Cinta Yang Berpaling - Bab 27 Dekat

“10 juta”. Aku mengulurkan dua telapak tangan.

Winda berkata: “Aku tidak memiliki uang cadangan, jadi berikan mereka 10 juta saja. Jika sungguh memberi 4-6 juta, nantinya Ibu pasti akan mencari masalah denganku. Jika memberikan 10 juta, itu akan lebih tidak merepotkan.”

Aku memikirkannya, lalu mengangguk: “Aku sudah mengerti.”

Pada saat ini, Emilia tiba-tiba berlari keluar, menutup mulutnya dan pergi ke toilet. Aku berjalan ke depan pintu toilet, melihat dia sedang muntah di wastafel, aku memberikan tisu kepadanya: “Apakah kamu baik-baik saja?”

Emilia menggelengkan kepala: “Tidak apa-apa, mungkin masuk angin.”

Kembali ke ruang tamu, Winda mengangkat kepala dan bertanya: “Kalian berdua sudah ada?”

“Ada apa?” Tanyaku dengan bingung.

Winda menunjuk ke perut Emilia. Emilia berkata dengan tidak senang: “Aku tidak hamil.”

“Apakah kamu sudah mens bulan ini?” Ibu mertua berjalan keluar dan bertanya, nada bicaranya sangatlah perhatian.

Emilia berkata: “Belum sampai waktunya.”

Aku menghitung waktunya diam-diam, lalu berkata: “Kamu seharusnya sudah mencapai waktunya, bukankah terakhir kali kamu mens pada hari pernikahan kita, tanggal 13, hari ini sudah tanggal 17, Emil, jangan-jangan kamu sungguh hamil?”

“Tidak hamil.” Emilia menolak mengakui: “Itu bisa terlambat, kamu seorang pria, apa yang kamu pahami.” Berbalik badan, dia menarik Ibu mertua pergi.

Winda berkata kepadaku: “Rey, istrimu pasti sudah hamil.”

Aku berkata dengan tidak yakin: “Tidak mungkin, kami selalu melakukan pencegahan.”

“Barang itu tidak bisa begitu diandalkan.” Winda menepuk pundakku: “Selamat, adik ipar, kamu akan menjadi Ayah.”

Aku masih merasa sedikit tidak mungkin: “Kak, bukankah kamu juga tidak hamil selama menikah 2 tahun? Tidak mungkin Emilia muntah dan berarti sudah hamil, kan?”

Winda berkata dengan tidak senang: “Untuk apa kamu mengungkit masalahku?”

Aku menutup mulut, aku sudah lupa dia sangat membenci mantan suaminya.

“Rey, ayo kita pulang.” Emilia terburu-buru berjalan keluar dari kamar, menghampiriku dan menarikku untuk pergi.

Ibu mertua mengikutinya keluar, lalu mengomel: “Emil, kamu sungguh harus pergi memeriksa, jika bayinya sudah dilahirkan, aku akan membantu kalian menjaganya, kalian tetap bisa melakukan apa yang kalian ingin.”

“Aku mengerti, kami akan pergi sendiri.” Begitu Emilia selesai bicara, dia ingin muntah lagi, berbalik dan berlari ke arah toilet.

Ibu mertua berkata dengan pasti: “Tidak perlu dikatakan lagi, pasti sudah hamil.” Lalu memesan kepadaku: “Rey, harus melahirkan anak ini. Selama kalian melahirkan anak ini, hutangmu padaku boleh diperlambat pembayarannya.”

Aku berjanji: “Baiklah, jika Emilia sungguh hamil, kami pasti akan melahirkan anak ini.”

Ibu mertua berkata dengan gembira: “Dasar kamu, ini pertama kalinya mengatakan sesuatu yang membuatku bahagia.”

Emilia berjalan keluar dari toilet, lalu menarikku pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Masuk ke dalam lift, aku menyampaikan perkataan Ibu mertua kepada Emilia. Emilia berkata dengan tidak senang: “Kamu jangan dengarkan omong kosongnya, aku mungkin sedikit tidak enak badan saja, aku tidak hamil.”

“Besok aku akan membawamu pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan.” Aku menganjurkan, dia hamil atau tidak, itu baru bisa dipastikan setelah pemeriksaan.

“Besok Caesar menikah, bagaimana bisa pergi.” Kata Emilia: “Kita bahas lagi nanti.”

Aku bertanya dengan menguji: “Jika sungguh hamil, bagaimana?”

“Gugurkan.” Emilia berkata dengan tegas: “Suamiku, keadaan kita sekarang sungguh tidak cocok memiliki anak.” Dia bersandar ke tubuhku, lalu berkata dengan manja: “Suamiku, sekarang aku hanya ingin melewati kehidupan dua orang denganmu. Kita masih muda, melahirkan anak bisa ditunda dulu.”

“Kita bahas lagi setelah pemeriksaan.” Harus memastikan terlebih dahulu apakah dia hamil, baru dapat membuat rencana selanjutnya.

Raut wajah Emilia tiba-tiba berubah: “Rey, kamu dan Winda masih lumayan dekat.”

“Mana ada?” Aku menyangkal.

Emilia menunjukku: “Kamu masih tidak mengakuinya, sekarang pergi ke rumah Ibu, kamu selalu bersamanya, dan masih duduk begitu dekat. Sebenarnya apakah kalian berdua memiliki hubungan?”

Aku menjelaskan dengan sabar: “Bukankah aku sedang berdiskusi uang itu dengan kakakmu, nantinya satu memberi lebih banyak, satunya memberi lebih sedikit, bagaimana.”

Emilia berkata dengan mengancam: “Nantinya jika membiarkanku menangkap kesalahan kalian berdua, lihat bagaimana aku membereskanmu.”

Aku mengangkat kedua tangan, menunjukkan pasrah.

Pada malam hari, Emilia ingin melakukan hal itu lagi, aku khawatir dia hamil, jadi mencari alasan untuk pergi ke ruang kerja. Keesokan paginya, aku dibangunkan telefon dari Ibu mertua, menyuruh kami cepat pergi ke hotel untuk membantu.

Setelah berjumpa di komunitas, kami bergegas ke hotel bersama. Ibu mertua mengatur tugas untuk kami, aku dan Winda akan mengemudi untuk menjemput pengantin wanita. Lilis bukanlah orang setempat, orangtuanya sudah meninggal, setelah dia datang ke kota, selalu tinggal di rumah Bibinya. Kami harus pergi menjemputnya di rumah Bibinya, mobil pengantin adalah mobil Lincoln yang disewa.

Setelah tiba di rumah Bibinya Lilis, aku tidak turun dari mobil, melihat mereka mengantar sepasang pengantin naik ke dalam mobil, kemudian kembali dengan tim yang menjemput pengantin.

Ketika Caesar menggelar upacara pernikahan, aku dan Emilia juga naik ke panggungg untuk mengucapkan beberapa perkataan selamat, lalu memberikan mereka amplop merah dan turun dari panggung.

Caesar mengundang begitu banyak teman untuk datang ke rumah, membuat kebisingan dan udara yang pengap. Selain Ibu mertua, kami bertiga tidak berekspresi baik, merasa tidak menyenangkan dan pulang ke rumah.

Emilia mengeluh: “Suamiku, makanan ini juga sudah terlalu mahal, sudah cukup untuk kita pergi makan mewah dua kali.”

Aku berkata sambil tersenyum: “Kamu masih merasa mahal, kita berdua masing-masing hanya 5 juta, kakakmu seorang 10 juta, selain itu dia sudah makan dua kali, kita hanya sekali saja.”

Emilia bangkit dari sofa, lalu mendorongku ke atas sofa, dengan sebuah kepalan tangan: “Rey, apa maksudmu, kamu selalu melindunginya, apakah kalian memiliki hubungan.”

“Tidak, sungguh tidak ada.” Aku meraih tangannya dan menjelaskan.

“Kamu ada, kamu ada.” Emilia terus mencari masalah.

Setelah mencari masalah beberapa saat, telefon berdering, aku mengambil dan melihatnya, itu adalah telefon dari Winda. Emilia melihatnya dan tidak membiarkanku menjawab telefon. Setelah menutup telefon, Winda menelefon Emilia lagi. Menutup telefon, Emilia memberitahuku, Ibu mertua menyuruh kami kesana, tampaknya tidak senang, seharusnya Caesar memberitahu hal tentang kita hanya memberikan 10 juta.

Emilia tidak tega dengan uangnya, segera menyuruhku keluar, dia akan pulang untuk menanganinya.

Aku tiba ditempat parkir, menyingkirkan barang-barang perayaan dari mobil terlebih dahulu, lalu mengemudi mobil ke sekitar jalan dan tidak tahu harus pergi kemana. Tidak mungkin pergi ke rumah Cherry Onsu, bukan? Setelah memikirkannya, aku pergi minum kopi sendirian, setelah menunggu Emilia mengirim kabar kemenangan baru pulang ke rumah.

Karena masih ada beberapa tamu yang belum pergi, pada malam hari masih harus pergi makan di hotel. Aku pergi ke rumah Ibu mertua. Setelah memasuki pintu, menyadari sikap Ibu mertua sudah berubah, tidak menyuruhku melakukan sesuatu, dan masih menuangkan air untukku. Membuatku merasa sangatlah kebingungan.

Aku memanggil Emilia ke balkon, lalu bertanya alasannya. Emilia menunjuk ke dalam ruangan: “Untungnya ada Winda. Dia mengatakan kepada Ibu bahwa hanya memberi 10 juta pada saat pernikahan kita, dan Caesar juga belum kembali. Jika memberikan mereka 20 juta, sudah terlalu bersalah kepada kita. Dia meminta Ibu harus bersikap adil, dan aku bersikap sedih disamping, jadi Ibu tidak bisa berkata apa-apa.”

Aku mengangguk: “Lalu, mengapa kakak tidak mengatakan ini sebelumnya?”

Emilia berkata: “Aku juga tidak tahu, mungkin Ibu suka mengomelinya, jadi dia sengaja membuat mereka kesal.”

Aku berkata: “Nanti kita harus mentraktir kakak makan, dia selalu membantu kita.”

Emilia menatapku dengan aneh: “Kalau begitu, apakah perlu aku menghindar, kalian berdua pergi sendiri?”

“Jangan nakal.” Aku menekan batang hidung Emilia.

“Huh.” Emilia berbalik badan dan masuk ke dalam ruangan.

Keesokan paginya, Ibu mertua datang ke rumah, ingin menemani Emilia ke rumah sakit untuk pemeriksaan.

“Ibu, kita bisa melakukan hal ini sendiri.” Emilia menolak.

Ibu mertua berkata dengan tidak senang: “Apakah aku akan tenang jika kalian pergi sendiri? Bagaimana jika kalian berbohong? Emil, selama memastikan kamu sudah hamil, kamu cuti dengan sekolah, lalu tinggal di rumah, aku akan menjagamu dengan Lilis.”

Aku juga ingin memastikan apakah Emilia hamil atau tidak, jadi berkata: “Emil, hari ini ada dokter yang bertugas di hari minggu, ayo kita pergi periksa.”

Ibu mertua mengacungkan jempol kepadaku, Emilia melototiku sekilas. Lalu mengambil tas dan berkata: “Bicarakan nanti saja, kami masih ada ujian di hari jumat, hari ini harus pergi ke sekolah untuk mengoreksi kertas ulangan, aku pergi dulu.”

“Aku akan mengantarmu.” Kataku.

“Tidak perlu, aku bisa naik taksi sendiri.” Emilia melambaikan tangannya, lalu menutup pintu.

Situasi ini, membuat Ibu mertua tidak senang. Dia berjalan ke hadapanku, lalu menunjukku dan menegur: “Rey, bukan Ibu ingin mengataimu, bagaimana kamu menjadi seorang suami, bahkan tidak bisa mengatur istri sendiri.”

“Ibu, aku pasti akan membawanya memeriksa dalam beberapa hari ini.” Aku berkata dengan menjamin. Tetapi didalam hatiku berpikir, apakah aku berani mengatur Emilia, jika aku sungguh sedikit lebih keras kepada Emilia, wanita tua ini pasti akan mengupas kulitku.

Ibu mertua berkata dengan tidak tenang: “Kalian pergi memeriksa, harus membawaku pergi juga.”

“Baik.” Aku mengangguk, menyetujui.

Ibu mertua berpikir sejenak lalu memesan: “Rey, masalah anak kamu harus berdiri teguh. Jika kamu berani bekerja sama dengan Emilia untuk tidak menginginkan anak ini, maka mulai bulan ini, kamu harus membayarku 20 juta setiap bulan.”

“Aku mengerti, aku mengerti.”

“Baik kalau begitu, aku pulang dulu.” Ibu mertua berkata lalu pergi.

Setelah Ibu mertua pergi, aku menelefon Emilia, dan bertanya dimana dia.

Emilia berkata dengan tidak sabar: “Bukankah aku sudah memberitahumu? Aku pergi ke sekolah untuk mengoreksi kertas ujian, masih mengira aku berbohong padamu.”

Aku berkata: “Lalu, kapan kita pergi memeriksa? Ibu sudah mengatakan, jika kamu sungguh hamil, dan tidak menginginkan anak ini, dia akan memaksa kita untuk melunasi hutang, 20 juta setiap bulan.”

“Perkataannya ini untuk menakutimu saja.” Emilia berkata dengan acuh tak acuh: “Aku sudah tiba, kita bicarakan lagi setelah aku pulang.”

Menutup telefon, aku bersandar di kursi, memikirkan tindakan Emilia menjadi sedikit kesal. Perkataan Ibu mertua tentu saja untuk menakutiku, waktu itu dia sudah mengatakan dengan jelas, aku yang menghilangkan uang ini, dia hanya akan memintanya padaku. Gaji Emilia juga hanya cukup untuk pengeluarannya sendiri, selain itu, dia selalu merasa Ibu mertua hanya mengatakannya. Tetapi aku sangat jelas, Ibu mertua mungkin sungguh hanya mengatakannya dengannya, tetapi tidak denganku, aku hanyalah seorang menantu, tidak memiliki hubungan darah, Ibu mertua tidak akan begitu toleransi.

Aku duduk di sofa dan merokok, kemudian menerima telefon dari Wakil dekan Sito, dia memberiku sebuah tugas, menyuruhku menulis makalah tentang zaman Tiongkok Kuno, makalah ini harus memiliki gagasan baru, sebaiknya bisa membangkitkan diskusi.

Setelah selesai menjelaskan tugas itu, Wakil dekan Sito berkata: “Pemilihan professor asosiasi adalah memiliki pengalaman mengajar di sekolah kami selama 5 tahun, kamu sekarang telah bekerja di sekolah selama 3 tahun, jika kamu bisa dalam waktu 2 tahun yang tersisa, menerbitkan dua artikel di jurnal inti nasional, menerbitkan tiga artikel di jurnal profesional tingkat provinsi, nantinya aku bisa memperjuangkanmu sebagai professor asosiasi.”

“Terima kasih, pak.” Aku berkata dengan sedikit bersemangat: “Bisakah menjamin diterbitkan? Aku dengar publikasi profesional yang menerbitkan makalah, itu sangatlah mahal.”

“Kamu jangan khawatir tentang ini” Wakil dekan Sito berkata: “Relasiku di luar cukup luas, sama sekali tidak ada masalah untuk menerbitkan beberapa makalah, tetapi kamu harus menjamin kualitasnya. Aku juga percaya kamu memiliki kemampuan ini. Oh iya, makalah yang ini, kamu harus selesai mengerjakannya dalam waktu seminggu.”

“Baik, semua ikuti perkataan bapak.” Aku berkata dengan terima kasih.

Menutup telefon, aku berlari ke ruang kerja dan menyalakan komputer, lalu mengambil buku periode pra-Qin dari rak buku dan mulai mempersiapkannya.

Aku selalu sangat serius melakukan hal yang kusukai, jadi dalam beberapa hari kedepannya, aku mencurahkan semua energi untuk menulis makalah. Kamis malam akhirnya selesai mengerjakannya, keesokan harinya, aku membawa cetakan makalah pergi bertemu Wakil dekan Sito.

Setelah membacanya sekilas, Wakil dekan Sito mengangguk puas, berkata: “Rey, makalah ini sudah sangat menarik hanya dengan topiknya saja, nanti aku akan membacanya lebih detail, jika tidak ada masalah, aku akan merevisi sedikit, lalu mengirimkannya untuk diterbitkan.”

“Terima kasih, pak.” Aku bangkit dan membungkuk lagi.

Wakil dekan Sito melambaikan tangan kepadaku: “Kemarilah.”

Aku masih belum berjalan sampai meja kantor didepan, Wakil dekan Sito mengeluarkan sebuah amplop dari laci, kemudian menepuknya diatas meja: “Rey, kamu ambilah ini.”

“Apakah ini uang?” Tanyaku dengan ragu.

Wakil dekan Sito mengangguk: “10 juta, anggaplah sebagai biaya menulismu. Nantinya ketika makalah diterbitkan, aku akan memberimu sedikit komisi lagi.”

Aku menolak, berkata: “Pak, aku tidak boleh mengambilnya. Sekarang menerbitkan makalah, setidaknya harus beridentitas seperti Anda baru bisa mendapatkan biaya menulis, jika bukan karena memiliki hubungan dengan Anda, meskipun aku membayar, juga takutnya tidak bisa diterbitkan.”

Senyuman diwajah Wakil dekan Sito menghilang, dia berkata dengan serius: “Memberikan padamu maka kamu ambillah, untuk apa masih sungkan.”

Aku hanya bisa menerima uang itu, lalu membungkuk untuk berterima kasih.

Setiap kali menjumpai pimpinan sekolah, ponselku akan diatur suara hening, berjalan keluar dari kantor Wakil dekan Sito, ketika aku mengeluarkan ponsel dan mengaturnya bersuara, menyadari ada dua panggilan telefon tidak terjawab. Membukanya dan melihat, satu adalah panggilan telefon dari Emilia, satunya lagi adalah Cherry Onsu. Aku menelefon Emilia terlebih dahulu, tetapi tidak ada yang mengangkatnya. Kemudian menelefon Cherry Onsu.

Telefon tersambung, aku berkata: “Cherry, ada apa kamu mencariku?”

Cherry Onsu berkata: “Rey, Emilia menelefonku, menyuruhku malam ini pergi makan ke rumahmu, menurutmu apakah aku harus pergi?”

“Dia menyuruhmu makan di rumah?” Aku sedikit tidak memahami hal ini.

“Kalau tidak, aku tidak usah pergi saja.” Kata Cherry Onsu.

Novel Terkait

Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
3 tahun yang lalu
Now Until Eternity

Now Until Eternity

Kiki
Percintaan
5 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
4 tahun yang lalu