Cinta Yang Berpaling - Bab 33 Menyatakan Perasaan
"Omong kosong." Winda mendorongku. Dia jatuh ke sisi yang lain, "Jika kamu ingin melindungiku, kenapa kamu tidak memelukku, kamu malah memeluknya. Apa kamu tidak tahu aku bisa marah?"
“Kak, kamu mabuk.” Aku menoleh, mencoba menghentikannya berbicara.
Tapi Winda tidak menyadarinya. Dia terus berbicara sendiri, "Aku tidak mabuk. Jika lain kali kamu berani memeluk gadis lain di depanku, aku pasti akan bertengkar denganmu. Rey... sebenarnya aku. Aku menyukaimu ... aku sangat menyukaimu."
Suara Winda semakin kecil, lalu tertidur.
Sesampainya di komplek, pengemudi bertanya apa kami perlu bantuan untuk naik. Aku berpikir sejenak lalu berkata, "Kalau begitu, bantu aku mengantarnya ke lantai sepuluh."
Aku mengikuti Winda ke atas saat pengemudi menggendong Winda di punggungnya. Setelah dia sampai, kemudian aku terhuyung pulang.
Ketika dibangunkan oleh suara telepon di pagi hari, aku masih merasa pusing. Ibu mertua menelepon, memintaku untuk sarapan.
Seluruh anggota keluarga sedang duduk di atas meja. Sebelum aku duduk, Caesar bertanya, "Rey, apa yang kamu dan kakakku lakukan tadi malam? Membuat kakakku minum sebanyak itu."
"Minum dengan pimpinannya," kataku.
“Kak, bagaimana sih?” Caesar memandang Winda, “Kamu bisa menyuruhku untuk melakukan hal semacam ini. Aku peminum yang baik. Aku juga sudah bekerja di kantor sekarang. Mengenal beberapa pimpinan akan membantu karirku di masa depan. Kakak, jangan salahkan aku karena menyalahkanmu. Di keluarga ini, Ibu dan kakak kedua yang sangat perhatian padaku. Heran, kenapa hanya kakak yang tidak menyayangiku. "
Winda meletakkan sendoknya, "Jika aku tidak menyayangimu, bagaimana kamu bisa tinggal di sini sekarang."
“Ibu, lihat dia,” Caesar mengeluh.
“Jangan bertengkar, pergilah bekerja segera setelah kamu makan.” Ibu mertua mendesak, tidak membela satu pun.
Emilia tetap diam, membuatku merasa sedikit curiga.
Setelah sarapan, Caesar dan Winda pergi lebih dulu. Setelah ibu mertua masuk ke dapur, aku bertanya pada Emilia, "Emil, ada yang ingin kamu katakan?"
“Mengatakan apa?” Emilia berkata dengan ringan, “Sana, berangkat kerja.”
“Kamu tidak sedang salah paham, kan?” Tanyaku hati-hati.
Emilia tersenyum, "Apa lagi yang akan disalahpahamkan? Bukannya kamu hanya ingin melalui kakakku, lebih banyak mengenal pimpinan, lalu memperluas jaringan?"
Aku berdiri di belakang Emilia dan berkata di telinganya, "Emil, kamu tampaknya jauh lebih pintar dan perhatian karena sakitmu ini."
“Ih, sana pergi kerja, aku tidak ingin bicara.” kata Emilia tidak sabar.
Diskusi yang membosankan. Tapi aku merasa lega, segera pergi.
Sekitar tengah hari, aku menerima telepon dari Winda. Dia memintaku untuk makan di dekat kampus. Aku tidak berencana untuk pergi. Tapi dia bilang dia sudah duduk disana. Jadi aku tidak bisa membiarkannya makan sendirian, bukan?
“Rey, tadi malam.” Winda tampak berhati-hati, “Hal-hal yang kukatakan tadi malam semuanya karena mabuk, jangan menganggapnya serius, ya.”
“Hah?” Aku tidak menyangka dia memanggilku kemari karena ini. Aku sedikit kagok karena terkejut "Kak, apa yang kamu katakan tadi malam, kamu masih ingat?"
Winda mengangguk malu, suasana tiba-tiba menjadi kaku. Aku menutupi kepalaku dan berpura-pura bingung, "Kak, aku sangat mabuk tadi malam. Apa yang kamu katakan, apa yang aku katakan, aku tidak mengingatnya."
Winda tertegun sejenak, lalu berkata dengan kooperatif, "Oh, tidak apa-apa jika tidak ada kesan apa-apa. Lagi pula, saat aku mabuk, aku berbicara omong kosong. Makanlah dengan cepat."
Setelah beberapa saat, Winda berkata lagi, "Saat kami sudah pergi tadi pagi, Emilia pasti menanyakan sesuatu padamu, kan?"
Aku menggelengkan kepala, "Tidak. Menurutmu aneh tidak? Aku takut dia curiga, jadi aku menanyakannya secara spesifik, tapi dia tidak peduli."
“Ini tidak seperti biasanya, kan?” Winda juga bertanya dengan bingung.
Aku setuju, "Benar, perubahannya terlalu besar. Sejak dia tinggal di rumah ketika dia sakit, dia banyak berubah. Dia juga menangis diam-diam beberapa kali. Aku tidak tahu mengapa."
Winda bertanya, "Emil tidak sedang menyembunyikan sesuatu darimu, kan?"
“Ibu curiga dia menggugurkan kandungan diam-diam. Menurutmu, jika dia benar-benar melakukan hal itu, mungkin tidak dia berubah sikap padauk karena merasa bersalah?”
Winda berpikir sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Itu mungkin. Nanti saat sudah pulang, bicaralah baik-baik dengan Emil. Jika dia benar-benar menggugurkan kandungannya, maafkan dia. Kalian masih muda, punya anak nanti juga tidak masalah."
“Kalau begitu, aku akan bertanya baik-baik padanya saat nanti pulang.” Kataku.
Setelah mengantar Winda pergi, aku kembali ke kampus. Aku pulang setelah jam tiga sore. Tidak ada orang di rumah. Aku berjalan ke pintu kamar, hendak memutar knop pintu Aku mendengar Emilia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Dia membicarakan masalah menggugurkan kandungannya. Aku meletakkan telingaku di pintu, terus mendengarkan.
"Aku ingin melahirkan anak ini juga ... Tapi ... Mudah bagimu untuk mengatakannya, Tapi jika ... Aku tidak bisa mengambil risiko itu ... Jadi aku hanya menyembunyikannya dari mereka ... Tapi aku merasa sangat bersalah. Aku menangis diam-diam sudah beberapa kali ... ya, tutup dulu, keluargaku sudah waktunya mereka pulang. "
Aku berdiri, tertegun sejenak, lalu berlari ke ruang kerja dan duduk di sana, menyalakan rokok untuk menghilangkan kesedihan di hatiku. Dari telepon Emilia tadi, aku mengerti apa yang sedang terjadi. Sepertinya malam sebelum kami menikah, Emilia benar-benar pergi untuk bertemu pria lain. Yang pertama kucurigai adalah cinta pertamanya, Hasel. tapi Denny Taigen yang muncul sekarang juga membuatku merasa sedikit curiga.
Pikiran tentang perceraian muncul lagi dari benakku. Bahkan jika aku masih memiliki perasaan untuk Emilia, hal semacam ini telah mencapai batasnya. Kami tidak akan dapat melanjutkannya lagi.
Setelah merokok, terdengar suara di luar. Aku membuka pintu dan keluar . Ibu mertua, Caesar dan istrinya kembali.
“Rey, kapan kamu kembali?” Caesar bertanya, “Ketika kembali dan tidak melihat seorang pun di rumah, mengapa kamu tidak menelpon kami? Kamu tidak lihat betapa lelahnya kami pergi berbelanja sayur-sayuran sejauh ini. Tidak usah hiraukan aku. Ibu sudah tua, Lilis sedang hamil. Kamu hanya tahu mengambil sesuatu dari rumah lalu pergi. Tidak pernah berpikir untuk melakukan sesuatu untuk keluarga."
“Caesar, hati-hati berbicara.” Aku memperingatkan dengan muka masam. Aku berencana untuk menceraikan Emilia, jadi tentu saja aku tidak perlu menunjukkan wajah pria ini.
“Perhatikan sikapmu!” Suara Caesar meninggi, “Paman sudah pergi jadi kamu bisa bersikap seenaknya di rumah, ha? Kamu sudah tidak takut pada siapapun, begitu?”
“Setidaknya aku tak perlu takut lagi denganmu.” Ucapku tak mau mengalah.
Novel Terkait
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO
Chantie LeeCintaku Pada Presdir
NingsiCinta Seorang CEO Arogan
MedellineInventing A Millionaire
EdisonPengantin Baruku
FebiHalf a Heart
Romansa UniverseTen Years
VivianCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video