Cinta Yang Berpaling - Bab 5 Keluarga
Ibu mertua datang membantu untuk menyiapkan makan siang, sorenya langsung pergi bermain mahjong. Sedangkan Emilia baru kembali sekitar pukul tiga lebih.
Saat dia masuk ke dalam, ayah mertua langsung mengatakan, “Emil, kakak kakakmu datang kemari untuk melihatmu.”
Emilia mengiyakan pelan, dia masuk ke dalam kamar untuk meletakkan tas, kemudian baru keluar lagi dan menyapa mereka, “Kalian sudah datang.”
Dia hanya mengatakan beberapa patah kata itu saja, tanpa berbincang lebih jauh lagi, dia langsung pergi begitu saja. Aku pergi ke balkon bersamanya, dan melihatnya sedang bertelepon, aku menunggunya sekitar sepuluh menit, tapi panggilan telepon masih tidak kunjung berakhir. Akhirnya aku hanya bisa kembali ke ruang tamu. Emilia selalu saja merendahkan keluargaku, aku tau jelas akan hal ini. Sebenarnya dulu dia juga merendahkanku. Tapi kemudian gelar yang aku miliki lah yang membuatnya merubah sikapnya terhadapku.
Setelah cukup lama, Emilia akhirnya keluar dari balkon, kemudian mengatakan, “Bagaimana ini, temanku berulang tahun, dan aku harus membeli hadiah, tapi sekarang aku tidak bisa pergi.”
Meskipun keluargaku orang kampung, dan jarang pergi ke kota, tapi mereka tidaklah bodoh, kak Dimas tau jelas apa maksud dari perkataannya itu. Aku bertanya balik, “Emil, pergi saja, kita bisa menjaga diri kami sendiri.”
Emilia tersenyum puas, “Kalian tidak terburu buru untuk pulang kan?”
“Pertanian di rumah cukup sibuk, mungkin besok kita akan kembali, kita datang kemari untuk bertemu kalian dan paman Farhan, dan bibi Anna.” Kakakku menjelaskan.
“Kenapa buru buru sekali, tinggalllah dua hari disini.” Emilia mencoba membujuk, “Hari ini aku tidak bisa menemani kalian, besok aku akan membawa kalian pergi makan makanan yang enak.”
“Emil.” Ayah mertua memanggilnya dengan nada serius.
Emilia menatapku meminta pertolongan, jika tidak mengijinkannya keluar, maka dia akan kesal, jadi aku berkata kepada ayah mertua, “Ayah, biarkan saja dia pergi, mereka perempuan selalu saja mementingkan ulang tahun.”
Ayah mertua tidak menjawab apapun, Emilia menarikku masuk ke kamar, dan memelukku, dia bahkan menciumku sebagai ucapan terimakasih, “Suamiku, kamu baik sekali. Aku akan kembali lebih awal.”
Saat malam, ayah memanggil kami semua untuk makan malam di rumah, setelah bercerai, Winda selalu tinggal di rumah orang tuanya, sikap yang dia tunjukkan kepada keluargaku berbanding terbalik dengan sikap Emilia, meskipun dia sedikit lebih tua dibandingkan kakak keduaku, tapi dia bahkan memanggilnya kakak. Dia bahkan begitu senang akan produk produk kampung yang dibawa oleh keluargaku.
Terkadang aku bahkan berpikir, sangat baik jika Emilia bisa seperti Winda. Waktu itu pernikahannya berakhir karena suaminya menghianatinya.
Setelah aku dan keluargaku kembali ke rumah, kak Ririn menggerutu, “Sama sama dibesarkan oleh orang tua yang sama, kenapa perbedaan diantara mereka sangat besar, Rey, kenapa waktu itu kamu tidak memilih Winda saja.”
Kakak pertamaku, kak Reni orang yang baik, tapi pada saat ini dia juga mengatakan, “Jika bukan karena kamu yang sangat sabar dan pengertian dan bersedia tinggal di tempat ini, aku juga tidak perlu meladeni menantu tidak tau diri sepertinya. Jika kamu mendengarkanku untuk kembali ke desa setelah lulus kuliah, kamu pasti sudah menjadi pegawai negeri sekarang. Kamu juga bisa dengan mudah memilih gadis gadis disana yang kamu suka.”
“Kak Reni, jangan berkata seperti itu.” Kak Dimas mencoba menenangkan mereka, “Mereka sudah menikah, tidak baik berkata seperti itu. Dan kamu Ririn, kamu juga tidak boleh mengatakan hal seperti itu, Rey memilih Winda yang lebih tua darinya, dia juga pernah bercerai, jika Rey menikahinya, maka akan menjadi bahan omongan orang orang. Emil hanya dimanjakan sejak kecil, siapa tau dia bisa berubah setelah besar nanti.”
Aku tidak ingin meributkan hal seprti ini, jadi aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan menanyakan keadaan di desa. Masalah ini lebih baik tidak usah dibicarakan saja sebenarnya, semakin dibahas hanya akan membuat kepala terasa berat. Keadaan keluarga di desa sangatlah miskin. Bisa dikatakan, yang berhasil keluar dari lubang kemiskinan hanyalah aku seroang.
Saat mendengar mereka mengatakan semua itu, aku langsung mengatakan, “Sekarang tempat ini sejalan dengan daerah pedesaan kita, mereka bahkan memanggilku pria phoenix, selain kemampuan dan ijasah, aku tidak memiliki apapun. Jika gadis kota mencari pria phoenix sepertiku, maka sama saja mereka mencari kesusahan dalam hidup mereka.”
“Bukankah Emil itu guru sekolah dasar, sangat jauh jika dibandingkan denganmu.” Kak Ririn mengatakan.
Aku hanya tersenyum, di mata Emil kelebihanku memang hanyalah itu.
“Rey, paman Farhan sangat melindungimu.” Kak Reni mengatakan, “Tapi bibi Anna kelihatannya sangat tidak menyukaimu, kamu harus menunjukkan sikap yang baik, jangan sampai membuat mereka salah menilaimu. Jika kamu bisa berhasil di kota, maka kita juga akan merasa bangga di kampung.”
Aku menganggukkan kepalaku. Kak Dimas melengkapi, “Apa sertifikat rumah ini sudah atas namamu?”
“Tentu saja, tertulis namaku dan nama Emil di sertifikat.” Aku menjawab.
Mereka bertiga saling bersitatap, menunjukkan tatapan lega kepada yang lainnya.
Aku menemani keluargaku berbincang sekitar satu jam lebih, setelah itu aku membawa mereka untuk mandi dan segera istirahat. Rumah ini memiliki tiga kamar, satu kamar utama, satu kamar tamu, dan satu lagi ruang baca, kedua kakak perempuanku tidur di kamar tamu, sedangkan kak Dimas terpaksa harus tidur di sofa ruang tamu.
Emilia baru kembali sekitar pukul dua belas malam, saat dia kembali langsung membuka pintu kamar mencariku.
Aku tau karena kakak kakakku tidur di rumah, hatinya menjadi tidak senang. Aku berpura pura tidak tau apa apa, dan hanya memintanya untuk mandi dan istirahat.
Saat Emilia sampai di atas ranjang, dan aku dalam posisi hampir tertidur, dia langsung membangunkanku dan berkata kesal, “Rey, kenapa kamu tidak meminta mereka tidur di hotel.”
Aku menjawab, “Dulu karena aku tidak memiliki rumah, jadi meminta mereka untuk tinggal diluar, sekarang kita sudah memiliki rumah, apa masih perlu meminta mereka menginap diluar?”
“Ini rumah baru kita.” Emilia menjadi semakin kesal.
Aku menunjuk ke arah luar, “Kalau begitu sekarang kamu bawa mereka menginap di hotel.”
Emilia langsung menjawab, “Aku hanya merasa sedikit tidak nyaman saja.”
“Apanya yang tidak nyaman. Mereka lusa juga akan kembali, kamu jangan mencari masalah.”
“Mereka akan kembali lusa.” Emilia terlihat kegirangan, dia berbaring disampingku, dan meraih lenganku, kepalanya dia jatuhkan di pundakku, “Suamiku, sebenarnya aku memiliki kejutan untukmu.”
“Apa?” Aku bertanya penasaran.
Emilia menjawab, “Bukankah besok kamu ada kelas, aku sudah meminta izin, dan bisa membawa mereka pergi keluar. Jangan mengatakan jika aku tidak memperlakukan keluargamu dengan baik lagi.”
“Pengertian sekali kamu kali ini.” Emilia mengatakan hal itu membuat hatiku sedikit tenang.
Keesokan harinya, aku sudah pergi sejak pagi. Setelah selesai kelas, aku menelpon Emilia, dan mengetahui jika dia membawa keluargaku jalan jalan keluar, dan aku langsung menysul kesana. Setelah itu kita pergi ke arena bermain bersama, Emilia sudah seperti anak kecil saja, dia terlihat begitu bahagia. Semakin menantang malah membuatnya semakin senang, dia menaiki Roller Coaster dan komidi putar beberapa kali. Ini masih belum apa apa, dia bahkan pergi ke rumah hantu. Setiap kali dia selalu menarikku bersamanya, dia ketakutan hingga berteriak teriak, padahal setiap kali dia hanya bersembunyi dibelakangku, sebenarnya aku juga takut. Jika sudah selesai, dia selalu saja mengejekku. Membawa keluargaku menaiki wahana, dan akhirnya malah langsung masuk ke dalam rumah hantu. Saat kedua kakak perempuanku menolak, dia malah mengatakan jika rumah hantu sama sekali tidak menakutkan dan malah sangat menyenangkan. Melihat kedua kakak perempuanku yang masih ketakutan, dia malah sudah membeli lima lembar tiket masuk begitu saja tanpa permisi, jadi mereka hanya bisa mengikutinya saja, mereka lebih takut membuang buang uang dibandingkan dengan hantu di dalam rumah hantu itu sendiri.
Setelah keluar dari rumah hantu, aku melihat jika wajah kedua kakak perempuanku sudah memucat karena ketakutan, dan kak Dimas juga terlihat sedikit pias. Tapi ekspresi Emilia malah terlihat biasa saja.
Aku bertanya penasaran, “Kenapa kamu tidak ketakutan?”
Emilia langsung menjawab, “Apanya yang menakutkan, aku malah merasa jika itu menyenangkan.”
Aku akhirnya menyadari jika dia menarikku masuk ke dalam rumah hantu adalah karena sengaja ingin menakuti kakak kakakku.
Kita makan malam diluar, setelah itu kita pergi menonton film, semua menggunakan uang Emilia. Dia seroyal itu bukan karena dia menyukai keluargaku, dia hanya ingin pamer saja di depan orang kampung jika dia adalah orang kota yang kaya, walaupun sesungguhnya dia juga tidak memiliki begitu banyak uang.
Setelah kembali ke rumah, kakak kakakku mengatakan jika mereka akan kembali esok hari, Emilia mengatakan, “Kalau begitu aku akan mengantar kalian besok, aku mengajar jam sebelas.”
Mereka semua menolak secara halus, dan mengatakan mereka bisa kembali sendiri, dan sudah merepotkannya sepanjang waktu.
Setelah Emilia pergi mandi, kak Dimas memanggilku, dan memberitahuku akan sesuatu, mengatakan kesulitan yang mereka alami di rumah, kedua kakak perempuanku juga tidaklah mudah. Setiap kali mereka datang mereka akan melakukan hal ini, dan aku tau jelas maksud dari ucapan kakaku, tapi di dalam dompetku hanya ada beberapa lembar uang saja, jadi aku meminta kakak untuk pulang nanti setelah aku kembali.
“Jangan mengkhawatirkan kita, kita bisa menangani urusan keluarga kita sendiri.” Kak Dimas menepuk pundakku dan mencoba menenangkanku.
Aku menganggukkan kepala. Aku tau jelas akan hal ini, hanya saja aku tidak boleh mengatakannya.
Setelah berbaring diatas ranjang bersebelahan dengan Emilia, Emilia berkata, “Suamiku, besok kamu pergi bekerja saja, aku yang akan mengantar mereka.”
“Kalau begitu aku akan merepotkanmu.” Aku menjawab.
“Kenapa harus bersikap sungkan denganku.” Emilia meringkuk ke dalam pelukanku.
Tubuhku sedikit bergetar saat merasakan kelembutan tubuhnya, aku menciumnya, Emilia juga memberikan respon terhadap ciumanku. Tanganku perlahan mulai bergerak menelusuri tubuhnya, hal itu semakin membuatku tidak tahan lagi. Tapi dia sedang datang bulan, tidak tahan pun aku harus tetap menahannya, jadi aku melepaskannya, Emilia seketika tersadar dan langsung menjaga jarak denganku.
Keesokan paginya sebelum meninggalkan rumah, aku kembali mengingatkan kepada kak Dimas, agar mereka kembali setelah aku pulang ke rumah. Setelah kak Dimas menganggukkan kepala mengiyakan aku baru keluar rumah.
Setelah selesai mengajar, saat aku akan bersiap pulang ke rumah, aku mendapat panggilan telepon dari wakil dekan Sito, yang mana beliau juga dosenku saat aku mengambil pascasarjana di kampus. Wakil dekan Sito selalu memperlakukanku dengan baik, setelah mendapat panggilan darinya, aku segera menemuinya.
Setelah sampai di ruangan wakil dekan, aku membungkuk dan menyapanya. Wakil dekan Sito terbilang orang yang sedikit kuno, jadi lebih menganggap penting etiket dan sopan santun. Setelah dipersilahkan untuk duduk dan berbincang beberapa patah kata, wakil dekan Sito mulai mengatakan, “Rey, berapa lama kamu sudah mengajar disini?”
“Baru satu tahun lebih, menjadi asisten pengajar selama satu tahun, jika ditambahkan maka sekitar dua tahun.” Aku menjawab dengan jujur.
Wakil dekan Sito menganggukkan kepalanya, “Pendidikanmu masih harus ditingkatkan lagi, tapi kamu adalah murid yang aku didik sendiri.” Setelah mengatakan itu, wakil dekan Sito menghentikan perkataannya, setelah meminum seteguk teh baru kembali mengatakan, “Semester ini juga hanya tersisa satu bulan pembelajaran saja kan, semester depan ada penerimaan mahasiswa baru, aku berencana akan memberimu tugas sebagai wali kelas. Kamu tidak boleh hanya mengajar saja, aku ingin memberimu kesempatan lebih banyak untuk bisa berlatih dan belajar lagi.”
Aku langsung beranjak, rasanya sedikit was was, harus di ketahui jika kehidupan di kampus ini penuh intrik dan siasat dimana mana. Saat aku baru menjadi dosen, memang tidak ada yang perlu di persaingkan, dan aku masih masuk ke golongan dasar, dan belum terlibat dalam pusaran persaingan yang ketat. Seharusnya aku menolak, tugas wali kelas hampir mirip dengan konselor universitas, mungkin tidak akan perlu mengajar lagi, tapi aku begitu menyukai mengajar di kelas. Tapi jika aku menolak, wakil dekan Sito mungkin akan menjadi tidak senang, bagaimanapun juga itu adalah tugas yang tidak begitu berat, banyak orang yang menginginkannya. Jika wakil dekan Sito sudah menunjukku, maka aku harus mempertimbangkannya dengan serius.
Aku terdiam, berpikir sejenak, kemudian berkata penuh keraguan, “Pak, apa memang tidak apa apa?”
Wakil dekan Sito menjawab dengan yakin, “Tentu saja, apa aku bisa salah menilai? Tahun depan, kamu akan menjadi wali kelas dari jurusan sejarah semester satu, kamu tidak perlu mengajar. Aku sudah mempertimbangkan semuanya untukmu di masa depan, jadi putuskan seperti ini saja.”
Meskipun aku tidak begitu mengerti pertimbangan yang dikatakan oleh wakil dekan Sito, tapi aku tau jelas jika beliau tidak akan mungkin merugikanku. Jika tidak bisa melakukan penolakan, maka aku hanya bisa menerima niat baik yang wakil dekan Sito usulkan. Aku beranjak, membungkuk kepadanya dan tidak lupa untuk berterimakasih.
“Sudah, pergilah, aku masih ada rapat nanti.” Wakil dekan Sito berkata dengan melambaikan tangannya ke arahku.
Setelah keluar dari ruang wakil dekan, perasaanku menjadi sedikit lebih baik. Aku pergi ke bank untuk mengambil uang 18 juta, dan di tabungan masih tersisa sekitar 10 juta lebih, aku mendesah pelan. Saat aku kembali ke rumah, kakak kakakku masih belum berangkat, dan ayah mertuaku juga datang. Tapi jika dilihat dengan jeli, kak Ririn tidak terlihat. Aku langsung bertanya.
Kak Dimas mengatakan, “Pada awalnya kita akan berangkat, tapi kakakmu sedikit tidak enak badan, jadi kita menundanya.”
Aku langsung menjawab, “Kalau begitu tinggallah untuk beberapa hari lagi, tidak apa menunda sedikit pekerjaan di rumah.”
“Kita terlalu merepotkan kalian, paman dan bibi.” Kak Dimas berkata dengan sungkan.
Ayah mertua menimpali dengan senyuman di wajahnya, “Jika sering direpotkan oleh kalian malah membuatku senang. Sudah bertahun tahun aku tidak pergi ke desa kalian disana, tahun ini aku bahkan berencana akan merayakan tahun baru disana bersama kalian.”
“Silahkan, kita akan menyambut kalian dengan baik.” Kak Dimas menimpali.
Aku beralasan pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan, sebenarnya hanya ingin masuk ke kamar untuk mengambil uang yang aku sembunyikan di laci, dan setelah itu aku akan menyerahkannya kepada kak Dimas, tapi tidak disangka saat aku mengeluarkan uang, Emilia tiba tiba muncul.
Novel Terkait
You're My Savior
Shella NaviAdieu
Shi QiHalf a Heart
Romansa UniversePejuang Hati
Marry SuBlooming at that time
White RoseCEO Daddy
TantoCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video