlihat lesu, bahkan rambutnya juga mulai panjang.

Dia terdiam sejenak, lalu segera mencukur jenggotnya dengan bersih setelah selesai mandi, dirinya pun terlihat jauh lebih segar. Pada saat meninggalkan hotel, dia pun menaiki sebuah taksi dan kembali ke area perumahan. Saat dirinya mulai masuk ke dalam rumah, dan Irwandi mulai melepaskan sepatunya, dia melihat rak sepatu yang begitu kosong melompong, hanya tersisa beberapa pasang sepatu miliknya sendiri di sana, seketika hatinya juga terasa hampa.

Saat tiba di ruang tamu dan meletakkan kopernya, Irwandi melihat sekeliling rumahnya yang bersih, tidak ada perubahan yang signifikan di sana, tapi dia tetap merasakan tidak ada lagi kehangatan seperti dulu kala, kali ini terasa sedikit dingin.

Dia berjalan ke kamarnya, dia melihat selimut tertata rapi di atas ranjang, dan masih sama seperti dulu. Dia mendongak di atas ranjang, awalnya ada sebuah foto pernikahan yang menghiasi dinding di sana, kini telah sirna.

Dalam sekejap, kekosongan dan kehancuran menyelimuti Irwandi, bahkan membuat dirinya terasa sedikit kedinginan, menatapi dinding yang kosong itu, perlahan matanya mulai berkaca-kaca, lalu dia pun berbaring di atas kasur sambil memejamkan matanya, tak lama setelah itu, butiran air mata menetes dari sudut mata.

Dan pada saat ini, Marena juga tengah duduk meringkuk dengan kedua kakinya di atas ranjang rumah sewaannya, mengatupkan bibirnya sambil melihat pesan yang diterima, isi pesan tersebut adalah, rekening banknya telah menerima dana sebesar 400 juta rupiah dari Irwandi.

Novel Terkait

Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
3 tahun yang lalu
Kakak iparku Sangat menggoda

Kakak iparku Sangat menggoda

Santa
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
3 tahun yang lalu