Wanita Yang Terbaik - Bab 35 Pria Yang Baik?
"Maaf, aku tidak dapat menyetujuinya."
"Kenapa, apakah uang yang aku keluarkan tidak cukup, tidak masalah, hal seperti ini dapat didiskusikan."
Sambil dia berkata, dia pun mengeluarkan setumpuk uang dan menyerahkannya kepadaku.
Aku pun melihatnya, jumlahnya setidaknya ada beberapa ratus juta.
"Ini adalah uang muka yang aku berikan kepadamu, kamu pikirkan terlebih dahulu selama beberapa waktu, jangan terburu-buru memberikan jawaban untukku."
"Tidak perlu, aku benar-benar tidak memerlukannya, aku tidak pergi karena memiliki alasan untuk tidak pergi, akhir-akhir ini istriku sedang masuk rumah sakit, setiap hari harus tepat waktu pergi menjaganya."
Sambil aku berbicara, sambil mendorong kembali setumpuk uang itu ke hadapannya.
"Pria sepertimu yang begitu menjaga keluarganya sungguh tidaklah banyak." Buntoro pun ragu sejenak, seolah-olah seperti sedang memikirkan sesuatu, pada akhirnya dia pun menampilkan wajah yang seperti tidak masuk akal dan berkata.
Menjaga keluarga? Pria yang baik?
Setelah begitu lama sepertinya baru pertama kali mendengar ada orang yang begitu memuji aku, perempuan ini benar-benar perempuan yang spesial.
Selain Milka, dia adalah perempuan kedua yang begitu berkharisma yang pernah aku temui, kharisma semacam ini, bagaimana mengatakannya ya, cukup hingga membuat orang merasa tergerak hatinya.
Akan tetapi kami berdua adalah orang yang berasal dari dunia yang tidak sama, sama sekali tidak cocok.
Akan tetapi, saling berteman juga masihlah boleh.
"Biasa saja." aku pun menggaruk-garuk kepala bagian belakang aku dan berkata dengan canggung.
"Kalau begitu istrimu pasti sangatlah cantik?"
"Lumayan."
"Dia pastinya sangat baik hati bukan?"
"Hmm."
.....
Tidak tahu bagaimana, ada sebagian dari bagian wajahku yang terasa memanas, terdapat semacam perasaan pertama kali kencan buta dengan seorang wanita asing, jelas-jelas ingin memulai percakapan, namun merasa malu hingga tidak dapat berkata-kata.
Terus seperti itu hingga setelah pelayan datang mengantarkan daging barbeque, aku barulah mencari kesempatan untuk mengabaikannya dan menundukkan kepala untuk mulai makan.
Kemudian baru makan beberapa suap, lalu sambil memegang perut, aku mengatakan bahwa merasa tidak enak badan dan pergi ke toilet untuk muntah.
Lagi-lagi mengeluarkan darah, hanya saja, kali ini sudah benar-benar beradaptasi dengan rasa sakit fisik seperti ini.
Setelah keluar, di meja itu sudah tidak ada sosok siapa pun lagi.
Aku pun berjalan menuju kesana, yang ditemukan hanyalah sebuah memo kecil yang diletakkan di atas meja, di atasnya tertulis sebuah huruf yang rapi dan memikat mata : Buntoro, 137.......
Aku pun menggunakan ponsel untuk menyimpan nomornya, setelah tersenyum-senyum, sambil berpikir perempuan ini mungkinkah hatinya tergerak juga kepadaku?
Sangat tidak masuk akal dirinya yang merupakan seorang direktur besar, akan menyambutku dengan berbagai macam cara yang ada?
"Tidak, Hanif Bunto, janganlah kamu berpikiran terlalu banyak." Aku pun menggeleng-gelengkan kepala, kemudian melupakan pemikiran seperti ini, lalu melambaikan tangan untuk memanggil pelayan : "Pelayan, bill nya."
"Tuan, nona yang tadi sudah membayarkannya."
"Kalau begitu semua ini tolong dibungkus, aku akan membawanya."
"Baiklah..."
Setelah berkemas, dengan membawa daging barbeque yang telah dibungkus, aku pun mengendarai mobil menuju ke rumah sakit.
Namun siapakah yang mengetahuinya saat baru saja mendorong pintunya, aku pun melihat ayah, pada saat itu, dia sedang menyuapi Milka.
"Ayah."
Aku merasa agak terkejut, awalnya berencana untuk menyembunyikan permasalahan Milka yang masuk rumah sakit, akan tetapi jika dilihat pada saat ini, hal tersebut sangatlah tidak mungkin.
"Sudah datang."
Masihlah dengan nada bicaranya yang sangat familiar itu, yaitu sedikit dingin.
Akan tetapi bagiku, sebaliknya itu sangatlah akrab. Karena sedari dulu ayah memang tidak banyak berbicara, kali ini dia dapat menyapa saat aku datang. Itu telah membuktikan bahwa dia masihlah sangat memperhatikan aku.
"Hmm, aku membawakan beberapa daging barbeque, karena takut Milka kelaparan."
Sambil berbicara, kemudian aku membuka plastik pembungkusnya, kemudian memberikan daging barbeque yang baru dia makan beberapa suap menjadi dua bagian, satu bagian untuk diberikan kepada ayah, satu bagian lagi untuk diberikan kepada Milka.
"Makanlah, aku baru saja membelinya, aromanya sangatlah harum."
Setelah ayah ragu-ragu, dengan ekspresi yang seperti tidak rela, dia pun memberikan bagian daging barbeque yang ada di tangannya kepada Milka dan berkata : "Aku telah tua, tidak dapat mengunyahnya, berikan untuk menantu perempuan makan saja, selama tinggal di rumah sakit, sudah seharusnya makan lebih banyak."
Setelah selesai mengatakannya, dia pun meminum semangkuk bubur hambar yang ada di tangannya itu.
Pada saat itu, dalam sekejap aku sedikit menyalahkan diri sendiri, air mata tanpa sengaja, pun mengalir.
Telah begitu lama tidak pulang ke kampung halaman untuk melihatnya, ayah telah menjadi kurus, kerutan yang ada di wajahnya pun sudah semakin banyak. Pada usianya yang sekarang, juga sudah tidak mengizinkannya untuk begitu bersusah payah lagi.
"Ayah, kamu tidak makan, maka aku juga tidak makan." Milka pun sambil berbicara sambil meletakkkan daging barbeque bagiannya sendiri di samping.
"Kamu lihat, apa yang sedang kamu lakukan saat ini, lambung ayah sudah tidak terlalu baik, tidak dapat makan daging, sebaliknya kamu, harus banyak makan barulah dapat merawat tubuh dengan baik, orang muda, tubuhlah yang paling penting."
Ayah menggunakan sikap seriusnya yang jarang ditunjukkan itu, kemudian berkata tanpa henti.
Kemudian, dia menggabungkan dua bagian daging barbeque tadi menjadi satu dan memberikannya kepada Milka, dirinya sendiri bersihkeras ingin minum bubur.
Milka dengan tak berdaya menatapku, matanya memerah, seolah-olah sedang memberitahuku, jika tubuhnya dapat sedikit lebih bertenaga, juga tidak akan membuat ayahnya sendiri begitu lelah dan bersusah payah.
Namun di dalam hatiku juga tidak berpikir demikian?
Sejak setelah menikah dengan Milka, aku pun sangat jarang pulang ke kampung halaman, bahkan terhadap kehidupan kedua orang tua, tidak pernah menanyakannya, namun mereka, sudah selama bertahun-tahun ini, terus-menerus demi kami, bekerja dengan bersusah payah, sama sekali tidak pernah menikmati satu hari penuh dengan kebahagiaan.
Kehidupan kami hingga hari ini, masihlah begitu buram.
Akan tetapi di hadapan ayah, sama sekali tidak dapat menunjukkannya.
Karena aku tidak ingin melihat dia demi anaknya yang tidak berguna ini, bekerja hingga kelewatan batas.
......
"Ayah memintamu untuk makan, maka kamu makan saja."
Aku mengusap air mata yang ada diujung mata, setelah selesai mengatakannya kemudian berjalan menuju ke pintu luar, kemudian terus-menerus duduk di kursi yang ada di koridor, perasaan menyalahkan diri sendiri itu, lama-kelamaan tidak dapat kembali tenang.
Tiba-tiba, pintu pun berbunyi, ayah berjalan keluar dari dalam sana dan duduk disampingku, kemudian dia menepuk pundakku dan berkata : "Telah terjadi permasalahan apa, katakanlah kepada ayah."
"Ha?" Aku pun berpura-pura tidak tahu dan memandangi ayah.
"Ha apanya yang ha, sudah begitu dewasa, masih saja menangis, katakanlah, sebenarnya terjadi permasalahan apa, apakah lagi-lagi kekurangan uang?"
Aku tidak mengatakan apa pun, hanya dapat menundukkan kepala.
"Aishh."
Ayah pun menghela nafas, "Anak lelaki sendiri maka aku sendiri memahaminya, kali ini perlu berapa banyak?"
Setelah selesai mengatakannya, dia pun mengeluarkan uang.
Aku dengan terburu-buru melambaikan tangan dan berkata : "Bukan seperti itu, aku melihat ayah datang dan merasa terharu."
"Anak bodoh, masih saja sama seperti sewaktu kamu kecil."
Ayah pun mengelus kepalaku, "Jika ada permasalahan apa pun bicaralah kepadaku, jangan memaksakan diri untuk menahannya."
"Ayah telah bekerja selama bertahun-tahun, juga telah menabung beberapa ratus juta, jika kamu kekurangan uang, aku akan memberikan semuanya kepadamu."
Pada saat itu, aku sudah tidak dapat menahannya lagi, air mata pun mengalir.
Membuatnya semakin sama seperti anak kecil, bersandar di dalam pelukan ayah, menangis tanpa bersuara.
Sama sekali bukan karena terharu, namun karena khawatir, khawatir pada hari dimana dia pergi, ayah akan menyalahkanku, tidak berusaha keras melakukan tanggung jawabnya sebagai anak, begitu berkata ingin pergi maka langsung pergi.
"Apa yang baru saja aku katakan tadi, sudah begitu dewasa, mengapa masih sama seperti seorang anak kecil." Tangan ayah yang gemetaran, memegang pipiku, kemudian air mata aku, pun dengan segera di usap.
"Aku terlalu terharu."
........
Novel Terkait
The Revival of the King
ShintaMy Perfect Lady
AliciaPerjalanan Selingkuh
LindaDark Love
Angel VeronicaMr. Ceo's Woman
Rebecca WangMy Lady Boss
GeorgeWanita Yang Terbaik×
- Bab 1 Permintaan Bang Dog
- Bab 2 Muncul Musuh Cinta
- Bab 3 Ada Uang Pun Hebat?
- Bab 4 Pesan Singkat Bang Dog
- Bab 5 Menuju Rumah Bang Dog
- Bab 6 Obat Bereaksi
- Bab 7 Panas Sekali
- Bab 8 Sisi Lembut
- Bab 9 Curahan Anya
- Bab 10 Sudah Berpikir Untuk Berubah
- Bab 11 Kata-Kata Putra Bungsu
- Bab 12 Gadis Muda Yang Mengamuk
- Bab 13 Dipermalukan Saat Interview
- Bab 14 Berencana
- Bab 15 Istri Masuk Rumah Sakit
- Bab 16 Tamu Tak Diundang
- Bab 17 Malam Yang Penuh Tangisan
- Bab 18 Kami Yang Tak Bisa Dibatasi
- Bab 19 Menjadi Manusia Sampah
- Bab 20 Terimakasih Bang Dog
- Bab 21 Kepercayaan
- Bab 22 Mengantar
- Bab 23 Siapa Yang Mengatakan Aku Cemburu
- Bab 24 Jangan Bertindak Gegabah
- Bab 25 Telah Dikalahkan Oleh Kenyataan
- Bab 26 Jangan Tinggalkan Aku
- Bab 27 Memiliki Ambisi Yang Besar
- Bab 028 Bertemu Dengan Musuh Yang Tidak Ingin Ditemui
- Bab 29 Nama Yang Aneh
- Bab 30 Memegang Pisau Belati
- Bab 31 Berjanji Pada Kak Pras
- Bab 32 Benar-Benar Cantik
- Bab 33 Kekasih Baruku
- Bab 34 1,2 Miliar
- Bab 35 Pria Yang Baik?
- Bab 36 Ayah Telah Tua
- Bab 37 Indarto Gold
- Bab 38 Keramik Imitasi
- Bab 39 Menyetujui Penggabungan
- Bab 40 Milka berselingkuh?
- Bab 41 Loving You