Istri Pengkhianat - Bab 9 Menguak Kebohongan Istri

Ketika masalah datang, tidak perlu untuk menghindarinya, tidak perlu untuk menyerah, tidak perlu memikirkan sesuatu yang berlebihan. Jika menghindarinya maka masalah akan tetap berada di depan mata, jika menyerah maka tidak akan mendapatkan hasil yang dinginkan, jika memikirkannya secara berlebihan maka kita akan kehilangan kepercayaan diri yang tertanam dalam diri kita.

Satu-satunya penyelesaiannya adalah menghadapinya!

Setelah panggilan itu berakhir Irwandi menarik nafasnya panjang, menepuk wajahnya beberapa kali mencoba agar senyuman bisa bersarang di wajahnya.

Saat dia masuk ke dalam perusahaan, kebetulan dia melihat Cikka di depannya. Irwandi melangkahkan kakinya mengejarnya, menyapanya tersenyum, “hei, apa kamu sudah makan?”

Cikka yang merasa terpanggil oleh perkataan Irwandi langsung menghentikan langkah kakinya, memalingkan kepalanya menatap Irwandi yang berusaha mengejarnya, mengerutkan keningnya, menggerutu tidak senang, kenapa dia masih terlihat kelelahan, demi perempuan saja dia benar benar tidak mempedulikan tubuhnya. Perkataannya penuh dengan cemoohan, “tidak apa jika aku tidak sarapan, tapi kamu senior, kamu harus makan banyak suplemen.”

“Kenapa kamu berkata seperti itu?” Irwandi masih mengikuti langkah kakinya, mengelus wajahnya sendiri, tersenyum dan berkata keheranan, “apa akhir akhir ini aku sudah terlalu kurus?”

Mendengar lelucon Irwandi, dia sudah tidak bisa menahannya lagi, “apa kamu sendiri bahkan tidak mengetahuinya, apakah Marena tidak menyadarinya?”

“Ada apa sebenarnya.” Melihat sikapnya yang seperti ini Irwandi mulai bersikap serius, dia mengatakan, “Marena tidak ada di rumah, dia pergi ke Hainan. Aku belum kembali saja dia sudah tidak ada di rumah dan pergi dinas.”

“Hah?” Dia sangat terkejut sekaligus diliputi rasa malu, ternyata dia sudah salah paham kepadanya. Dalam hatinya dia mulai bisa merasa lega, wajahnya mulai memerah, tatapannya menatap ke arah lain, setelah itu kembali menatap Irwandi bertanya, “senior, apa terjadi masalah denganmu akhir akhir ini, apa karena kakak ipar tidak berada di rumah jadi setiap malam kamu pergi keluyuran.”

“Jangan berkata sembarangan.” Irwandi sengaja membuat wajahnya terlihat serius, setelah itu dia tertawa, aku ini orang yang seperti apa, apa kamu tidak mengetahuinya.” Setelah mengatakan itu mereka sudah sampai di depan pintu lift, saat melihat rekan kerja yang dirasa akrab dengannya satu persatu mulai bertegur sapa. Sedangkan Cikka tidak berkata kata lagi, hanya ikut menyapa rekan kerja yang lain.

Saat dia sampai di ruangannya, dia menyalakan rokok, membereskan dokumen yang ada di meja kerjanya, kemudian Cikka terlihat masuk ke dalam, “senior, kemarin malam aku sudah mencari tahu, jika perusahaan benar benar menyiapkanmu untuk masuk ke bagian perencanaan menjadi direktur.”

Melihat Cikka sekilas, Irwandi kembali menghisap rokok di tangannya, dia merasa jika Cikka sedikit misterius, informasinya saja belum keluar ternyata dia bisa mengetahuinya. Jika dia memiliki hubungan dengan orang dalam, atau mungkin orang lain lah yang memberitahukan hal ini kepadanya. Tetapi entah kemungkinan yang mana semuanya menunjukkan perhatian kepada dirinya.

Dia hanya menjawab dengan tersenyum, “itu hanya angin lalu, lain kali jangan banyak omong dan jangan pergi mencari tahu apapun.” Dia menghentikan perkataannya sejenak, kemudian kembali berkata dengan serius, “jika tidak akan membuat direktur Miguel memiliki pemikiran yang berbeda terhadapku dan juga dirimu.”

“Oh.” Cikka memainkan bibirnya, jelas sekali jika dia sedikit tidak senang, kemudian terdengar dia mendecih, mulai menggerutu, “orang tidak tahu terima kasih.”

Melihat sosok Cikka yang begitu menggemaskan membuat Irwandi tertawa keras, dia mematikan rokok di tangannya, tersenyum, mengatakan, “meskipun aku adalah orang yang tidak tahu terima kasih tapi aku masih akan mentraktirmu makan malam, bagaimana, hitung hitung sebagai penebusan kesalahanku.” Setelah mengatakan itu dia melihat Cikka menatapnya dengan terkejut, kemudian Irwandi kembali bertanya, “apa yang ingin kamu makan?”

Cikka begitu terkejut saat mendengar Irwandi ternyata bersedia untuk mentraktirnya makan, dia bertanya saking tidak percayanya, “apa kamu benar benar ingin mentraktir aku makan malam nanti?” Terlihat Irwandi tersenyum saat menatapnya, tersenyum bahagia hingga kedua matanya menyipit, dia sengaja mengangkat kepalanya, meletakkan kedua tangannya di belakang punggungnya, berjalan mendekat, mengatakan, “sangat banyak orang yang ingin mentraktirku diluar sana, aku harus melihat jadwalku dulu apakah aku memiliki waktu atau tidak malam ini .”

“Kalau begitu setelah kamu melihat jadwalmu beritahukan saja kepadaku.” Irwandi mendekat, mengatakan, “malam ini seniormu ini menunggu jawabanmu.”

“Hem.” Cikka menganggukan kepalanya, reaksi yang membuat Irwandi begitu senang, “hahaha, tunggu saja.” Setelah mengatakan itu dia langsung melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Irwandi.

Saat melihat punggung yang berjalan menjauh darinya, Irwandi memperkirakan sikap si tukang makan ini pasti sedang mencari makanan apa yang lezat, atau sedang bertanya kepada sahabatnya di mana restoran yang enak. Tetapi apa yang dikatakan tidak salah, entah itu karyawan perusahaan atau laki laki di luar, banyak sekali yang mengajaknya untuk makan bersama, tetapi Cikka jarang mengiyakannya, kecuali jika itu adalah perjamuan dari perusahaan. Mengenai hal ini Irwandi juga sangat kagum kepadanya.

Setelah sibuk beberapa waktu, menyelesaikan pekerjaan yang harus diselesaikan, rasanya pekerjaan sedikit berkurang, hal itu membuat Irwandi sedikit santai, menyalakan rokoknya, pemikirannya kembali terjatuh kepada sosok istrinya. Istrinya itu bekerja di sebuah perusahaan periklanan, posisinya di perusahaan adalah sebagai wakil manager di bagian perencanaan, biasanya jika ingin menghubunginya atau mencarinya juga bisa menghubungi bagian perencanaan.

Jadi, Irwandi terbatuk beberapa kali, mengkondisikan tenggorokannya, mencari nomor telepon bagian perencanaan tempat perusahaan istrinya bekerja, telepon itu terhubung kemudian terdengar seseorang mengatakan, “halo, di sini dengan bagian perencanaan perusahaan periklanan Admiles, apa ada yang bisa dibantu?”

Irwandi yang masih ragu ragu kemudian menekan suaranya mengatakan, “aku ingin mencari nona Marena.” Sebenarnya dia juga tidak perlu menekan suaranya seperti itu, dalam dua hari ini dia tidak istirahat dengan baik, setiap harinya hanya merokok, suaranya sudah terbilang cukup serak.

“Wakil manager sedang tidak ditempat, apa ada yang bisa dibantu?”

“Kalau begitu saya akan menelepon kembali nanti.” Irwandi sengaja berkata seperti itu, “saya hanya ingin menanyakan mengenai proyek yang saya mintai tolong kepada perusahaan kalian untuk direncanakan apakah sudah diselesaikan atau belum.”

“Kalau boleh tahu tuan dari perusahaan mana, wakil manager Marena sedang ijin karena sakit, dalam beberapa hari ke depan baru bisa kembali bekerja. Jika memungkinkan saya bisa membantu untuk menanyakan kepadanya apakah sudah diselesaikan atau belum.”

Hati Irwandi rasanya seperti mendapat pukulan yang sangat keras dari orang lain, sakitnya membuat dirinya tidak bisa menarik nafas, menutup kedua matanya, menghembuskan nafas panjang,“saya dari perusahaan Green Leaf, kalau begitu aku akan membicarakannya kembali setelah beliau kembali bekerja.” Setelah mengatakan itu dia langsung menggenggam erat telepon di tangannya.

Kebohongan, dia kembali mendapati kebohongan istrinya kepadanya.

Ada hal yang memang tidak boleh untuk dicari tahu lebih dalam, jika kamu melakukannya maka hanya akan terlihat kebobrokan dari hal itu sendiri.

Itulah yang sedang menimpa Irwandi saat ini, dia menyandarkan dirinya di kursi belakang, setelah merasakan rasa sakit tapi entah kenapa hatinya terasa begitu lega. Sebenarnya bukan tubuhnya yang merasa lega, tetapi hatinya, karena semakin banyak kebohongan yang keluar dari mulut istrinya, maka kejelasan mengenai istrinya yang menghianatinya semakin menguat. Cintanya kepada istrinya semakin dibuat menjauh karena kebohongan dan penghianatan yang istrinya lakukan.

Dia duduk di atas kursinya seperti itu entah sudah berlalu berapa lama. Dia kembali menyulut rokok di tangannya, setelah selesai menghisap satu batang, dia berjalan keluar dari ruangannya, menuju ke pintu masuk di depan perusahaan, berdiri di pinggir jalan, tidak tahu ke mana dia akan pergi setelah ini, dia hanya berjalan jalan saja di sekitar. Tidak disangka jika dia sudah berjalan sampai ke sebuah taman, disamping taman ada sebuah danau, mendudukan dirinya di kursi kayu panjang di samping danau, menatap diam permukaan danau.

