Cinta Yang Berpaling - Bab 32 : Kebohongan Putih

Aku tersenyum, "Kak, kamu berpakaian seperti ini masih khawatir dilihat orang lain."

Winda mendorongku, "Kalau begitu lihat saja mereka, jangan lihat aku."

“Tidak lihat, tidak lihat.” Aku membuang muka.

“Aaa.” Seorang rekan perempuan yang sedang berenang tiba-tiba berteriak, padahal seorang pimpinan ada di sampingnya.

Ketika aku hendak berenang, Winda dengan cepat meraihku, "Apa yang akan kamu lakukan?"

“Gadis itu tidak bisa berenang,” kataku cemas.

Winda berkata, "Ada pimpinan di sana, dia akan baik-baik saja."

Aku memandang Winda. Berkata dalam hati. Bagaimana bisa dia seperti ini. Dirinya sendiri mencari perlindungan, tapi dia malah mengorbankan rekan wanitanya sesuka hati.

Setelah beberapa saat, Winda menunjuk dan berkata, "Lihat, bapak itu membawanya ke pinggir kolam.”

“Kamu akan sengsara,” kataku.

“Mengapa aku akan sengsara?” Winda bertanya bingung.

Selesai berbicara, pimpinan yang tadi membawa rekan wanita yang tidak bisa berenang itu ke pinggir kolam mendatangi kami. Dia berkata kepada Winda, "Bu Winda, ayo berenang."

Winda melambaikan tangannya, "Pak Rio, saya tidak bisa berenang."

“Belajar dong, aku akan mengajarimu.” Pak Rio menyibakkan tangannya di air.

"Kalau begitu aku akan mencoba," kata Winda.

Pak Rio tidak memperhatikan apa pun, dia menarik tangan Winda ke tengah kolam.

Aku berkata, "Hai, bisakah kamu melepaskanku?"

“Kak, aku takut.” Dia hampir menangis.

“Tidak apa-apa, aku akan melindungimu.” Aku menepuk punggungnya. Berpelukan erat seperti ini sungguh akan jadi masalah.

"Kalau begitu jangan lepaskan, tunggu aku berdiri dulu," dia mengingatkan.

Aku mengangguk, tapi dia malah memeluk leherku lebih erat. Aku bisa merasakan nafasnya. Setelah membenamkan kakinya ke dalam air beberapa saat, dia berhenti, lalu perlahan melepaskannya.

Aku menarik nafas panjang saat Winda berenang mendekat , dia bertanya kepada rekan wanitanya, "Susi, kamu baik-baik saja?"

"Tidak apa-apa, Kak Winda." Susi berkata, "Untung ada dia tadi, kalau tidak entah apa jadinya aku."

Winda menggelengkan kepalanya dan berkata, "Hanya sedalam ini. Jika kamu benar-benar tidak bisa, naik ke atas saja."

“Oh.” Susi mengangguk, menurut.

Winda menatapku aneh lalu berenang pergi. Susi menggoyangkan lenganku, "Kak, antarkan aku, aku sangat takut."

“Ayo.” Aku menggandengnya dengan satu tangan, berjalan perlahan menuju pinggir kolam. Saat tiba di pintu masuk, dia baru bisa santai. Seorang pelayan datang membawa handuk mandi.

Setelah dia memakai handuk, dia berkata kepadaku, "Kak, kemari minum sesuatu."

"Tidak perlu." Aku melambaikan tanganku, "Aku akan berenang sebentar."

Aku terhuyung-huyung sendirian di air, merasa bosan, aku putuskan untuk berbaring telentang dan beristirahat sebentar di atas air.

Setelah beberapa saat, seorang pimpinan berenang mendekat, bertanya penasaran, “Hei kawan, bagaimana kamu melakukan ini?"

“Sudah bisa sejak kecil,” ujarku bangga.

"Ajari aku, itu kelihatannya menarik." Pimpinan itu berkata, "Begitu aku bisa, nanti aku akan dengan bangga dapat memamerkannya."

Aku menurunkan kaki lalu berdiri di dalam air, "Pak, dengarkan aba-aba saya. Ini sebenarnya sangat mudah."

Pimpinan itu mengangguk berulang kali. Aku menyuruhnya menahan napas, lalu menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam air, sambil mengangkatnya keluar dari air dengan tangan aku.

Aku memberinya aba-aba, "Pak, santai saja, bayangkan Anda sedang berbaring di tanah yang keras, bernafas perlahan, jangan bernapas cepat.”

Pimpinan itu setuju, mengapung di atas air, tidak berani bergerak. Setelah hampir satu menit, aku perlahan melepaskannya.

Dia belum menyadarinya, berkata senang, "Kawan, ini keren."

Saat aku juga akan mengambang, aku menoleh dan melihat seorang pimpinan yang mengajak Winda untuk berenang sedang menggoda Winda. Winda tidak bisa mengelak, terlihat akan tidak menyenangkan.

Aku berkata kepada seorang pimpinan yang sedang belajar mengambang bersamaku, "Pak, siapa bos di sini?"

"Aku," jawab pimpinan itu.

"Pak, saya ingin meminta tolong sesuatu," kataku memohon.

“Katakan saja.” Jawabnya.

Aku menunjuk ke arah Winda, pimpinan itu menoleh sekilas lalu “byur” tenggelam ke dalam air. Aku buru-buru menarik pimpinan itu ke atas, dia menyeka air dari wajahnya, lalu mengikuti arah pandanganku. Aku berkata, "Sebenarnya, Winda adalah pacar saya."

"Aku mengerti." dia memotong, lalu berteriak, "Pak Bram, Pak Bram, kemarilah."

Pak Bram buru-buru melepaskan Winda, berenang, bertanya hormat, "Pak Rio, ada apa?"

Pimpinan menunjuk ke arah Susi yang duduk di paviliun dan berkata, "Lihat dirimu, bagaimanapun kamu juga seorang atasan. Bagaimana bisa kamu tidak tahu menjaga bawahanmu yang sedang lemah itu? Dia tidak bisa berenang, kamu harusnya ajari dia. "

Pak Bram mematuhinya, lalu pergi. Pimpinan itu tersenyum padaku dan berkata dengan penuh semangat, "Kawan, ajari aku cara gaya punggung. Aku baru saja melihatmu mengapung di air, sangat bebas sepertinya, mengapa aku tenggelam sekalinya aku bergerak?"

"Bapak masih membutuhkan lebih banyak latihan," kataku.

“Kalau begitu aku akan terus berlatih.” dia menarik nafas lalu masuk ke dalam air.

Tidak ada yang menyela, Winda datang. Aku membantu pimpinan ini berlatih selama setengah jam, baru kemudian dia bisa berbaring di atas air dengan lancar.

Baru saja pimpinan ini bisa mempelajarinya, yang lainnya juga iri, datang untuk belajar. Aku sudah mengajari mereka semua, badanku juga sudah sangat lelah. Ketika aku naik ke pinggir kolam untuk beristirahat, aku berkata pada mereka, “Nanti jika anda semua turun lagi ke kolam, saya akan mengajari anda untuk mengapung di air, sambil merokok berenang kesana kemari."

"Itu keren." Pimpinan tersenior berkata dengan penuh minat, "Hari ini kami datang tidak sia-sia."

Sambil minum di paviliun, pimpinannya menunjuk ke arah Winda, berkata, "Bu Winda, pacarmu benar-benar baik. Tetapi, dengan hanya menjadi penjaga pantai, bukankah pekerjaan ini tidak terlalu punya prospek yang baik?”

“Pak Toni, dia.” Winda mencoba menjelaskan. Aku segera memberinya kode. Winda sangat cerdas. Dia segera mengubah kata-katanya dan berkata, "Dia sebenarnya mengajar di universitas. Hari ini dia datang untuk menjadi penyelamat, sekalian saja kusuruh dia bergabung.”

“Oh, ternyata dosen. Maafkan kami tidak sopan.” Pak Toni berdiri lalu menjabat tanganku.

Dia menunjuk aku dan Winda lalu berkata, "Kalian pasangan yang serasi."

Setelah istirahat, kami melanjutkan berenang. Ketika hendak pulang, Pak Toni meminta aku untuk makan malam Bersama. Menemani seorang pimpinan makan malam bukanlah hal yang menyenangkan. Meskipun dua pimpinan utama kantor Winda juga datang, pada akhirnya tetap “minum” terlalu banyak. Winda memanggil seorang sopir. Kami berdua duduk lemas di kursi belakang.

“Rey, kamu licik sekali” Winda bersandar padaku dan berkata mabuk dengan nada mengancam, “Siapa yang mau jadi pacarmu? Beraninya bicara sembarangan di depan pimpinan.”

"Itu tadi untuk melindungimu." Aku menjelaskan dengan lemah, "Jangan bahas ini saat nanti kembali. Jika Emilia tahu, nanti bisa jadi salah paham lagi."

Novel Terkait

The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
3 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu
Pergilah Suamiku

Pergilah Suamiku

Danis
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu