Cinta Yang Berpaling - Bab 13 Keadaan Darurat
“Mana aku tahu, tidak mungkin memarahimu, kan? Ibumu sangat menyayangimu.”ucapku bercanda.
Emilia mengeluarkan sesuatu dari tas dan melemparkannya padaku, begitu aku melihatnya ternyata test pack. Aku berkata dengan tidak setuju: “Apakah pantas marah karena ini, bukankah dia ingin kita cepat memiliki anak, mencarikan barang seperti ini untukmu sangat wajar.”
“Tapi tahukah kamu bagaimana ibu mengatakannya?”Emilia berkata: “Dia mengatakan kita sudah menikah selama setengah bulan, apakah aku sudah tes kehamilan. Menurutmu dia aneh tidak, mana ada orang hamil begitu cepat. Ibuku benar-benar aneh. Ke depannya kalau kamu tidak ada urusan jangan pergi ke sana.”
Aku mengangguk. Melihat ibu dan anak ini tidak akur, tiba-tiba entah kenapa aku merasa senang.
Setelah Emilia membuang test pack ke tong sampah, dia pergi menonton TV. Ketika aku hendak bermain game di ruang kerja, sebelum membuka pintu, hp-ku berdering, begitu melihatnya ternyata Anna, aku berlari ke samping Emilia, menyerahkan hp kepadanya: “Ibumu telepon, kamu angkat saja.”
Emilia mendorongku: “Aku tidak mau menjawabnya, kamu angkat.”
Begitu aku menjawabnya, langsung terdengar tagisan Anna: “Rey, kamu dan Emilia cepat datang, ayah mengalami kecelakaan.”
Wajahku berubah begitu mendengarnya. Aku segera menarik Emilia turun ke bawah. Di depan pintu gedung tempat tinggal mereka, aku melihat sekumpulan orang, aku segera menghampiri, melihat ayah mertuaku pingsan. Orang-orang itu hanya menonton, tidak ada yang membantu. Ibu mertuaku menangis tersedu-sedu di samping. Aku menggendong Farhan ke tempat parkir, membawa Emilia dan Anna ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Emilia menelepon Winda.
Kami menunggu di luar UGD selama lebih dari dua jam. Dokter keluar dan mengatakan ayah mertuaku menderita penyakit jantung akut, dan kondisinya cukup serius. Pihak RS meminta kami membayar uang deposito sebesar 10juta. Aku masih memiliki 6juta dari pinjaman Winda. Anna dan Emilia tidak membawa uang, untungnya Winda datang tepat waktu, aku langsung pergi membayar uang deposito.
Aku meminta ijin kepada pihak sekolah, lalu meminta Winda dan Emilia keesokan harinya baru ijin. Dengan begitu, kita bisa bergiliran menjaga ayah yang dirawat di RS. Emilia menyetujuinya, tapi Winda tidak setuju, dia ingin meminta ijin, bersikeras ingin menjaga ayahnya dan mengatakan Dept-nya tidak ada kerjaan jadi bisa ijin.
Kami sekeluarga berjaga di RS sampai tengah malam. Farhan dipindahkan ke unit ICU, kami bahkan tidak bisa melihatnya. Ketika kami sekeluarga yang berjaga di sini sampai jam dua pagi merasa tidak membantu dan mulai mengantuk, aku meminta mereka pulang lebih dulu, biarkan aku yang berjaga di sini, begitu terjadi sesuatu aku akan segera memberitahu mereka. Anna tidak bersedia pergi, setelah dibujuk berulang kali baru bersedia pergi. Agar ada yang berjaga di RS, aku mengantar Emilia dan Anna pulang lebih dulu. Baru pulang menjemput Winda. Tidak peduli apa yang aku katakan Winda, dia tidak bersedia pergi. Dia berkata padaku kita bisa saling menjaga di RS dan bisa tidur bergantian. Winda lebih keras kepala dari pada Emilia, aku hanya bisa membiarkannya berada di sini. Beberapa kali dia menguap, dan aku tidak membawa pakaian, lalu berkata padanya: “Kak, bagaimana kalau kamu berbaring di kursi sebentar dan tidur di pangkuanku.”
Winda mengangkat kepalanya dengan lemah, lalu menggelengkan kepala: “Aku baik-baik saja. Sandar sebentar saja sudah bisa.”
Lalu, dia bersandar di pundakku. Aku tidak berani bergerak, kemudian aku tidak tahan dan tertidur. Lalu aku dibangunkan oleh suara dering hp, dan langit di luar sudah cerah. Anna khawatir dan tidak bisa tidur di rumah. Aku hanya bisa membangunkan Winda dan menjemput ibu mertuaku.
Kami menemani Anna di luar ICU, dan melihat ke dalam melalui jendela. Setelah dokter melakukan pemeriksaan, dia memanggilku mengatakan kondisi Farhan lebih serius dari yang mereka perkirakan. Lalu meminta kami membayar 40 juta sebagai deposit. Aku dan Winda saling memandang.
Anna berkata dengan khawatir: “Apa yang kalian lakukan, cepat serahkan uangnya.”
Winda berbisik: “Ibu, kami sudah tidak memiliki uang.”
Anna mengeluarkan kartu ATM dan memberikannya padaku: “Semua ada di dalam, cepat tarik.”
Aku berlari pergi menarik uang, lalu membayar deposit rumah sakit. Ketika aku kembali, Anna meminta kartu ATM padaku, begitu aku mencarinya, aku baru teringat karena menarik dengan terburu-buru, aku lupa mengambil ATM-nya.”
“Cepat cari, itu semua uang untuk menyelamatkan hidup.” ucap Anna dengan marah.
Aku berlari ke mesin ATM, mencari di ketiga mesin tersebut, dan tidak berhasil menemukannya. Aku kembali ke rumah sakit dengan linglung.
“Tidak ketemu?”tanya Anna.
Aku mengangguk. Anna berteriak marah: “Kamu ini, apa yang kamu lakukan. Di dalam ada 600 juta, aku dan ayahmu hanya memiliki itu. Kamu malah menghilangkannya, apa yang harus dilakukan kalau rumah sakit meminta deposit uang lagi.”
“Bu, jangan marah. Mungkin saja tertelan di mesin ATM.”ucap Winda membujuk.
“Bagaimana kalau hilang.”Anna menyalahkan: “Anak ini, tidak pernah melakukan hal yang membuatku tenang.”
Aku berkata: “Nanti aku pergi ke bank, meminta mereka melihat apakah ada uang di dalam. Kalau tidak ada, aku akan lapor polisi.”
Anna menghela nafas, dan dibantu oleh Winda duduk kembali di kursi. Dia terus mengeluh.
Aku merokok dengan kesal, tidak menyangka diriku akan membuat kesalahan yang begitu besar. Ketika hampir pukul 9, aku pergi ke bank. Pihak bank mengatakan tidak menemukan ATM di dalam mesin. Aku berlari ke kantor polisi. Kantor polisi yang mendengar ayah mertuaku adalah pensiunan wakil ketua CPPCC, mereka segera mengutus dua orang bersamaku memeriksa CCTV bank. Hasil CCTV menunjukkan begitu aku pergi, ada seseorang yang masuk, dia menyadari aku belum menarik kartu ATM. Setelah menarik 40 juta beberapa kali, dia menarik kartu dan pergi. Seorang pria botak dengan tinggi 1 meter. Dia terus menundukkan kepala, menghindari kamera dengan terampil, dari awal hingga akhir tidak bisa melihat wajahnya.
Polisi di kantor polisi memberitahuku orang tersebut mungkin pernah melakukan ini sebelumnya. Kalau tidak, dia tidak akan begitu waspada. Mereka mengatakan akan membantuku menemukan tersangka secepat mungkin dan mendapatkan uangnya kembali.
Setelah berterima kasih kepada mereka, aku kembali ke rumah sakit dan memberitahu ibu mertuaku dan Winda tentang situasinya. Ibu mertuaku marah sampai hampir pingsan, lalu aku segera memanggil dokter.
Winda dan aku saling memandang di koridor, lalu menghela nafas. Rumah sakit meminta kami mengantar Anna pulang ke rumah atau tinggal di rumah sakit, emosi orang tua tidak stabil, mereka rentan terhadap keadaan darurat. Mengingat penyakit Farhan yang serius, kami membiarkan Anna dirawat di rumah sakit. Tapi sejalan dengan itu, kami harus membayar 4 juta lagi ke RS sebagai deposit.
Kami hanya bisa memanggil Emilia kemari, setelah itu aku dan Winda pulang ke rumah, mengambil ATM-nya, menarik 4 juta dan membayar rumah sakit.
Winda berkata: “Rey, kamu tidak perlu khawatir, ATM-ku masih ada uang, gunakan saja dulu. Kalau sudah tidak ada, aku bisa meminjam ke teman.”
Aku menggelengkan kepala, aku yang menyebabkan masalah ini, tidak boleh membiarkan Winda seorang diri yang menanggungnya. Tidak satu pun dari kami memberitahu Emilia, aku menghilangkan ATM Anna. Aku meminta mereka berdua berjaga di rumah sakit, dan aku ingin keluar sebentar.
Aku mencari tempat yang lebih sunyi, menelepon beberapa teman yang memiliki hubungan baik denganku, mengatakan aku tidak memiliki uang, atau mengatakan ingin meminjam uang beberapa ratusan ribu. Uang tidak seberapa itu tidak dapat menyelesaikan masalah, aku memilih untuk tidak meminjamnya sama sekali.
Aku duduk di lantai, berpikir sejenak, lalu teringat Fenny.
Aku meneleponnya, awalnya ingin berbasa-basi lebih dulu, tapi dia memintaku langsung ke topik masalah. Aku secara singkat menceritakan masalahnya. Dia mengatakan dirinya hanya bisa meminjamkan 20 juta, kalau lebih banyak lagi tidak ada.
Aku berterima kasih padanya, lalu mengirimkan nomor rekening. Tapi 20 juta ini tidak cukup untuk cadangan. Ketika aku berencana menelepon Wakil Dekan Sito, Cherry menelepon.
“Rey, dimana kamu sekarang?”tanya Cherry gelisah.
“Di luar, ada apa?”aku tanya balik.
Cherry berkata: “Aku tanya kamu dimana, cepat beritahu aku, aku akan pergi mencarimu.”
“Apa yang terjadi?”tanyaku gelisah, aku tidak menyangka tiba-tiba satu per satu masalah berdatangan.
Aku mengatakan posisiku, Cherry memintaku menunggunya, dia segera datang. Sepuluh menit kemudian Cherry datang dengan tergesa-gesa.
Dia langsung memberiku ATM-nya: “Ini semua uang tabunganku, totalnya 200 juta, kamu gunakan saja.”
Aku buru-buru mendorong:“Apa yang kamu lakukan. Apakah Fenny yang meneleponmu.”
“Jangan khawatir. Ambil uangnya. Masalah paman Farhan lebih penting.”Cherry bersikeras meletakkan ATM itu ke tanganku.
Aku berkata dengan gelisah: “Cher, aku benar tidak bisa menerima uangmu. Kala itu memang aku yang bersalah padamu, sebenarnya selama beberapa tahun ini aku merasa bersalah. Sekarang kamu malah begitu baik padaku, aku benar-benar malu. Lebih baik kamu ambil uang ini kembali, aku akan memikirkan caranya sendiri.”
“Bagaimana kamu menemukan solusinya.”Cherry berkata: “Mengharapkan kakak-kakakmu? Mereka hanya bisa makan dan minum, giliran menghadapi masalah satu per satu bersembunyi. Cepat ambil ini, setelah kamu memiliki uang, baru kembalikan padaku juga bisa?”
Kami saling mendorong cukup lama, Cherry gelisah sampai hampir menangis. Dengan linangan air mata, dia berkata: “Rey, aku mohon padamu, ambil ini, ok?”
Aku takut dia menangis, banyak orang berlalu-lalang di jalan. Aku tidak punya pilihan selain menerimanya. Cherry tersenyum, tapi air matanya malah mengalir. Aku mengulurkan tangan mengusap air matanya, dia mendorongku dan mengusap air matanya sendiri.
Cherry berkata: “Awalnya aku ingin melihat kondisi paman Farhan. Tapi Emilia pasti tidak ingin melihatku. Jadi aku tidak pergi.”
Aku mengangguk, berkata dengan rasa terima kasih: “Cherry, terima kasih. Tunggu setelah aku ada uang, aku akan segera mengembalikannya padamu.”
“Ehn.”Cherry setuju dan pulang naik taksi.
Aku berdiri di pinggir jalan, dan tertegun beberapa saat. Aku kembali sadar ketika Winda menelepon.
Ketika kembali ke rumah sakit, Winda memanggilku, memintaku tidak perlu mengkhawatirkan masalah uang, dia bisa menyelesaikannya.
Aku berkata: “Aku sudah meminjam 220 juta, seharusnya bisa membayarnya. Kalau tidak cukup aku akan pikirkan cara lain. Kak, kamu tidak perlu mengkhawatirkan masalah uang.”
“Kamu pinjam kemana?”Winda sedikit gelisah: “Rey, kamu jangan cari rentenir, kamu tidak akan sanggup membayarnya.”
“Kak, apakah mungkin aku bodoh sampai melakukan hal itu.”Aku menjelaskan: “Kamu tenang saja, uangku halal.”
“Kalau begitu beritahu aku, kamu pinjam dengan siapa?”tanya Winda.
“Seorang teman.”tidak peduli bagaimana pun, aku tidak berani memberitahunya, orang yang meminjamkan uang padaku adalah Cherry.
Winda menyerah: “Kalau kamu tidak ingin mengatakannya, lupakan saja, cepat kembali.”
Anna di rawat di kamar paiesn, kondisinya stabil, tapi tidak bersedia menemuiku. Kalau terjadi sesuatu dengan dia dan Farhan, aku tidak akan merasa tenang seumur hidup ini. Menghadapi kutukan Anna, aku hanya bisa menjawab dengan senyum masam.
Sore hari, dokter meminta kami bertiga keluar. Suasana lebih khusyuk.
Winda berkata: “Dokter, katakan saja apa yang ingin kamu katakan, kami bisa menerimanya.”
Dokter menganggukkan kepala, menelan liur: “Setelah berkonsultasi dengan beberapa dokter kami, kami merasa Pak Farhan perlu melakukan operasi bypass jantung. Kalau tidak, hidup Pak Farhan mungkin sulit dipertahankan, kalau melakukan operasi, tingkat keberhasilannya hanya 70%. kalian pikirkan baik-baik.”
“Kalau begitu kita pertimbangkan dulu.”ucapku.
Novel Terkait
My Cold Wedding
MevitaHanya Kamu Hidupku
RenataCinta Yang Tak Biasa
WennieAngin Selatan Mewujudkan Impianku
Jiang MuyanLove And Pain, Me And Her
Judika DenadaDiamond Lover
LenaAwesome Guy
RobinPejuang Hati
Marry SuCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video