Istri Pengkhianat - Bab 25 Sojun yang Datang Mencari
Tidak tahu telah berlalu berapa lama, Marena tiba-tiba terbangun dan merasa sedikit kesal. Mengapa aku bisa tertidur! Sebenarnya dapat dipahami juga, bermain di Kota Hainan dengan begitu senang dan semangat, tiba-tiba suasana hatinya berubah menjadi begitu gugup setelah pulang rumah. Ditambah dengan insomnia kemarin malam, bagaimana mungkin ia tidak tertidur!
Ia mengumpulkan semangatnya mendengar gerak-gerik dari luar, terdengar sangat tenang. Ia pun pelan-pelan turun dari ranjang dan jinjit berjalan ke kamar lain. Tiba di kamar lain, melihat pintu yang tertutup, ia tahu suaminya telah pulang.
Saat ingin mengulurkan tangan untuk membuka pintu dan bertanya kepada suaminya kapan ia pulang, serta mengapa pulang begitu malam, tangannya yang telah diulurkan tiba-tiba berhenti. Seperti ini, apakah akan membuat Irwandi berfikir bahwa dirinya selalu memperhatikannya. Bukankah hal itu membuat dirinya sama sekali tidak ada harga diri?
Tetapi adanya kemungkinan bahwa Irwandi selingkuh, hal itu membuat Marena yang bingung dan curiga berjinjit jalan kembali ke ruang tamu. Ia menyalakan lampu, lalu menemukan mantel Irwandi di sofa, ia pun mengambilnya, serta mencium bau rokok dan alkohol, serta tidak terdapat rambut wanita. Seketika ia pun merasa sangat lega dan pergi ke kamar mandi lagi. Ia melihat baju kotor Irwandi yang telah dimasukkan ke dalam mesin cuci dan waktu mesin cuci pun telah ditentukan.
Irwandi sedang ada perjanjian bisnis di luar, seharusnya tidak ada wanita lain. Marena yang bahagia memasang bibir tersenyum. Ia pun balik ke kamar tidur dan berbaring di ranjang dengan lega, lalu kembali tertidur. Di dalam mimpi, Irwandi sedang berminta maaf kepadanya dengan gugup dan tulus, lalu menggendongnya dengan erat. Marena yang tersenyum genit pun mendorong Irwandi, lalu mereka terjatuh bersama di atas ranjang.
Saat alarm pagi yang diatur dari ponselnya berdering, Marena yang masih memasang wajah malu dengan senyuman di sudut mulutnya, tanpa membuka mata, ia pun mengulurkan tangannya ke samping untuk memeluk. Alhasil ia tidak memeluk apapun. Ia pun membuka matanya dan terbangun. Semua yang baru terjadi adalah mimpi.
Ia dengan malu mengerutkan dahinya, lalu diam-diam mengeluarkan suara, "Ih". Kemudian ia pun menyesap bibirnya dengan memasang ekspresi malu, sambil meregangkan alisnya dan berkata dengan malu, "Dasar". Ia pun terburu-buru bangun dari ranjangnya lalu masuk ke kamar mandi. Karena mimpinya tadi membuatnya sangat terangsang dan ia pun basah.
Setelah mandi, mengeringkan rambut dan memakai baju, ia pun datang ke ruang tamu. Irwandi telah pergi bekerja. Meskipun tahu waktu kerja Irwandi sangat pagi dan setiap hari pergi lebih awal darinya, tetapi hari ini ia merasa sangat kecewa, merasa rumah ini tidak lagi nyaman seperti sebelumnya.
Setelah pagi hari tiba di kantor, Irwandi tersenyum menyapa rekan kerjanya dan datang ke kantor. Ia yang sudah hampir selesai mengurus masalah dan merokok, tiba-tiba teringat dirinya mengabaikan sebuah masalah.
Beberapa hari telah berlalu sejak pulang dari pelatihan hingga perbincangan, seharusnya ia harus mengajak Direktur Brusto dari Departemen Administrasi makan ataupun minum bersama. Hal ini sudah biasa dilakukan.
Tetapi karena masalah istrinya, ia pun mengabaikannya. Kebetulan pekerjaan hari ini sudah hampir selesai diurus, ia lebih baik mengajak Direktur Brusto untuk makan dan minum bersama.
Menurut informasi yang diperolehnya, Direktur Brusto ini suka minum teh dan merokok. Meskipun toleransinya terhadap alkohol cukup tinggi, tetapi ia tidak terlalu tertarik dengan alkohol. Mungkin sering menemani para pemimpin perusahaan untuk bisnis dan minum terlalu banyak, sehingga ia biasanya tidak mau minum lagi.
Mencari tempat yang terpencil, Irwandi mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Direktur Brusto. Panggilan itu dengan cepat terhubung.
"Halo Pak Brusto, ini aku Irwandi." Irwandi berkata sambil terkekeh pelan, "Hehe. Apakah Anda sedang sibuk, apakah aku ada mengganggumu?"
"Haha. Pak Irwandi, aku tahu ini kamu," Direktur Brusto pun berkata dengan semangat, "Meskipun sedang sibuk, aku juga harus mengangkat panggilanmu."
"Hehe, Pak Brusto memang suka bercanda." Irwandi berkata sambil tersenyum ceria, "Sebenarnya tidak ada masalah, aku hanya ingin mengajak kamu minum teh dan makan bersama. Apakah kamu ada waktu untuk siang atau malam inj?"
"Oh begitu, terima kasih!" Direktur Brusto pun merenung sesaat dan berkata, "Aku lihat dulu apakah ada rencana lain. Kamu juga tahu bahwa aku tidak bisa bekerja dengan kemauan sendiri di Divisi Administrasi."
”Mendengar ini, Irwandi pun segera tertawa dan berkata, "Kalau begitu, Pak Brusto saja yang mengatur pertemuannya."
”Hehe, terima kasih juga atas pengertianmu." Direktur Brusto pun tertawa dan berkata setelah beberapa saat, "Aku baru saja melihat jadwalku dan tidak ada waktu untuk malam ini. Bagaimana dengan siang hari?"
"Kalau begitu sangat terima kasih, Pak Brusto." Irwandi dengan bahagia berkata, "Jika Pak Brusto mempunyai saran restoran enak, maka nanti siang kita pergi kesana saja."
"Kamu ini." Dari seberang sana Direktur Brusto terdengar sangat bahagia, "Baiklah kalau begitu, nanti siang kita pergi ke Kedai Teh Hammani."
"Baik." Irwandi pun segera menerimanya, "Setelah reservasi ruangan, aku akan mengirim pesan kepadamu."
Mereka berdua pun lanjut berbincang singkat, lalu memutuskan panggilan. Irwandi melihat waktu sekilas dan waktu sudah hampir pukul sebelas. Karena sekarang tidak ada masalah lagi, ia pun berangkat ke Kedai Teh Hammani dan reservasi ruangan, lalu mengirim nomor ruangan tersebut ke Direktur Brusto. Ia pun memesan secangkir teh putih dan duduk disana sambil meminumnya pelan, lalu merenung apa yang harus ia bicarakan dengan Direktur Brusto.
Saat ini Marena sedang memegang ponselnya sambil menyesap bibir dengan tatapan mata yang menunjukkan kebahagiaan. Tadi pagi ia mendapat beberapa pesan dari Sojun, yang mengajaknya untuk makan malam dan bertemu. Saat sedang ragu harus menerimanya atau tidak, bagian internal dari resepsionis pun menghubunginya dan berkata bahwa seorang Tuan yang bermarga Lu datang untuk mencarinya, lalu bertanya apakah harus membiarkan Tuan Lu masuk atau ia saja yang keluar.
Marena pun berkata aku segera keluar dan memutuskan panggilannya. Ia pun dengan panik berdiri dan bersiap untuk keluar. Setelah ragu sebentar, ia pun menarik nafas dalam dan mengeluarkan ekspresi senyum di wajahnya, lalu perlahan-lahan jalan keluar.
Tiba di resepsionis dan melihat Sojun lu yang berdiri disana sambil melihat baliho yang berada di sampingnya, Marena pun batuk pelan, lalu melihat Sojun yang menoleh kearahnya. Ia berkata sambil tersenyum dingin, "Teman lama, mengapa hari ini kamu ada waktu untuk datang kemari?" Sambil berkata, ia pun membawanya ke ruang rapat yang berada di sebelah.
"Hehe, kebetulan hari ini lewat sini, lalu aku kepikiran kamu, jadi aku pun datang kemari." Sojun pun mengikut Marena masuk ke dalam ruang rapat dan melihatnya dengan menggunakan tatapan yang lembut.
Memasuki ruang rapat yang dipartisi, mereka baru saja duduk dan seorang wanita dari resepsionis pun membawakan dua gelas air, sambil menaruh gelas diatas meja sambil tersenyum manis, "Silahkan minum, Bu Marena dan Tuan Lu." Lalu keluar dan menutup pintu ruang rapat.
”Melihat wanita resepsionis keluar, Sojun pun berkata dengan semangat dan lembut, "Marena, aku sangat rindu padamu. Kamu tidak membalas pesan dan panggilanku dan itu membuat hatiku terasa panik."
Raut wajahnya malu sekilas, Marena pun mengerutkan dahi dan berkata dengan cuek, "Ini adalah perusahaan. Lain kali, jangan datang kemari lagi. Ini sangat tidak cocok."
"Tapi harus bagaimana lagi, aku sangat rindu padamu," Sojun pun berkeluh, "Kamu tidak tahu, mimpiku di malam hari, semuanya adalah kamu."
"Kamu punya istri, aku punya suami. Tolong perhatikan status satu sama lain!" Marena yang memasang wajah dingin pun berkata dengan tenang, "Kita hanyalah teman dari satu sekolah menengah atas yang sama."
Mendengar ini, dalam hati Sojun terasa sangat kesal, untuk apa berpura-pura dalam kantor. Tetapi ia tetap menunjukkan ekspresi sedih, "Ayo Marena, nanti siang kita pergi makan bersama."
Setelah membujuknya beberapa kali, Marena pun setuju untuk pergi makan siang dengan Sojun. Kemudian ia masuk ke dalam kantor untuk mengambil tasnya. Setelah menyapa rekan kerjanya, ia pun pergi bersama Sojun.
Mendengar suara pintu, lalu melihat sekilas waktu di jam tangannya, sepertinya Direktur Brusto telah tiba. Irwandi pun berdiri dari kursinya sambil tersenyum. Melihat Direktur Brusto yang membuka pintu ruangan sambil tersenyum, ia pun maju dua langkah ke depan untuk menyambutnya. "Silahkan duduk, Pak Brusto."
Direktur Brusto pun terburu-buru jalan dua langkah, lalu mengulurkan tangannya di saat yang sama, "Pak Irwandi terlalu sungkan."
Mereka berdua pun saling bersalaman tangan dan berbincang ringan. Irwandi pun menyuruh Direktur Brusto untuk duduk, lalu ia menekan panggilan bel di atas meja, sambil tersenyum menyerahkan sebatang rokok dan berkata, "Pak Brusto, mau minum teh putih atau teh houkui?" Setahunya, Direktur Brusto suka meminum dua jenis teh ini.
Mendengar ini, Direktur Brusto pun merasa kagum. Irwandi adalah orang yang bertekad kuat. Senyuman di wajahnya pun semakin mendalam. Saat mengambil rokok, ia pun melihat sekilas teh putih yang berada di hadapan Irwandi sambil tersenyum berkata, "Kalau begitu teh putih saja."
Melihat pelayan yang mengetuk pintu masuk, ia pun menyuruh Direktur Brusto untuk memesan beberapa makanan. Ia sendiri juga menambah dua jenis lauk. Setelah meminta pendapat Direktur Brusto, aku pun memesan sebotol anggur merah, lalu berkata kepada pelayan sambil tersenyum, "Tolong disajikan sesegera mungkin, terima kasih."
Makanan pun disajikan dengan cepat, Irwandi membuka anggur merah dan berkata sambil tersenyum, "Direktur Brusto, sepertinya makan-makan kalau tidak minum alkohol, seperti kekurangan sesuatu. Jika minum, memang juga tidak begitu ingin. Jadi, siang ini kita akan meminumnya sesuai dengan keinginan masing-masing. Minumlah sesuka hatimu, bagaimana?"
"Haha, saranmu ini bagus," Direktur Brusto yang memasang wajah ceria pun berkata, "Kita akan seperti itu untuk siang ini."
“Hehe.” Irwandi sambil bercanda berkata, “Tetapi kamu tidak boleh bilang aku pelit.” Sambil bercanda, ia pun mengisi penuh gelas Direktur Brusto dengan anggur merah dan gelas dirinya sendiri. Ia berdiri sambil memegang gelas, “Terima kasih atas perhatian Pak Brusto selama ini. Aku juga tidak akan banyak cakap untuk hal lain." Sambil berkata, ia pun meminum habis anggur merah di gelasnya.
"Pak Irwandi, kamu terlalu sungkan." Direktur Brusto juga ikut berdiri dan menghabiskan anggur merah di gelasnya.
Sambil makan dan minum beberapa gelas anggur merah, mereka berdua pun semakin dekat setelah berbincang. Perbincangannya cukup akrab dan ramah. Tahun ini Direktur Brusto sudah berusia empat puluh tahun lebih dan Irwandi berusia tiga puluh tahun. Direktur Brusto dengan tidak sungkan menganggap dirinya sebagai kakak dan menyebut Irwandi sebagai adiknya.
Di keadaan seperti ini, suasana hati mereka berdua pun sangat baik. Awalnya berencana untuk minum dua gelas saja sesuai dengan keinginan masing-masing. Akhirnya merka pun menghabiskan satu botol anggur merah. Jika bukan karena nanti sore mereka harus lanjut bekerja, seharusnya mereka mungkin akan membuka botol baru lagi.
Menjelang akhir, Irwandi mencari sebuah alasan dan meninggalkan ruangan. Saat membayar di kasir, ia pun mengambil sebatang rokok dan satu kotak teh putih, lalu meminta kantong kepada resepsionis untuk menaruhnya. Ia pun berjalan kembali sambil mengambil kantong itu dan meletakkannya di atas meja.
Setelah selesai, ia pun menyerahkan kantong kepada Direktur Brusto. Kedua pihak menolaknya dengan sopan. Akhirnya Direktur Brusto pun gagal untuk menolaknya dan hanya bisa menerimanya. Ia pun pergi dengan bahagia setelah di antar Irwandi.
Setelah melihat Direktur Brusto pergi, Irwandi pun duduk di ruangan selama sepuluh menit. Baru saja tiba di kantor dan kepalanya terasa sedikit pening, ia pun mencari alasan untuk pulang ke rumah. Setelah membuat secangkir teh dan menyalakan rokok, ia pun duduk di sofa sambil merenung. Dari kata-kata Direktur Brusto tadi, ia samar-samar mengetahui bahwa Ketua Direktur Miguel sepertinya sangat mementingkan dirinya sendiri.
Hal ini membuat Irwandi mengerti keramahan dan kesopanan Direktur Brusto terhadapnya. Dari yang ia tahu, biasanya Direktur Brusto susah untuk diajak kerja sama. Namun Irwandi masih bingung, bagaimana mungkin Ketua Direktur Miguel begitu mengenal dirinya sendiri?
Direktur Brusto yang telah kembali ke kantor pun membuka kantong itu. Ia menemukan rokok dan teh putih di dalam dan mulai merasa kagum lagi. Ia tak sangka ada orang yang berkemampuan dan cerdas seperti Irwandi. Ia juga memperhatikan detail, sengaja menggunakan kantok plastik yang sederhana ini. Bagaimana mungkin orang sepertinya tidak ada peluang untuk dipromosikan dan tidak diapresiasi oleh Ketua Direktur! Karena apresiasi Ketua Direktur Miguel terhadap Irwandi, Direktur Brusto pun memandangnya beda. Pada siang hari yang sama, ia diam-diam memberi kode dan tampaknya Irwandi memahaminya.
Setelah keluar dari perusahaan, Marena tidak pergi dengan mobil Sojun. Ia bersikeras untuk mengendarai mobilnya sendiri. Setelah mengikuti mobilnya, tiba di tempat yang terpencil, ia pun memarkir mobilnya dan memasuki taman wisteria dengan dekorasi klasik.
Setelah masuk ke dalam, Marena baru menyadari bahwa ini adalah bar teh kasual. Dekorasi lebih dipentingkan. Sepertinya Sojun telah menghabiskan waktunya untuk menemukan tempat terpencil seperti ini. Ia mengikuti Sojun sambil tersenyum dan memasuki ruangan.
Novel Terkait
Hanya Kamu Hidupku
RenataMore Than Words
HannyLove And Pain, Me And Her
Judika DenadaCinta Tapi Diam-Diam
RossieCantik Terlihat Jelek
SherinDark Love
Angel VeronicaPenyucian Pernikahan
Glen ValoraDemanding Husband
MarshallIstri Pengkhianat×
- Bab 1 Siapa Laki Laki ini
- Bab 2 Memudarnya Cinta
- Bab 3 Kebohongan Istri
- Bab 4 Salah Kaprah
- Bab 5 Rumah Yang Rapi Dan Bersih
- Bab 6 Menghubungi Sahabat Istri
- Bab 7 Istri Tidak Mengangkat Telepon
- Bab 8 Marena Berada di Hainan
- Bab 9 Menguak Kebohongan Istri
- Bab 10 Makan Dan Memergoki Perselingkuhan
- Bab 11 Pernikahan Yang Terlihat Bahagia
- Bab 12 Cerita Oktavia
- Bab 13 Marena Pulang
- Bab 14 Melihat Durex Lagi
- Bab 15 Pertama Kalinya Suami Istri Bertengkar
- Bab 16 Kesalahan Dalam Berdalih
- Bab 17 Tidak Beruntung Menjadi Suaminya
- Bab 18 Memeriksa CCTV Komplek Perumahan
- Bab 19 Kebingungan Marena
- Bab 20 Teringat Padanya
- Bab 21 Dari Bangga Berubah Menjadi Kecewa
- Bab 22 Meminta Bantuan Sahabat
- Bab 23 Sahabat pun Memandang Rendah Dirinya
- Bab 24 Tidak Bisa Kembali Lagi Ke Masa Lalu
- Bab 25 Sojun yang Datang Mencari
- Bab 26 Ayah Mertua dan Ibu Mertua
- Bab 27 Yang terpenting adalah Kamu.
- Bab 28 Kembali ke dulunya.
- Bab 29 Ujian Pernikahan
- Bab 30 Mengintimidasi Sang Istri
- Bab 31 Memutuskan Mencari Detektif
- Bab 32 Bersedia Membantu
- Bab 33 Menutupi
- Bab 34 Mencari Perusahaan Detektif
- Bab 35 Negosiasi
- Bab 36 Balas Dendam Atau Cinta Yang Tidak Jelas
- Bab 37 Kesadisan Istri
- Bab 38 Sombong Yang Palsu
- Bab 39 Permintaan Dari Panggilan Tidak Dikenal
- Bab 40 Menceritakan Keseluruhan Cerita
- Bab 41 Donita yang Tidak Bisa Tahan Lagi
- Bab 42 Apakah Masih Mencintainya?
- Bab 43 Dendam Welly Dan Sojun Lu
- Bab 44 Masuk ke Dalam Jebakan
- Bab 45 Solusi Sojun Lu
- Bab 46 Istri yang Meninggalkan Rumah pada Tengah Malam
- Bab 47 Marena Berada Di Kamar Hotel
- Bab 48 Kembali Memberi Kesempatan
- Bab 49 Welly Ingin Memakan Masakan Yoyo
- Bab 50 Welly Memenangkan Yoyo
- Bab 51 Menghadapi Selingkuhan Istri
- Bab 52 Bersiap-Siap Pulang untuk menjelaskan
- Bab 53 Irwandi Memutuskan Balas Dendam
- Bab 54 Welly Melaporkan Ke Polisi Lagi
- Bab 55 Sojun Lu Ditangkap
- Bab 56 Cerai
- Bab 57 Rumah Kosong Dan Sunyi
- Bab 58 Oktavia Bercerai
- Bab 59 Penderitaan Marena
- Bab 60 Sendiri Orang Terakhir Yang Mengetahui Kebenaran
- Bab 61 Diinterogasi oleh Ayah dan Ibu Mertua
- Bab 62 Balas Dendam Yoyo
- Bsb 63 Irwandi Naik Jabatan
- Bab 64 Marena ingin rujuk kembali
- Bab 65 Marena Datang Ke Perusahaan Untuk Mencari Irwandi
- Bab 66 Penolakan Irwandi
- Bab 67 Menyadarkannya
- Bab 68 Percakapan Antara Irwandi dan Marena
- Bab 69 Undangan Makan dari Oktavia
- Bab 70 Ayo Kita Pulang (End)