Cinta Yang Berpaling - Bab 18 Salah Paham

“Rey, pergilah.”Anna tiba-tiba muncul di pintu dapur.

Aku hanya bisa bangkit, ketika sedang mengoperasikan mesin kopi, Winda menghampiri, berkata padaku: “Pergilah, biarkan aku yang menyeduhnya.”

Aku setengah bercanda dan mengeluh: “Sekarang di hati ibu, tidak ada yang bisa dibandingkan dengan keponakannya.”

Winda berkata tanpa daya: “Siapa suruh aku dan Emilia anak perempuan.”

Aku mengangguk dan pergi. Setelah makan malam, Caesar berkata: “Karena seluruh keluarga ada di sini, aku ingin mengumumkan hal besar.”

Kami semua memandangnya, Caesar memandang Lilis dan mengumumkan dengan gembira: “Lilis sedang hamil, kami berencana menikah dalam waktu dekat.”

“Benarkah?”Anna sangat gembira.

Caesar mengangguk: “Bi, aku mencari peramal untuk melihatnya, peramal itu mengatakan anak pertama kami laki-laki.”

“Aiyo,bagus sekali.”Anna sangat senang sampai tidak tahu bagaimana mengungkapkan kegembiraan dalam hatinya. Dia bangkit dan berjalan ke altar Farhan, menyalakan dupa dan berkata: “Pak tua, hidupmu cukup menyedihkan. Sekalipun kamu akan meninggal, seharusnya lebih lama sedikit. Caesar sudah mau menikah, dan memiliki anak, keluarga Tanjuang kita akhirnya memiliki keturunan.”

Setelah itu, Anna meneteskan air mata. Winda dan Emilia buru-buru pergi menghiburnya. Lalu Caesar juga membawa Lilis menyalakan dupa berdoa untuk ayah, mengatakan sekumpulan omong kosong. Membuat ibu tersentuh sampai linglung.

Setelah suasana hati semua orang stabil, Caesar berkata dengan canggung: “Bi, aku bersalah paman dan bibi, serta bersalah pada orang tua dan keluarga Tanjung.”

“Kamu sudah mau memiliki anak, apa yang kamu katakan.”tanya Anna tidak mengerti.

Caesar tiba-tiba berlutut: “Bi, aku tidak memiliki rumah dan juga uang, aku tidak berani menginginkan anak ini.”

Anna tidak senang, dia menarik Caesar berdiri, berkata: “Kamu ini, apa yang kamu katakan. Bukankah ini rumahmu. Kamu dan Lilis cepat menikah, aku yang membiayai pernikahan kalian. Setelah menikah, kalian tinggal di rumah ini.”begitu berbicara tentang ini, Anna melirik ke beberapa kamar dan berkata: “Di rumah ini ada tiga kamar, aku dan pamanmu tinggal di kamar yang paling besar, begini saja, aku pindah ke kamar Emilia, kamar yang paling besar direnovasi sedikit, anggap saja sebagai kamar pengantin kalian.”

“Terima kasih Bi.”Caesar menjatuhkan diri ke pangkuan Anna dengan gembira, dan mulai menangis terharu.

Anna berkata dengan penuh kasih: “Caesar, selama kamu bisa melahirkan anak ini, itu lebih penting dari apa pun.”

Aku memalingkan wajahku, tidak ingin melihat tampang Caesar yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri.

“Kak, katakanlah sesuatu.”ucap Emilia mendesak.

“Dengarkan pengaturan ibu saja.”ucap Winda.

Aku memandang Winda dengan takjub, bagaimana bisa dia begitu murah hati.

Apa yang seharusnya dibahas sudah dibahas, Anna berkata kepada mereka: “Lilis, kalau kamu tidak keberatan, mulai hari ini tinggal di rumah ini.”

“Terima kasih Tante.”ucap Lilis dengan patuh.

Caesar menyikutnya dan mengingatkan: “Sudah seperti ini, kamu masih memanggil Tante, cepat panggil, Bibi.”

“Bibi.”

“Eiy.”Anna menjawab dengan gembira, lalu mengulurkan tangan, berkata: “Duduklah di sampingku.”

Emilia tidak tahan melihat kebahagiaan mereka dan memanggil Winda untuk pergi ke rumah kami. Setelah keluar dari rumah, Emilia mengeluh: “Kak, rumah itu diberikan ayah dan ibu untukmu, relakah kamu membiarkan Caesar yang menempatinya.”

Winda berkata dengan tidak peduli: “Keluarga Tanjung tidak ada keturunan, bagi ayah dan ibu ini sebuah penyesalan, biarkan mereka tinggal di rumah. Itu juga termasuk pertanggung jawaban kita kepada keluarga Tanjung. Selama mereka tidak mengusirku keluar, aku tidak ada komentar apa pun.”

“Lalu uang di rumah.”Emilia bertanya: “Aku putri kandung ayah dan ibu, nyawa ayah diselamatkan oleh ayah Rey. Dan sekarang, demi mereka berdua, ibu mendesak kita membayar hutang. Masih ada hubungan darah tidak. Kak, kamu tidak tahu bagaimana aku dan Rey melewati hidup sekarang. Kami hampir tidak ada uang untuk mengisi bensin mobil.”

Winda menyisir rambutnya: “Emil, apakah kamu begitu sengsara? Kalian jangan anggap serius hutang kalian pada ibu, kalian yang tidak membayarnya, apakah benar dia akan ke pengadilan menuntut kalian. Hanya saja Rey meminjam 200 juta di luar, kalian harus pikirkan cara untuk membayarnya.”

Emilia menatapku dan berkata dengan marah: “Semua salahmu.”

“Aku akan mengembalikan uang itu sendiri, kamu tidak perlu khawatir.”ucapku.

“Kalian berdua jangan bertengkar lagi.”Winda membujuk: “Ngomgong-ngomong, aku tidak ingin pulang malam ini, aku tidur di rumah kalian saja.”

“Oke.”jawab Emilia.

Aku berkata: “Emil, kamu dan kakakmu sudah lama tidak mengobrol bersama, malam ini kamu tidur bersama kakak saja, aku tidur di ruang tamu.”

Sesampai di rumah, Winda pergi mandi, Emilia menarikku masuk ke kamar, dan berkata: “Suamiku, apa maksudmu beberapa hari ini bersikap dingin padaku, bahkan tidak ingin tidur seranjang denganku. Orang yang baru menikah tidak ingin berpisah semenit pun. Dan kamu malah beberapa hari ini memperlakukanku seperti itu. Katakan dengan jujur, apakah kamu bosan denganku?”

“Bagaimana mungkin, kamu berpikir terlalu banyak. Bukankah kita berhutang begitu banyak uang, hatiku kesal. Aku harus memikirkan cara untuk mengembalikan uang itu secepat mungkin.”ucapku.

“Benarkah?”ucap Emilia sedikit ragu.

Aku mengangguk. Emilia tersenyum dan berkata: “Bagaimana kalau, aku akan mengatakan kepada kakak, dia yang tidur di ruang tamu. Malam ini kita……kamu mengerti, kan.”

Aku menyingkirkan tangannya: “Jangan katakan. Ini pertama kalinya kakak tinggal di rumah kita, kamu yang seperti itu akan membuatnya merasa canggung. Nanti kita juga ada waktu, tidak kekurangan waktu sekarang ini.”

“Sebal.”Emilia menendangku.

“Ada apa Rey, apa karena aku tidak muat dengan baju tidur Emilia?”tanya Winda sedikit malu.

“Ti-tidak ada.”aku sibuk mengalihkan tatapanku. Diam-diam dalam hatiku senang Emilia tidak ada, kalau dilihat olehnya, aku menatap kakaknya, pasti bertengkar lagi denganku.

Aku tidur sendirian di kamar tamu sampai tengah malam, dan terbangun karena kebelet pipis. Aku bergegas ke toilet, lampu di dalam menyala, biasanya hanya ada aku dan Emilia yang ada di rumah, jadi tanpa pikir panjang aku langsung mendorong pintu.

Setelah masuk, aku bergegas melepas celana buang air kecil. Tapi orang di dalam berteriak ketakutan. Aku melihatnya sekilas dan menyadari orang yang duduk di kloset adalah Winda.

Aku segera sadar, berkata dengan nada meminta maaf: “Kak, maafkan aku, aku tidak tahu kamu ada di dalam.”

“Kenapa kamu tidak bertanya dan langsung main masuk saja?”Winda duduk di kloset tidak berani bergerak.

Saat aku hendak menjawab, lampu di ruang tamu menyala, dan terdengar suara Emilia. Ekspresiku dan Emilia berubah.

Winda memberi isyarat diam dan berdiri. Dia memakai dress tidur, jadi tidak ada hal tidak senonoh yang terjadi. Aku tidak bisa menahan kencing lagi, meminta dia menutup matanya, dan buang air kecil dengan terburu-buru.

“Kak, kamu baik-baik saja, kan?”tanya Emilia mengetuk pintu toilet.

Kata-kata ini membuatku ketakutan hingga tidak bisa buang air kecil. Winda menjawab dengan hati-hati: “Tidak apa-apa, ada kecoa.”

“Ahh, kenapa ada kecoa di dalam rumah, aku akan meminta Rey membeli semprotan insektisida.”ucap Emilia.

“Oh, Emil, aku sakit perut, kamu balik tidur dulu.”ucap Winda dengan mata gelisah.

“Baiklah aku pergi tidur dulu kak.”ucap Emilia dengan malas.

Setelah lampu di luar di matikan, aku dan Winda menghela nafas, dia memegang dadanya bersandar ke dinding. Ketegangan berlalu, dan aku kembali buang air kecil. Aku meminta Winda berbalik, dan menyelesaikan buang air kecil.

Aku berbalik melihat Winda menutup wajahnya, aku berkata: “Kak, sudah, kamu keluar dulu atau aku keluar dulu?”

“Kamu dulu.”ucap Winda dengan malu.

Aku membuka pintu dan melangkah keluar dengan hati-hati Sebelum aku melangkah dua langkah, lampu di kamarku menyala, membuatku takut dan mundur ke toilet.

Winda bertanya dengan panik: “Kenapa kamu kembali …… kamu?” Dia menatapku dengan tatapan menebak.

Aku membuat isyarat diam: “Berhenti bicara, Emil pergi ke kamarku.”

Ekspresi Winda sedikit berubah dan semakin panik: “Bagaimana ini, kita seperti ini, dia pasti akan salah paham.”

Begitu dia selesai berbicara, suara Emilia datang dari luar: “Kak, apakah kamu masih di dalam?”

Winda menatapku dan aku menginstruksikan untuk menjawab iya. Winda berkata dengan takut: “Emil, ada apa. Aku segera keluar.”

“Kalau begitu aku akan menunggumu, aku juga ingin buang air.”ucap Emilia.

Winda dan aku saling memandang, benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Aku menyuruhnya untuk diam, setelah beberapa menit, Emilia bertanya lagi: “Kak, cepat keluar, aku juga ingin buang air.”

Winda bertanya dengan canggung: “Bagaimana ini?”

Toilet begitu besar, tapi tidak ada tempat untuk bersembunyi, aku juga tidak tahu harus berbuat apa.

“Winda, cepat buka pintu.”Emilia berteriak di luar dan mulai mendorong pintu.

Aku berbisik di telinga Winda dan berkata:“Kak, kita inisiatif keluar, lagipula ini memang salah paham, lalu jelaskan dengan baik padanya.”

“Tidak bisa, bagaimana mungkin dia mempercayainya.”ucap Winda.

Aku berkata: “Tapi kita juga tidak bisa terus seperti ini, tiba saatnya sulit untuk menjelaskannya.”

Teriakan dan gedoran pintu Emilia semakin mendesak. Winda berpikir sejenak, menunjuk ke pintu dan berkata: “Kalau begitu bukalah.”

Aku membuka pintu, Emilia hampir saja jatuh ke lantai, aku segera memeluknya. Emilia mengangkat kepalanya dan menatapku, wajahnya tampak marah. Dia mendorongku, melihat Winda, bertanya dengan marah: “Rey, Winda, apa yang kalian lakukan?”

“Emil, dengarkan penjelasanku, tidak seperti yang kamu lihat.”ucapku buru-buru menjelaskan.

Emilia mendorongku: “Apa yang perlu kamu jelaskan, tidak seperti yang aku lihat lalu seperti apa. Rey, kamu pikir sedang akting?”

“Ini benar-benar salah paham.”aku berusaha menjelaskan: “Kita bicarakan di luar, ok?”

“Kalian berdua jangan bergerak.”Emilia menahanku: “Kalian tunggu aku telepon ibu, biarkan dia melihat apa yang kalian berdua lakukan.”

Setelah Emilia kembali ke kamar mengambil hp, aku dan Winda segera berlari keluar. Kami berdua berdiri di ruang tamu dengan canggung, Emilia memegang hp keluar dari kamar: “Kalian berdua masih ingin lari, cepat kembali.”

“Emil jangan membuat onar, benar tidak seperti yang kamu bayangkan.”ucap Winda mengulurkan tangan merampas hp.

Emilia mundur dua langkah, ketika telepon terhubung, Emilia menangis tersedu-sedu sambil berkata:“Bu, cepat datang kemari. Rey dan Winda melakukan hal tidak pantas padaku……wuwuwu.”

“Benar tidak ada, kamu jangan bicara sembarangan.”teriak Winda.

Bagaimana mungkin Emilia mendengar semua ini, dia terus menangis memegang hp. Winda duduk di samping, tampak tak berdaya. Aku juga tidak ada pilihan lain, hanya bisa kembali ke kamar mengambil rokok.

Ketika aku kembali ke ruang tamu, Emilia sudah meletakkan hp, menunjuk kami berdua, berkata: “Rey, Winda, kalian berdua keterlaluan. Bagaimana bisa kalian melakukan hal semacam ini. Yang satu kakak kandungku, yang satu suamiku yang baru menikah……per……pernahkah kalian memikirkan perasaanku?”

“Emil, harus bagaimana kami jelaskan padamu agar kamu percaya?”tanya Winda.

Novel Terkait

Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
4 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Cintaku Yang Dipenuhi Dendam

Renita
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
5 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
4 tahun yang lalu