Cinta Yang Berpaling - Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
“Mengenai apa?” Aku mengulurkan tanganku, menahan pundaknya.
Emilia memanyunkan bibirnya, mengatakan, “Suamiku, maaf. Hari ini adalah hari penting bagi kita, seharusnya aku menikmati malam ini denganmu, tapi ternyata aku malah datang itu, kamu sabar dulu ya, setelah selesai, aku akan menyerahkan diriku sepenuhnya kepadamu.”
Kebersamaanku dengan Emilia sudah hampir 2 tahun, dan aku paham betul kapan dia datang bulan, kemudian aku bertanya curiga, “Seharusnya bukan di tanggal ini kan?”
Emilia langsung tersenyum sumringah kepadaku, “Ah, kamu, hal seperti ini saja masih ingat, bukankah beberapa hari lalu aku selalu lembur, jadi sedikit terlambat. Jika aku tau hari ini aku datang bulan, mungkin aku akan makan obat dan menundanya. Kamu tidak marah kan?”
Aku menggelengkan kepalaku, “Bagiamana lagi, bagaimana mungkin aku marah. Apa kamu lelah?”
“Tidak.” Emilia menggelengkan kepalanya.
Aku menguap, “Beberapa hari ini aku tidak tidur dengan baik, aku sangat lelah. Lebih baik kita tidur lebih awal.”
“Kalau begitu mandilah terlebih dahulu.” Emilia mendudukkan dirinya, “Aku sedang menunggu sinetron favoritku di televisi, endingnya akan tayang hari ini, aku akan menontonnya dan tidur setelah itu.”
“Aku sudah sangat ingin menontonnya, kamu tidur terlebih dahulu saja, setelah itu aku akan menemanimu nanti.”
“Baiklah.” Aku tidak ingin bertengkar lagi dengannya, jadi langsung saja membersihkan tubuhku di kamar mandi.
Aku selesai mandi, dan melihat Emilia sedang duduk di atas sofa dengan kedua tangan memeluk kakinya, sibuk menatap televisi di depannya. Aku berdecak pelan, setelah itu masuk ke dalam kamar.
Setelah berbaring cukup lama di atas ranjang, aku masih tidak kunjung tertidur, dan kembali memikirkan masa lalu. Aku menikah dengan Emilia sebenarnya karena perjanjian leluhur kita sebelumnya. Aku lahir di desa terpencil. Ayahku adalah sekretaris desa di desa kami, ayah mertua dipindahkan dari ketentaraan untuk bekerja di desa kami. Waktu itu dia menjalankan tugas, banjir bandang terjadi, ayahku menyelamatkan ayah mertua sampai kehilangan nyawanya. Setelah itu ayah mertua perlahan mulai naik jabatan, dan bekerja di Kota Minasa sampai pensiun. Ayah meninggal di waktu yang sangat cepat, dan aku memiliki seorang kakak laki laki dan dua kakak perempuan, keluarga kita sangatlah miskin, untung saja ayah mertua selalu teringat akan tindakan baik ayah, dan mencukupi kebutuhan kita. Setelah aku lulus pascasarjana, aku memutuskan untuk menjadi dosen di tempatku kuliah dulu, dan ayah mertua juga membantuku dalam hal ini. Tapi setelah melakukan banyak hal untukku, ayah mertua masih saja tidak merasa tenang, dia juga melihatku memiliki prospek ke depan yang menjanjikan, jadi dia memutuskan untuk menikahkanku dengan putrinya.
Tidak lama setelah aku masuk kuliah, aku bertemu dengan Emilia, aku memiliki ketertarikan kepadanya, tapi perbedaan status kita terlalu jauh, jadi aku tidak pernah mengungkapkan isi hatiku kepadanya. Dan akhirnya ayah mertualah yang membantu hubungan kita. Pada awalnya ibu mertua ingin agar aku menikah dengan Winda saja, tapi ayah mertua merasa jika usia Winda sedikit lebih jauh dibandingkan denganku, dan dia juga pernah bercerai, jadi tidak cocok untukku, dan dia bersikeras untuk menikahkanku dengan Emilia. Pada awalnya Emilia tidak menyetujuinya, tapi dibawah tekanan ayah mertua, akhirnya dia setuju untuk menjalin hubungan denganku. Selama bersama sekitar dua bulan, hubungan diantara kita juga terbilang cukup bagus, meskipun dia selalu menatapku dengan tatapan merendahkan, dan membuatku tidak nyaman, tapi aku menahannya karena aku menyukainya. Sebenarnya aku tau jika Emilia memiliki seorang mantan sebelumnya, mereka dipisahkan paksa oleh ayah mertua, laki laki itu sedikit serampangan, dan ayah mertua tidak terlalu menyukainya. Setelah kita bersama sekitar setengah tahun, mereka terkadang masih menjalin komunikasi, tapi setelah aku membujuknya, Emilia akhirnya bersedia untuk menghapus kontak laki laki itu. Kemudian ada kabar jika laki laki itu pergi ke Hongkong, dan hal itu membuatku merasa sedikit tenang, tapi ternyata Emilia malah menghilang sebelum hari pernikahan kami, perasaan tidak tenangku kembali muncul. Aku hanya bisa berharap dan memohon semoga kenyataan tidak seperti apa yang aku pikirkan.
Setelah berpikir cukup lama, rasa kantuk mulai datang. Aku melihat teleponku, dan ternyata sudah pukul sebelas lebih. Televisi di ruang depan terlihat masih menyala, aku mencoba mendengarkan, dan ternyata hanya suara iklan yang terdengar. Aku beranjak dari atas ranjang, membuka pintu, dan melihat jika Emilia sudah tertidur di atas sofa. Aku mematikan televisi, kemudian membopong Emilia menuju ke kamar, saat aku membuka bajunya, dia sedikit mendorongku, dan mulutnya menggerutu, “Hasel, jangan.”
Aku masih ingat samar samar jika mantan pacarnya itu bernama Hasel. Saat mendengar nama ini aku langsung tercengang. Apa jangan jangan kemarin malam dia bertemu dengannya? Aku menepuk wajah Emilia pelan, dan dia terbangun, saat melihatku, dia langsung menutup kerah pakaiannya dengan kedua tangannya. Tindakannya ini benar benar membuatku merasa tidak nyaman.
Dia tersenyum, kemudian menarikku untuk duduk, “Suamiku, apa kamu membopongku kemari?”
“Apa mungkin jika orang lain yang melakukannya?” Aku tersenyum tipis.
“Ah, kenapa kamu berkata seperti itu.” Emilia memalingkan kepalanya, kemudian mencium pipiku, “Suamiku, aku mengantuk, ayo kita tidur.”
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian berbaring di sisi ranjang. Emilia malah turun dari ranjang, dan keluar setelah meraih baju tidur. Saat kembali, aku melihatnya tidur dengan mengenakan pakaian lengan panjang, aku merasa aneh, kemudian bertanya, “Emil, sekarang sangat panas, kenapa kamu memakai pakaian sepanjang itu.”
Emilia menarik slimut untuk menutupi tubuhnya, “Apa yang kamu tau, aku kan datang bulan, aku butuh kehangatan.” Dia masuk ke dalam pelukanku, berkata mesra, “Suamiku, setelah beberapa hari, aku akan mengenakan baju tidur yang sangat seksi untukmu.”
“Tidurlah.” Aku hanya menjawabnya datar.
Setelah mematikan lampu, aku membuka mataku menatap langit langit kamar, hatiku benar benar sangat jengkel. Dalam pandangan orang lain, pernikahan kita sudah seperti asap di atas kuburan leluhur, asapnya terbang sangat tinggi, dan mereka menganggap aku sangat beruntung. Tapi aku tau jelas semua rasa sesak yang aku alami. Saat pemikiranku sudah jernih, dan berniat memutuskan pernikahan ini, semuanya sudah terlambat.
Sampai subuh, aku masih tidak kunjung tertidur. Menguap satu kali dan menguap lagi untuk kesekian kalinya. Emilia sudah tertidur sejak awal di dalam pelukanku. Sebelum pernikahan kita, aku dan Emilia belum pernah sekalipun tidur bersama. Dan akhrinya sekarang secara resmi bisa memilikinya, tapi aku bahkan tidak mampu untuk menyentuhnya sedikitpun.
Saat hari sudah terang aku baru tertidur. Saat Emilia terbangun, dia juga membangunkanku tanpa sengaja.
“Suamiku, apa kamu tidur nyenyak kemarin malam?” Senyum Emilia mengembang sangat lebar.
Tidak bisa tidur semalaman membuat mataku terasa sedikit sakit, aku menguap, mencoba menghindari pandangannya, kemudian mendudukkan diri, “Tentu saja, ayo bangun, ayah, ibu, dan kakak sebentar lagi akan datang.”
“Suamiku, kenapa kamu menghindariku. Apa kamu sudah membenciku di hari pertama pernikahan kita.” Emilia memanyunkan bibirnya berkata sedikit kesal.
Melihat sikap patuhnya, aku merasa ingin tertawa. Tapi dalam benakku kembali terlintas saat kemarin malam dia memanggil nama laki laki lain, hal itu membuatku kesal. Aku mencoba menahannya, kemudian bertanya, “Emil, aku hanya ingin memastikan. Kemarin malam, saat aku menggendongmu ke kamar, kamu memanggil nama Hasel. Siapa dia?”
Emilia seketika terlihat panik, dia terbata bata, kemudian menjawab dengan dibarengi senyuman di wajahnya, “Suamiku, apa yang kamu katakan, kapan aku menyebut nama itu. Kita bersama sudah dua tahun, apa kamu masih mencurigaiku?”
“Aku tidak mencurigaimu.” Melihat dia sedikit kelabakan, aku langsung saja menimpali, “Aku masih ingat jika mantanmu juga bernama Hasel.”
“Jangan bicara sembarangan, aku sudah melupakannya sejak lama.” Emilia kesal sampai menghentakkan kakinya.
“Syukurlah jika tidak, kita kan sudah menikah, aku berharap kita bisa menjalani hari hari yang damai.” Aku mengatakannya dengan serius, “Semua hanya masa lalu, bagaimanapun juga aku tidak akan mempermasalahkannya.”
“Rey.” Emilia berteriak kesal, “Apa maksudmu, rasanya seperti aku melakukan kesalahan saja. Jangan lupa, kemarin kita baru saja menikah, pengantin perempuanmu adalah kakakku. Apa kamu tidak merasa bersalah kepadaku, apa bedanya kamu seperti itu dengan selingkuh.”
“Jangan mencari masalah, kemarin bukankah semuanya sudah dijelaskan dengan jelas, semua ini adalah rencana ayah.” Aku mencoba membela diri.
“Jangan selalu saja membawa ayah dalam masalah kita.” Emilia kesal, “Jika bukan karena ayah, aku.”
Dia menghentikan perkataannya, aku sengaja bertanya, “Selesaikan perkataanmu.”
“Tidak apa.” Emilia menjawab, “Bagaimanapun juga kamu bersalah kepadaku. Selalu saja meminta bantuan orang lain, bahkan dalam masalah pengantin perempuan.”
“Sudah, aku tidak akan berdebat denganmu.” Aku menyibakkan selimut, dan mulai mengenakan pakaianku.
Emilia kembali menangis. Setelah mengenakan pakaianku, aku mencoba menenangkannya. Hal itu malah membuat tangisannya semakin menguat. Aku hanya mengatakan, “Sudah, kamu memanggil nama Hasel, aku membuat kakakmu menjadi pengganti pengantinmu, kita jangan bahas masalah ini lagi, kita jalani saja hari hari kita ke depan. Bagaimana, jika kamu setuju, sudah jangan menangis.”
Emilia memukulku dua kali, terisak, “Bagaimanapun juga kamu yang bersalah kepadaku.”
“Iya, aku yang salah.” Aku hanya bisa mengalah.
Emilia langsung menghentikan tangisannya, mendorongku, dan mengatakan, “Kamu keluar, aku akan berganti baju.”
Setelah dia mengatakan itu, bunyi bel pintu terdengar. Aku keluar dan membuka pintu, ternyata yang datang adalah ayah mertua, ibu mertua, dan juga Winda. Begitu masuk, mereka langsung bertanya apakah sarapan sudah disiapkan atau belum.
Winda mengatakan, “Ayah, kenapa ayah tidak peka sekali. Mereka berdua itu pengantin baru, dan kelihatan jelas jika mereka baru saja bangun, lebih baik aku dan ibu yang menyiapkannya, kalian istirahat dan tunggu saja.”
Setelah aku mandi dan membersihkan diri, Winda langsung menarikku ke balkon, dia bertanya kepadaku apakah kita bertengkar kemarin malam. Aku menjelaskan keadaannya dengan singkat kepadanya, karena aku juga mempercayainya.
Winda akan mengatakan sesuatu, tapi tiba tiba Emilia muncul di kaca depan balkon, dia menunjukkan wajah sedang mengamati kami. Aku langsung berdehem beberapa kali, dan Emilia baru menarik kembali pandangan tajamnya, Winda berkata kepadaku, “Kamu harus memperlakukan adikku dengan baik, jika tidak aku tidak akan mengampunimu.”
Setelah Winda masuk ke dalam, Emilia mendekat kepadaku, menatapku dalam dalam, “Apa yang kamu bicarakan dengan kakakku sampai bisik bisik seperti itu?”
“Kita tidak membicarakan apapun.” Aku menjawab datar.
Emilia kembali mengatakan, “Rey, jangan kamu pikir aku tidak melihat apapun!”
Aku tersenyum dalam hati.
Aku pergi ke ruang tamu, baru menghisap rokokku, ibu mertua menarik Emilia ke depanku dengan kesal, “Rey, apa kamu menyakiti Emil, lihatlah matanya memerah, pasti dia habis menangis.”
Aku menjawab di depan ayah mertuaku, “Itu karena masalah pernikahan kemarin, aku sudah menjelaskannya kepadanya, tapi dia masih saja tidak percaya dan menyangkut pautkan semuanya dengan kakak.”
“Emil, apa benar seperti itu?” Ibu mertua bertanya.
Emilia menggerutu, ayah mertua mengatakannya tanpa segan, “Emil, masalah kemarin, apa yang masih belum kamu pahami, tanyakan saja kepadaku. Kakakmu dan Rey tidak bersalah, semuanya ayah lah yang memutuskan.”
“Ayah, aku tidak keberatan.” Emilia kembali mengatakan, “Aku hanya masih tidak terima saja, masalah besar seperti itu, dan pernikahanku malah..... Sudahlah, jika aku sedih aku bisa menangis sebentar, ayo kita sarapan.”
Emilia tidak mengatakan apapun lagi, dia hanya menarik tangan ibu mertua untuk pergi.
Ayah mertua menatapku, mengatakan, “Rey, kamu sudah bersusah payah saat bersama dengan Emil, kamu itu laki laki, kamu harus lebih sabar lagi. Jika dia sudah benar benar keterlaluan, maka katakan saja kepadaku. Aku akan mengajarinya.”
Aku menjawab, “Ayah, jangan khawatir, kita baik baik saja. Aku sudah terbiasa dengan sifat Emil selama ini.”
Farhan menganggukkan kepalanya, dia mengeluarkan sebuah kartu bank kepadaku, “Ini hadiah pernikahanmu, di dalamnya ada 400 juta, ambillah.”
“Ayah, ayah simpan saja.” Aku menolak pemberiannya secara halus.
Ayah menyisipkannya ke tanganku, “Ambil saja, kita tidak kekurangan uang, banyak kebutuhan yang harus kalian siapkan ke depannya. Oh iya, jangan katakan kepada Emil jika aku memberimu ini, jika tidak maka dia akan mengambilnya.”
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian menyimpan kartu bank yang diberikan kepadaku ke dalam dompet.
Siang itu kita pergi keluar bersama satu keluarga, dan bahkan makan siang di luar. Sore harinya, ayah mertua akan menghadiri seminar, dan kita hanya bisa kembali ke rumah. Winda menyadari jika Emilia menatapnya penuh kekesalan, jadi dia hanya tinggal sejenak kemudian langsung kembali. Ibu mertua akan bermain mahjong bersama teman temannya. Emilia menonton televisi, dan aku tidak menyukai drama drama, jadi hanya berkutat dengan laptopku saja. Ada banyak rekan kerja yang menanyakan bagaimana kehidupan setelah pernikahan, dan setelah menjawab beberapa, mereka ingin mengajakku pergi makan malam bersama dan karaoke. Aku berpikir, aku juga tidak bisa menyentuh Emilia, jadi mengiyakan ajakan mereka.
Aku pergi untuk bertanya kepada Emilia apakah dia akan ikut atau tidak, dan dia mengatakan tidak ingin pergi dengan alasan ingin menemani orang tuanya di rumah.
Novel Terkait
Get Back To You
LexyMenunggumu Kembali
NovanDewa Perang Greget
Budi MaMenantu Bodoh yang Hebat
Brandon LiCinta Seorang CEO Arogan
MedellineHis Soft Side
RiseI'm Rich Man
HartantoCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video