Pada saat itu dia baru saja lulus dari perguruan tinggi, datang ke kota ini bersama dengan istrinya, saat malam hari dia sering menemani istrinya berjalan jalan di taman ini. Pada saat itu istrinya masih bersedia menggandeng lengannya, berbincang dengan sangat lembut.

Bergandengan tangan sambil membicarakan dengan bahagia mengenai masa depan mereka.

Tapi sekarang, terkadang dia ingin datang ke tempat ini bersama dengan istrinya, tetapi keinginannya ini masih tidak kunjung terlaksana. Sudah lama sekali dia tidak pergi jalan jalan malam hari bersama istrinya, saat dia mengajaknya jalan jalan keluar, istrinya selalu saja ada alasan untuk menolaknya.

Oktavia yang baru saja selesai mengajar, saat mengangkat teleponnya, dia teringat saat kemarin malam belum menerima balasan pesan atau telepon dari Marena, saat pagi sebenarnya dia berencana untuk menghubungi Irwandi menanyakan hal ini, tetapi pagi tadi dia memiliki begitu banyak kelas, jadi melupakan hal ini begitu saja.

Sekarang kesibukannya sudah berakhir, saat melihat telepon dia baru teringat jika sahabatnya itu belum membalas pesan darinya. Dia mulai khawatir. Setelah itu dia kembali menghubungi telepon Marena.

Tetapi Marena masih bersama dengan Sojun Lu, dia duduk di atas speed boat dengan mengenakan pakaian pelampung menerjang laju ombak, dia sama sekali tidak mendengar jika telepon yang berada di dalam tasnya berdering. Meskipun dia mendengarnya, saat ini dia yang begitu bahagia mungkin tidak akan mengangkat panggilan telepon itu.

Sedangkan di pihak Oktavia, melihat sahabatnya yang tidak mengangkat teleponnya membuat kekhawatirannya semakin menguat, setelah berfikir sebentar dia kemudian memutuskan menghubungi Irwandi.

Saat mendengar telepon di dalam kantong bajunya berdering, Irwandi perlahan mulai tersadar dari lamunannya, mengeluarkan telepon dan melihat jika Oktavia lah yang menghubunginya, belum sempat dia mengatakan sesuatu setelah mengangkatnya sudah terdengar suara cemas dari Oktavia, “Irwandi, apa kamu sudah berhasil menghubungi Marena, kemarin malam aku sudah menghubunginya dan mengiriminya pesan, tetapi dia tidak mengangkat ataupun membalas pesaku. Aku sangat khawatir kepadanya.”

Kenapa mengkhawatirkannya, dia sedang hidup sangat bahagia, jadi dia tidak sempat mengangkat telepon darimu. Irwandi dalam hatinya berfikir seperti itu. Tetapi mulutnya berkata lain, “pagi tadi aku sudah menghubunginya, dia mengatakan jika dalam satu atau dua hari ini dia akan kembali.”

“Oh, jika seperti itu aku menjadi tenang, dia tidak membalas pesanku, membuat aku khawatir saja.” Oktavia mulai menggerutu, kemudian mendengar ada suara orang berbincang di balik telepon, kemudian bertanya, “di mana kamu sekarang?”

“Aku masih bekerja.” Irwandi sudah mengatakan kebohongan, khawatir jika Oktavia akan bertanya lebih lanjut, dia memutuskan untuk bertanya balik kepadanya, “apa sore ini kamu tidak ada kelas?”

“Kelasku hari ini sudah selesai.” Oktavia menjawabnya. Dia menghentikan perkataannya sejenak, kemudian kembali mengatakan, “bagaimanapun juga Marena tidak ada di rumah, kamu sendirian pasti sangat bosan, datanglah ke rumah untuk makan.”

“Hahah, terimakasih.” Irwandi tertawa, mengatakan, “hari ini aku ada janji dengan rekan kerja, jika besok tidak ada halangan maka aku akan datang ke rumahmu untuk makan.”

“Baiklah.” Oktavia menjawab singkat, “kalau begitu aku tutup teleponnya.”

Setelah panggilan telepon itu berakhir perasaannya sedikit membaik, dia menaiki taxi untuk kembali ke perusahaan.

Saat waktu pulang kerja hampir tiba, teleponnya menerima pesan dari Cikka, pada saat bersamaan dia juga mengirimkan sebuah alamat. Alamat tempat itu ternyata bukan di arena makan atau restoran, tetapi sepertinya berada di pinggiran kota, nama tempat itu adalah “Youjian Maocai.”

Hahaha, Irwandi menyunggingkan senyuman di wajahnya, pintar sekali mencarinya. Setelah itu dia menaiki taxi menuju tempat dimana Cikka berada menunggunya.

Novel Terkait

Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Lady Boss

My Lady Boss

George
Dimanja
4 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu