Cinta Yang Berpaling - Bab 17 Tamu Tidak Diundang
“Fen, bisa tidak makan dengan tenang.” Cherry sedikit marah.
Fenny berkata dengan senang: “Iya, aku makan yang tenang, istriku, kamu jangan marah.”
Ketika hampir selesai makan, Fenny menerima sebuah telepon, meletakkan piring dan lari. Kami berdua tidak berbicara untuk waktu yang lama.
Setelah makan, aku merokok di sofa, Cherry duduk dan berkata: “Rey, kenapa kamu melihat Fenny seperti itu tadi, apakah kalian para pria suka menatap wanita cantik?”
Aku mengangguk lalu menggelengkan kepalaku. Aku menjelaskan: “Cher, kamu salah paham. Aku menatap Fenny seperti itu, karena aku merasa ada yang tidak berers.”
“Ma……mana yang tidak beres?” tanya Cherry dengan curiga.
Aku berkata: “Aku telah menganalisanya, mungkin Fenny lesbian. Tahukah kamu apa itu lesbian. Ke depannya kamu harus lebih hati-hati padanya.”
“Asal omong kamu ini, jangan berbicara sembarangan.”ucap Cherry tidak percaya.
“Aku hanya menebaknya.” Aku meremas puntung rokok: “Cher, sudah malam, aku pergi dulu. Masakanmu benar sangat enak, sampai membuatku kenyang.”
“Kalau begitu lain kali kamu datang makan lagi, setiap hari aku ada waktu.”ucap Cherry mengantarku ke depan pintu.
Aku tersenyum, berpikir bagaimana bisa datang lebih sering, kami terlalu sering berhubungan, jangankan orang lain, bahkan aku sendiri juga merasa hubungan kami tidak wajar.
Dalam perjalanan pulang, Emilia menelepon, memintaku makan di rumah Anna, aku menjawab sudah makan di luar, dan membiarkannya pergi sendiri. Sesampai di gang, aku langsung pulang ke rumah sendiri.
Emilia pulang ke rumah dan mengeluh padaku dengan kesal karena Caesar berpura-pura manis di rumah untuk menyenangkan Anna, dan tampak menjijikkan.
Aku berkata: “Sekarang kamu bukan yang paling kecil lagi di rumah.”
“Memangnya kenapa kalau bukan.”Emilia berkata: “Dia keponakan dan aku putrinya, apakah bisa dia dibandingkan denganku. Lihat saja, dia hanya bisa berpura-pura selama beberapa hari, tiba saatnya ekor rubahnya akan muncul, dan dia tidak akan betah tinggal dirumah kami.”
Aku mengingatkan: “Bagaimana kalau dia terus berpura-pura?”
“Tidak mungkin, aku sangat memahaminya.”ucap Emilia dengan tegas.
Aku kembali berkata: “Orang itu bisa berubah, kamu tahu alasan mengapa adikmu kembali, kan?”
Emilia berpikir: “Apalagi, kalau bukan untuk menipu uang ibuku untuk dihamburkan?”
Aku menggelengkan kepala: “Emil, kalau tebakanku tidak salah, kepulangan adikmu kali ini ingin tinggal lama di rumah, tujuannya bukan hanya uang saja. Dia menginginkan rumah itu, dan semua uang orang tuamu. Ayah adalah wakil deputi, uang pensiunannya banyak.”
Emilia tidak sependapat denganku, berkata: “Suamiku, kamu berpikir terlalu banyak. Ibuku tidak akan memberikan padanya. Keponakan lebih dekat atau putri sendiri.”
Aku menganalisa lebih lanjut: “Kamu jangan lupa, dia pria satu-satunya di keluarga kalian. Meskipun ayah tidak menyukainya ketika masih hidup, tapi ketika dia membutuhkan yang, berapa kali tidak diberikan. Dia mewakili penerus keluarga kalian. Apakah benar dia bersedia berbakti kepada ibu, selang satu dua tahun setelah dia menikah dan memiliki cucu, kamu lihat apakah ibu akan mewariskan rumah dan uang kepadanya.”
Emilia menatapku dengan waspada, dan setelah berpikir sejenak: “Suamiku, analisismu sepertinya benar. Tidak bisa, aku harus mengingatkan kakak, rumah itu diberikan untuk kakak. Terkait uang ibu, aku harus memikirkan cara untuk menipunya.”
“Apa yang kamu katakan, uang ibu untuk masa tua nanti, bagaimana bisa kamu melakukan hal seperti itu.”aku tidak setuju dengan pikiran tidak berbaktinya.
Emilia memukulku, dan malah menganggapku bodoh: “Kamu bodoh ya, sekarang kita berhutang padanya lebih dari 200 juta, dia saja tidak memikirkan kita, kenapa aku tidak boleh berbuat seperti itu. Lagipula, bukannya kita tidak mau berbakti padanya. Kalau uangnya tidak jatuh ke tangan kita akan jatuh ke tangan Caesar.”
Aku berkata dengan serius: “Emil, aku peringatkan kamu, kamu tidak boleh berbuat seperti ini. Kalau suatu hari ibumu ingin memberikan uang kepada Caesar, kita baru pikirkan cara lain juga tidak terlambat.”
“Aku punya pemikiran sendiri.”Emilia berdiri dari sofa: “Suamiku, aku mandi dulu.”
Ada rapat pagi di sekolah, aku yang tidak ada kelas duduk sendirian di kantor, memikirkan apa yang terjadi tadi malam, dan semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa ada yang tidak beres. Inisiatif Emilia bukanlah masalah, tapi kemahirannya dalam proses itu membuatku curiga. Apakah rasa sakit pertama kali Emilia itu pura-pura? Dan untuk pertama kalinya, tidak ada noda darah, yang semakin memperkuat dugaanku.
Berpikir aku yang sengaja ditipu oleh Emilia, membuat suasana hatiku buruk. Kalau dia bisa jujur padaku, meskipun hatiku sedih, tapi setidaknya dia jujur. Penipuan itu seperti pisau, meninggalkan bekas luka yang dalam.
Sore hari aku ada satu kelas, setelah pulang aku menyadari Fenny meneleponku. Setelah pulang, Fenny memintaku untuk pergi makan malam.
Aku menolak: “Aku tidak pergi, di rumahku ada urusan.”
“Kenapa, buru-buru ingin pulang menemani istrimu?”tanya Fenny tersenyum.
Aku tidak menjawab secara langsung, tapi berkata: “Benar-benar ada urusan, lain hari aku traktir kalian makan.”
“Ya sudah kalau tidak datang.”ucap Fenny dengan marah sambil menutup telepon.
Sebenarnya bukan aku yang tidak bersedia pergi bermain, melainkan aku ingin tidak keluar dengan Fenny dan lainnya. Karena ketika Fenny mengajakku keluar, pasti ada Cherry. Aku tahu jelas niatnya. Aku dan Cherry sudah tidak mungkin lagi. Jadi lebih baik aku menghindari kontak yang terlalu sering dengan Cherry. Berhutang uang padanya itu hal lain lagi.
Setelah masuk ke dalam mobil, aku menelepon Emilia. Memintanya menungguku di depan gerbang, dan pulang bersama. Setelah menjemput Emilia, dia membungkuk dan menciumku.
Aku mengulurkan tangan menangkisnya: “Ini di luar, perhatikan image dirimu.”
“Image apa.”ucap Emilia tidak setuju: “Kita ini suami istri, aku yang menciummu apakah perlu begitu banyak aturan?”
Aku tidak mempedulikannya, dan menyetir mobil. Emilia sedang dalam mood yang baik dan bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah hari ini. Aku hanya bersenandung mengiyakan. Bukan tidak ingin berbicara dengannya, mengingat dia menipuku, hatiku merasa kesal. Meskipun aku tahu, selain memaafkannya tidak ada jalan lain lagi. Tidak mungkin bagi kami bercerai sekarang, pertama kami baru menikah dan kami masih memiliki perasaan satu sama lain. Kedua, ayah mertua baik padaku, dan mustahil bagiku untuk melakukan hal yang begitu kejam ketika dia baru saja meninggal. Tapi butuh waktu bagiku untuk melewati rintangan di hatiku.
Sesampainya di rumah, aku pergi ke ruang kerja dengan alasan aku belum menyelesaikan pekerjaanku. Emilia mengetuk pintu, aku juga tidak bersuara. Malam hari datang telepon memintaku pergi makan di rumah Anna, aku juga tidak pergi. Aku masak sendiri, dan lanjut main game di ruang kerja.
Setelah Emilia pulang, aku hanya bisa membukakan pintu untuknya. Dia merasa ada yang tidak beres, dan bertanya: “Suamiku, apa maksudmu, sepertinya aku tidak melakukan kesalahan?”
Aku menyalakan sebatang rokok: “Tidak ada, bukankah aku sibuk. Kamu nonton TV saja, jangan berpikir sembarangan.”
“Suamiku.”Emilia bersikap manja, duduk di lengan kursi, memeluk dan menciumku.
Setelah beberapa saat, aku bangkit. Sebelum menutup pintu, dia mengatakan Anna kembali mengungkit masalah uang hari ini.
Sudah sangat malam, aku baru kembali ke kamar tidur. Ketika bangun di pagi hari, sikapku terhadap Emilia tetap sama. Ketika dia melihat ini, dia juga mengabaikanku. Setelah mengajar di sekolah, aku pergi ke kantor polisi, menanyakan perkembangan kasus tersebut.
Jawaban dari kantor polisi tidak berubah sama sekali, mengatakan masih dalam penyelidikan. Setelah tersangka ditangkap, pasti akan memberitahuku.
Ketika aku pergi ke sekolah menjemput Emilia, dia berkata: “Suamiku, malam ini kamu harus pergi ke rumah ibu.”
“Untuk apa, apakah kamu ingin aku mendengar omelan dan ejekan adik dan ibumu.”ucap dengan dingin.
Emilia berkata: “Hari ini Caesar membawa pacarnya pulang, tidak mungkin kamu tidak pergi, kan?”
“Apa?”aku menghentikan mobil, menatapnya dan bertanya: “Cepat sekali dia?”
Emilia menganggukkan kepala: “Aku lihat sejak awal dia sudah memiliki niat jahat, ibu sudah menyetujui dia tinggal di rumah, mungkin kejadian selanjutnya tidak akan berbeda dengan yang kamu duga hari itu.”
Aku berkata dengan serius: “Kalau begitu kamu dan kakakmu harus pergi membujuk ibumu, Caesar orang seperti apa dia bukan tidak tahu.”
“Apa gunanya itu.” Emilia berkata: “Ibu sudah mengatakannya, kelak aku dan kakak tetap akan menikah, Caesar-lah anak dari keluarga Tanjung, ayah dan paman sudah meninggal. Dia memiliki kewajiban untuk menjaga Caesar. Anak Caesar ke depannya akan menjadi penerus keluarga Tanjung. Ibu sudah berkata seperti itu, apa yang bisa aku dan kakak katakan?”
Aku memberikan ide: “Kalau begitu kamu katakan pada ibumu, dirinya sudah berumur, lebih baik mempunyai tabungan, bagaimana pun uang itu seharusnya di simpan sendiri, sekalipun ingin memberikannya kepada Caesar, juga harus menunggu setelah ibu meninggal baru memberikannya.”
Emilia mencemberutkan bibir: “Beranikah aku mengungkit masalah uang? Begitu mengatakannya ibu pasti berpikir kita menginginkan uang itu. Kamu jangan lupa, kita masih berhutang padanya. Begitu memikirkan hal ini, hatiku menjadi kesal, uang sebanyak itu, kapan baru bisa melunasinya.”
“Kalau begitu kita tidak perlu mengurusi urusan keluarga lagi.”begitu membahas tentang uang, aku juga tidak tahu harus berkata apa, terlebih uang sebanyak itu dibebankan pada diriku.
“Bisakah kita tidak peduli, kalau begitu bukankah Caesar seorang diri yang akan menguasainya.”ucap Emilia dengan gelisah.
Aku berpikir sejenak, berkata: “Kalau begitu diskusikan dengan kakakmu, rumah itu harus diberikan kepadanya, tidak mungkin kita mendapat semua keuntungan dan membiarkan kakak menderita.”
“Aku juga berpikir seperti itu.” ucap Emilia mengangguk.
Aku terus menyetir, Emilia terkikik: “Suamiku, jangan bersikap dingin kepadaku lagi, oke, seolah aku melakukan suatu hal yang bersalah padamu.”
Aku tersenyum dingin.
Setelah masuk ke rumah mertua kami, kami berdoa untuk ayah. Ibu sedang sibuk di dapur dan suasana hatinya sangat baik. Tidak lama setelah kami sampai di rumah, Winda juga pulang, Emilia langsung menariknya ke kamar Winda.
Setelah mendengar ada yang mengetuk pintu, aku pergi membukakan pintu. Melihat Caesar membawa seorang gadis cantik, dan juga berpakaian modis.
“Rey, kenapa kamu ada di rumah kami? tanya Caesar dengan aneh.
Ini membuat orang sangat tidak nyaman, aku berkataa: “Apakah aku tidak boleh datang ke rumah ini?”
“Heh, aku baru berkata seperti itu. Kamu sudah tidak senang.”Caesar menggandeng gadis itu masuk ke dalam, memperkenalkannya: “Ini pacarku, Lilis.”
“Apa kabar.”sapaku.
“Apa kabar, abang ipar.” Lilis mengulurkan tangan kecilnya.
“Lihat dirimu yang sopan sekali.”Caesar menarik tangan Lilis, berkata: “Kamu panggil namanya saja, namanya Rey, ingat ya.”
“Caesar.”ucap Lilis sedikit tidak setuju.
Saat ini, ibu keluar, Caesar buru-buru menarik Lilis memperkenalkannya, lalu menyerahkan barang-barang yang dibelinya. Anna sangat senang. Memuji calon keponakan yang baru bertemu pertama kali.
“Rey, apa yang kamu lakukan, Caesar membawa pacarnya pulang, kamu yang menjadi abang ipar harus lebih rajin. Cepat tanyakan mereka ingin minum apa, teh, kopi semuanya ada, kamu bantu seduhkan.”perintah Anna.
Aku tidak tanya mereka ingin minum apa, langsung menuangkan dua gelas air untuk mereka, lalu memanggil Emilia dan Winda keluar. Kemudian mengambil buku dan melihatnya seperti yang biasa dilakukan ayah.
“Rey, Lilis ingin minum kopi, kamu pergi seduhkan segelas kopi.”ucap Caesar.
Aku meliriknya sekilas, yang menunjukkan apakah kamu tidak bisa pergi menyeduh sendiri.
Novel Terkait
Mr. Ceo's Woman
Rebecca WangThe Great Guy
Vivi HuangLoving Handsome
Glen ValoraAku bukan menantu sampah
Stiw boyMy Only One
Alice SongNikah Tanpa Cinta
Laura WangCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video