Cinta Yang Berpaling - Bab 39 Sulit untuk dijelaskan

“Huhuhu.” Aku mendengkur.

“Rey, bangun. Jika tidak menjelaskannya kepadaku, kamu tidak boleh tidur.” Kata Emilia sambil memukul dan mencakar.

Aku menyalakan lampu dan kembali duduk. Aku mengambil sebuah kotak rokok dan menyalakan satu batang. Emilia duduk di tempat tidur sambil memeluk lutut dan bertanya, “Apakah kamu ada wanita lain di luar sana?”

Aku berbalik dan menatapnya selama beberapa detik, dan bertanya dengan tenang, “Apakah kamu ada bukti?”

“Tidak.” Emilia menjawab dengan sangat sederhana.

Aku berkata, “Kalau begitu berarti memang tidak ada apa-apa, jangan bicara omong kosong jika tidak ada bukti. Kalau kamu masih saja berisik, aku akan pergi tidur di kamar tamu.”

“Kamu pasti punya wanita lain di luar sana, kamu yang dulu tidak seperti ini.” Emilia ternyata mulai menangis.

Dia bertindak seperti ini sangat tidak masuk akal, membuatku tidak tahan lagi. Saat aku hendak melawannya, tiba-tiba terpikir olehku untuk berdamai dengannya untuk menangkap pencuri, tapi jangan sampai dilawan balik olehnya dan tertangkap sebagai pencuri. Meskipun karena kecurigaan ku yang dalam, membuatku merasa sedikit jijik kepadanya, tapi aku memikirkannya sekali lagi, saat ini kita masih resmi sebagai pasangan suami istri, juga bukannya tidak pernah melakukan hal semacam itu, jadi kalau melakukannya beberapa kali lagi juga tidak apa-apa.

Saat menghilangkan pikiran itu dari kepalaku, aku menatap Emilia selama beberapa detik. Emilia ternyata sedang bersedih dan dia berkata dengan takut, “Suamiku, kamu kenapa?”

Saat bangun di pagi hari, aku melihat Emilia berteriak dengan cemas disampingku, “suamiku, cepat bangun, aku hampir terlambat.”

Aku mengusap-usap mataku dan meraih ponsel dan melihat sudah pukul sembilan. Aku segera turun dari tempat tidur lalu pergi membasuh muka dan menggosok gigi.

Ketika aku kembali ke kamar untuk berganti pakaian, aku merasa senang. Ada sebuah perasaan sumpa kedaulatan. Namun, kecurigaan mengenai masalah itu segera muncul kembali, membuat kebahagian itu musnah.

Emilia tidak ada cara lain, dia memakai sebuah syal kecil. Dalam perjalanan menuju sekolah terus menerus mengomel. Selain mengajar di sekolah, aku menelpon Cherry Onsu untuk pergi ke departemen penerimaan murid untuk mengumpulkan berkas dan dana masuk yang diperlukan. Setelah menyelesaikan urusan sekolah, aku menelpon Emilia untuk memberitahu Emilia bahwa aku sudah pulang terlebih dahulu untuk menulis makalah. Setelah bersiap-siap, aku mulai menulis makalah tentang esai kebenaran dan kesalahan dinasti Xia.

Saat waktu menunjukkan pukul tiga lebih, Winda menelponku dan menanyakan apakah aku ada di rumah. Aku menjawab ada di rumah, lalu dia mengatakan, “kalau begitu, apakah aku boleh mampir untuk minum kopi?”

“Datang saja.” Setelah menutup telepon, aku berlari ke dapur untuk mengeluarkan mesin kopi, dan membuat kopi.

Saat Winda mengetuk pintu rumah, kopinya juga selesai dibuat. Aku membawa kopi itu terlebih dahulu ke meja di ruang tamu baru membukakan pintu untuknya.

Winda bersandar di kusen pintu sambil melirik ke dalam dan berkata, “Kenapa begitu lama membuka pintu? Tidak sedang menyembunyikan seseorang di dalam rumah bukan?”

“Mana berani aku.” Setelah dia masuk ke dalam rumah, aku menutup pintu, “duduklah, kopinya sudah siap untukmu.”

Winda meminum kopinya dan memberikan acungan jempol, “Istrimu belum pulang?”

“Sekarang-sekarang ini dia baru bisa pulang setelah jam lima sore.” Aku juga duduk di sofa dan mengambil secangkir kopi milikku, “kamu mencariku ada masalah apa?”

“Tidak ada.” Kata Winda sambil tersenyum tipis, sambil mengangkat rambut panjangnya, “aku hari ini pergi untuk melakukan sesuatu, setelah selesai aku langsung pulang lebih awal. Di rumah juga tidak melakukan apa-apa, lalu melihat mobilmu, jadi aku memutuskan untuk bertamu kesini.”

Aku bercanda dan mengatakan, “apakah kamu tidak takut saat Emil pulang lalu melihatmu dan menjadi salah paham.”

“Aku tidak peduli padanya.” Kata Winda acuh tak acuh, “Ngomong-ngomong, apakah masalah itu menarik bagimu?”

Aku memandangnya dan tiba-tiba tertawa, “Kakak, apakah kamu menantikan perceraian ku?”

“Siapa yang mengharapkanmu bercerai.” Winda memukulku, “tentu saja aku berharap kamu dan Emil baik-baik saja, tapi Emil... hehe... jika dia tidak kenapa-kenapa, alangkah baiknya kalian bisa melanjutkannya.” Kata Winda sambil mengulurkan tangannya dengan sedikit canggung.

Aku mengangguk, “akhir-akhir ini sekolah dia sedang sibuk-sibuknya mereview murid sebenarnya kemarin malam juga ada orang yang menanyakan hal yang sama seperti kamu sekarang. Menurutku, perasaanku sekarang kepada Emil sudah mengalami perubahan, meski bisa dibilang akhirnya aku menemukan tidak ada yang salah dengannya, tapi perasaanku tidak bisa kembali seperti dulu. ”

“Maksudmu adalah ada bekas luka di hatimu?” tanya Winda.

“Iya.” Aku mengakuinya.

Winda kembali mengambil kopinya, dan meminumnya dua teguk, sepertinya dia tidak tahu mau berbicara apa lagi. Aku menghabiskan kopi milikku dan menyalakan sebatang rokok. Winda mengulurkan dua jarinya.

Aku mengambil satu batang dari kotak rokok dan menyerahkannya kepada nya, dia tidak mengambilnya, dia menunjuk ke batang rokok yang ada di tanganku dan berkata dengan sedikit genit, “aku ingin batang rokok yang kamu nyalakan itu.”

Aku terdiam sejenak, lalu menyerahkan kepadanya, lalu menyalakan satu lagi untuk diri sendiri.

Sepertinya tidak banyak yang bisa dibicarakan. Aku mematikan rokok dan berkata, “Kak, jika tidak ada masalah lagi, aku mau pergi melanjutkan tulisan makalahku, aku sedang terburu-buru.”

“Ah, kamu sedang membuat makalah?” Tanya Winda heran.

Aku tersenyum pahit, “Membantu orang untuk menuliskannya.”

“Ada apa?” Tanya Winda bingung, “beberapa tahun ini seharusnya kamu bisa memilih profesor asosiasi. Jika kamu tidak sibuk dengan diri sendiri, kamu malah membantu menuliskan untuk orang lain. Apakah kamu buru-buru untuk menghasilkan uang?”

Aku menggelengkan kepalaku dan memberitahu Winda tentang alasan internal. Winda mendesah pelan, “Kenapa bisa seperti ini? Jika Ayah masih ada, kamu tidak akan menderita seperti ini.”

Aku tidak peduli dan berkata, “tapi juga tidak bisa dibilang seperti ini, aku tidak bisa mengandalkan latar belakangku seumur hidup kan. Aku masih perlu untuk bekerja keras sendiri. Terlebih lagi, Guru Sito sangat baik kepadaku. Aku masih membutuhkan bantuannya dalam banyak hal di masa depan.”

“Kalau begitu pergilah untuk menulis.” Winda melambaikan tangannya.

“Lalu, bagaimana denganmu?” tanyaku.

Winda berpikir sejenak, lalu menggulung rambutnya dan berkata seperti seorang gadis kecil, “kamu menulis aja, aku akan melihat dari samping.”

“Baiklah.” Kataku sambil berjalan menuju ruang kerja.

Novel Terkait

Meet By Chance

Meet By Chance

Lena Tan
Percintaan
3 tahun yang lalu
Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
3 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
3 tahun yang lalu
My Superhero

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu