Wanita Yang Terbaik - Bab 39 Menyetujui Penggabungan

Mendengar perkataanku, Indarto langung membelalak menatapku.

“Ternyata kamu si bocah ini memiliki tujuan lain!”

Indarto yang terkenal dengan watak baik, saat ini pun menjadi emosi.

Namun dalam pandanganku, Indarto hanya ingin menakut-nakutiku saja.

“Kalau tidak, menurutmu untuk apa aku bersusah payah datang mencarimu?”

Aku berkata dengan tanpa rasa takut kepadanya.

“Bagaimana jika aku tidak setuju?”

“Tidak setuju maka tidak setuju, tetapi bukankah tadi senior sudah setuju untuk berbisnis denganku di hadapan orang banyak? Sekarang kamu ingin ingkar janji, apakah tidak takut akan mencemari nama baikmu jika tersebar keluar?”

Selalu menyisakan jalan mundur untuk diri sendiri, tadi aku berbuat seperti itu, semuanya adalah untuk memasang jebakan untuknya.

Indarto adalah orang yang lembut dan elegan, juga adalah pengurus Daerah B. Jika perkataannya tidak ditepati, maka ke depannya, siapa yang bersedia bekerja untuknya?

Aku bisa memikirkan hal ini, begitu juga dengan Indarto.

“Dasar bocah, beraninya menjebakku, anggap aja aku sial hari ini. Baik, aku bisa menyetujuimu, tetapi kamu harus memberiku tiga alasan yang cocok.”

“Aku juga bukan sia-sia saja membanting tulang untuk sekian lama. Perihal penggabungan ini, bagaimanapun juga harus memberi penjelasan kepada para saudaraku bukan?”

“Jika kamu tidak bisa memberi alasan yang memuaskan, maka aku akan membunuhmu dengan tanpa ragu. Di sini, tidak ada masalah jika aku ingin membunuh seseorang, jangankan kamu adalah orang dari Bang Dog, kalaupun dewa yang datang, aku juga tidak akan setuju.”

Setelah Indarto berkata dengan wajah datar, dia menyuruh orang untuk menyimpan keramik itu. Dia duduk di atas kursinya sambil menikmati teh, sepertinya tidak menganggap masalah tadi dengan serius.

Namun, ini juga tidak heran, Indarto sudah berusia tinggi dan sudah begitu lama membanting tulang, badai apa lagi yang belum pernah dia temui.

Tetapi aku juga bukan pecundang, karena aku datang, pastilah memiliki persiapan.

Aku merenungkan sesaat, lalu berkata, “Pertama, aku lebih muda darimu. Sekarang adalah tahun 90-an, meskipun situasi saat ini sedikit bergejolak, tetapi menurutku, tidak lama lagi orang seperti kita mungkin akan kehilangan pekerjaan, mungkin akan masuk penjara, juga mungkin akan diburu oleh musuh. Demi menjamin keselamatan diri kita sendiri, maka harus mendapatkan lebih banyak uang, menghidupi lebih banyak saudara. Sementara itu, aku lebih pintar darimu, juga lebih banyak akal dalam berbisnis daripada kamu. Aku berani berkata, jika kamu mengikutiku, aku akan membawa perubahan kepada kehidupanmu ke depannya.”

“Kedua, aku lebih kejam darimu. Aku selalu menghajar orang sampai mati, apakah kamu tahu alasannya? Karena aku tidak peduli dengan nyawaku, karena setiap harinya aku menganggap diriku sebagai orang mati, tetapi aku tidak akan membunuh orang yang tidak bersalah. Jika bertemu dengan orang yang berbaik kepadaku, atau orang yang cocok dengan mataku, aku akan berbelas kasih. Jika tidak percaya, kamu bisa panggil orangmu kemari untuk mencobanya.”

“Ketiga, di tempatku tidak ada majikan dan budak, hanya ada saudara. Kamu bisa pergi ke Daerah A dan tanyakan kepada siapapun, sejak aku mengambil alih, aku tidak pernah memukul mereka. Setiap harinya aku selalu turun tangan sendiri, dan sepenanggungan dengan mereka. Bahkan Empat King Kong, aku menaklukkan mereka dan di saat bersamaan juga memberi sejumlah uang kepada mereka. Tepat karena begitu, barulah mereka bersedia bekerja untukku. Hal ini, kamu tanyakan Pampam saja.”

Berkata begitu banyak sekaligus, aku benar-benar kagum dengan diriku sendiri. Sejujurnya, sayang sekali aku tidak menjadi pengacara dengan kecakapan lidah seperti ini, tetapi tidaklah pasti apakah bisa berhasil membujuk Indarto.

Pada saat ini, Pampam juga ikut berkata, “Benar, paman, aku akui setelah bertemu dengan Bang Hanif, aku pun berpikir untuk mengkhianatimu, tetapi…. Intinya, dia adalah orang yang bisa dipercayai. Sebagai sesama orang muda, aku sangat mengaguminya.”

Indarto berpikir sejenak, dan berkata, “Meskipun ketiga alasanmu ini sedikit memaksa, tetapi kenyataannya juga seperti itu. Aku bisa setuju untuk bergabung sementara, tetapi syaratnya adalah kamu harus menyelesaikan proyek ini dengan lebih awal dan mendapatkan uang, baru bisa membuat para saudara tunduk kepadamu. Sementara siapa yang akan memimpin di antara kita berdua, aku tidak peduli. Kamu sudah membawakan koleksi yang membuatku puas, sedangkan yang lainnya, terserah padamu saja.”

Mendengar perkataan Indarto, seketika hatiku terasa lega.

Benar, Indarto memang berwatak baik seperti yang dirumorkan. Jika situasi seperti ini terjadi padaku, aku akan memilih untuk beraksi dengan tanpa ragu.

Apalagi jika ada orang yang mengelabuiku dengan koleksi palsu.

Sungguh patut untuk berhubungan dalam dengan Indarto.

“Tidak perlu kamu katakan, aku juga akan melakukannya. Dua bulan, paling lama dua bulan, jika lewat dari dua bulan, maka aku adalah pengikutmu. Ke depannya kamu berkata apa, jika aku berani berkata tidak, kamu bisa menyuruh orang untuk memotong lidahku.” Aku berkata dengan serius sambil menepuk dada.

“Baik, bernyali sekali, lakukanlah sesuai dengan perkataanmu.”

….

Setelah menandatangani persetujuan penggabungan dengan Indarto, aku pergi makan dan minum bir dengannya. Ketika kembali ke rumah sakit, hari sudah malam.

Baru saja membuka pintu bangsal, aku sudah tumbang ke dalam pelukan istriku, dan berkata tidak jernih, “Milka, aku mencintaimu.”

“Istriku, aku segera akan membiarkanmu menjalani kehidupan yang baik.”

“Istriku, aku sudah akan mati….”

Terhadap aku yang kehilangan kendali, istriku mendesah, dan berkata, “Jangan sebutkan kata mati, betapa sialnya itu. Mencari uang juga harus tahu batas, badanmu adalah yang paling penting, lihatlah kamu, minum bir lagi, huh!”

“Istriku, aku tidak bisa merelakan kamu….”

“Aku tahu, aku tahu.”

….

Tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur, tetapi dalam samar-samar, aku mendengar istriku sepertinya sedang berbicara dengan seorang pria, dan suara pria itu juga begitu familier.

Ketika aku bangun, sudah dini hari jam empat lebih.

Aku membuka mataku yang masih lelah, dan melihat putraku sedang merebah di pelukan istriku, mereka berdua sedang tidur nyenyak. Tidak ada orang keempat yang muncul.

Tetapi aku selalu merasa ada orang keempat yang pernah datang, dan aku ingat ketika aku datang, putraku belum tiba. Namun sekarang, putraku sedang berbaring di dalam pelukan istriku. Siapakah yang menjemput putraku?

Jangan-jangan adalah bos perusahaan Milka? Dulunya dia selalu menyetir mengantarkan istri dan putraku pulang, pastilah sangat familier dengan jalanan Sinarmas Park.

Benar, pasti dia.

Jancuk, beraninya keparat ini datang menganggu Milka lagi ketika aku tidak ada, sungguh minta dihajar!

Pada saat ini, aku benar-benar ingin membangunkan Milka untuk menanyakan apakah itu bosnya. Tetapi akal sehat memberitahuku, sebelum ada bukti mengenai masalah ini, tidak boleh bertindak gegabah.

Untuk itu, aku berusaha mengendalikan emosiku sendiri. Aku menyalakan sebatang rokok, dan keluar dengan berhati-hati.

Di dalam toilet, entah kenapa aku sambil merokok sambil membayangkan adegan istriku yang ditekan di bawah badan bosnya. Dalam hatiku terasa rusuh, juga terasa sangat bergairah.

Seolah-olah aku akan tiba di lokasi kejadian, hatiku pun terasa gatal.

“Tidak, bagaimana bisa aku berpikir seperti itu, dia adalah istriku.” Aku menggeleng kepala, berusaha mengontrol diri untuk jangan berpikir sembarangan. Setelah menghisap sebatang rokok, aku mencuci muka, lalu kembali ke bangsal.

Saat ini, istriku sudah bangun. Melihat ekspresiku yang tergesa-gesa, dia merasa khawatir, dan bertanya, “Kamu kenapa, hari ini bahkan bangun dengan begitu awal?”

“Tidak apa-apa, tadi aku pergi ke toilet.”

Sambil berkata, aku berjalan menghampirinya, dan duduk di samping tempat tidur. Sambil mengusap wajah putraku, aku tersenyum.

“Dia tidur dengan nyenyak sekali, pasti sudah lelah bermain di pagi hari.”

Aku berkata seperti itu, adalah ingin melihat reaksi istriku. Awalnya aku mengira dia akan menghindari pertanyaanku karena merasa bersalah, siapa tahu detik berikutnya, dia langsung berkata sambil tersenyum, “Hhmm, mestinya iya, bermain adalah sifat naluriah anak kecil.”

Novel Terkait

Mi Amor

Mi Amor

Takashi
CEO
4 tahun yang lalu
Hello! My 100 Days Wife

Hello! My 100 Days Wife

Gwen
Pernikahan
3 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
3 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
3 tahun yang lalu
Yama's Wife

Yama's Wife

Clark
Percintaan
3 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu