Cinta Yang Berpaling - Bab 11 Dinas
“Aku dengarkan kata ayah dan ibu saja.”aku menyetujuinya, dan tidak memberikan jawaban yang tegas pada masalah ini. Lagipula, cepat atau lambat tetap akan melahirkan.
Kedua mertuaku saling bertatapan, memujiku beberapa kata seolah sedang memainkan opera.
Dulu setelah makan di rumah mertua, aku akan membantu mencuci piring. Namun, kali ini ibu mertuaku langsung mendorongku menjauh. Aku duduk di samping Emilia, dia mencubitku beberapa kali, lalu menyeretku ke kamarnya. Marah padaku: “Rey,apa maksudmu, menyenangkan orang tuaku dengan menyetujuinya. Kita baru menikah, belum begitu menikmati hidup berduaan, kenapa langsung menginginkan anak. Kuberitahu kamu ya, aku tidak setuju, pergi beritahu orang tuaku, kamu tidak setuju.”
Melihat masalah Emilia dengan orang tuanya yang menggunakan diriku sebagai alasan, aku tidak punya pilihan lain selain bermuka dua, aku dengan tenang berkata: “Apa yang kamu khawatirkan, hamil atau tidak itu semua terserah kita berdua, selama kita berdua mengambil tindakan pencegahan dengan baik, tidak membiarkanmu hamil, apa yang bisa mereka lakukan pada kita.”
“Benar katamu.”Emilia masih tidak senang:“Seiring waktu, orang lain akan mengatakan aku tidak bisa hamil. Ayah dan ibu pasti akan memaksa kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Tiba saat itu, mengatakan kamu yang bermasalah atau aku?”
“Apa sampai sebegitu serius?” aku merasa apa yang dia pikirkan terlalu menakutkan.
Emilia dengan yakin, berkata: “Kalau tidak percaya kamu coba saja. Tiba saatnya kamu yang setiap hari diomeli ibu, atau aku yang setiap hari minum obat.”
Aku percaya dengan perkataannya. Dari sifat Anna, dia pasti bisa melakukannya. Aku menyela, berkata: “Kalau begitu, itu saja. Ketika mereka mengungkitnya sebisa mungkin kita menghindar. Ayo hamil dalam waktu satu tahun ini.”
“Pokoknya aku ingin nanti baru hamil, kalau kamu setuju dengan perkataan mereka, tiba saatnya aku yang akan mengatakan kamu sakit.”ucap Emilia mengancam dengan marah.
Aku tersenyum pahit, tidak membahas masalah ini lagi. Laipula, mereka bukan memaksa kita harus segera memiliki anak. Ketika segalanya sudah berada diujung jalan, baru mencari solusi juga tidak terlambat. Yang terpenting adalah menenangkan hati mertuanya dulu.
Aku menghibur Emilia lalu kembali ke ruang tamu dengan memeluknya. Setelah mendiskusikan masalah ini, suasana hatinya mulai membaik, lalu berkata kepada Anna, dia belum kenyang. Anna masih marah dan mengabaikannya.
Setelah beberapa hari, karena Cherry Onsu langsung kembali ke Gorton setelah mendaftar di sekolah, dan masih ada hal yang belum diproses di sana. Kami tidak memiliki kontak, jadi kami tidak pernah saling menghubungi. Namun, dari waktu ke waktu, aku memikirkan masalah yang tidak terlukiskan. Tapi, aku tetap bertahan tidak mencari Fenny Fodia meminta nomor teleponnya, terlebih aku sudah menikah.
Pada Minggu pagi ini, aku yang awalnya ingin tidur sampai siang, terbangun karena suara telepon Emilia. Aku samar-samar mendengar, kepala sekolah memintanya dinas bersama.
Aku yang mendengar ini, langsung tersadar, aku duduk menunggu dia selesai telepon, bertanya: “Guru di sekolah kalian perlu dinas?”
Emilia Tanjung berkata: “Tentu saja, kami melakukan eksprimen pada sekolah SD, terkadang harus mengunjungi sekolah lain."
Tadinya guru yang satu lagi yang pergi dinas, karena dia ada halangan, jadi digantikan oleh diriku. Bahkan harus dinas selama tiga hari. Setelah memahami apa yang terjadi, rasa kantuk mulai menyerangku, aku kembali berbaring melanjutkan tidurku. Emilia menguncang diriku: “Suamiku, jangan tidur, jam 9 aku harus pergi ke sekolah, cepat bangun.”
“Ingin aku yang mengantarmu?” tanyaku sambil menguap.
Emilia mengedipkan mata, mendorongku dan berkata: “Siapa yang ingin kamu antar, kamu lupa hari ini hari Minggu, aku baru selesai mens. Awalnya malam ini ingin …… hihi, sekarang tampaknya tidak bisa.”
“Kalau begitu pergilah.”aku bisa menahannya selama bertahun-tahun, tidak mungkin tidak bisa menahan beberapa hari ini.
Emilia berkata dengan marah: “Apa maksudmu, hal sepenting itu. Aku pergi mandi dulu, lalu giliranmu, kita……kamu mengerti, setelah itu aku pergi.”
“Aku benar tidak terburu-buru.”Aku ingin tidur lebih lama.
Emilia sama sekali tidak peduli, dirinya keluar, lalu selang beberapa saat, dia kembali ke tempat tidur, hatiku berdegup, dan bergegas ke kamar mandi.
Ketika kembali ke kamar, aku melihat baju tidur Emilia dilempar ke selimut, menutupi semua bagian di bawah leher. Saat aku mengangkat selimut, melihat tubuh anggunnya, aku mendengar detak jantung dan nafasku sendiri. Aku tiba-tiba energik, naik ke tempat tidur seperti harimau.
Setelah beberapa menit, aku menjauh dari tubuhnya dengan malu, karena aku sesak.
Emilia tidak mengatakan apa-apa, setelah berbaring selama dua menit, dia segera bangkit dan memakai pakaiannya. Dalam sepuluh menit Emilia mengemas semua barangnya, dan keluar dengan koper kecilnya. Aku yang membayangkan ekspresi dia yang sakit, hatiku sedih, aku segera mengenakan pakaian dan mengejarnya.
Emilia sangat marah: “Apa yang kamu lakukan?”
Aku merampas kopernya, berkata: “Aku antar kamu ke sekolah.”
“Tidak perlu, pulanglah, aku pergi sendiri.”Emilia merampas koper kecilnya.
“Aku antar.”Aku bersikeras, menyembunyikan koper kecilnya di belakangku.
Emilia sedikit marah, setelah kami bersitegang selama beberapa menit, Emilia kembali mendapat telepon dari kepala sekolah. Dia berkata: “Ok, ok, kamu antar aku.”
Di mobil, aku bertanya dengan prihatin: “Emil, kamu baik-baik saja kan?”
“Memangnya ada apa?”Emilia tampak bingung.
Aku berbisik di telinganya: “Bukankah tadi kamu sangat kesakitan?”
Emilia memukulku, ekspresinya tiba-tiba menjadi menyakitkan, lalu berbisik: “Sedikit, semua salahmu.”
“Semua salahku, salahku.”aku berulang kali mengakuinya, tapi dalam hatiku sangat gembira. Karena apa yang terjadi pagi ini benar-benar di luar dugaanku. Aku pikir dia memiliki hubungan dengan Hasel. Aku tidak menyangka dia meninggalkan hal terpenting bagi seorang wanita untuk diriku.
Sesampai di depan pintu sekolah, Emilia menghentikanku: “Kamu langsung pulang naik mobil ini pulang saja, aku pergi sendiri.”
“Ku antar sampai naik mobil, aku tidak terburu-buru.”aku merasa suasana hatiku sudah lama tidak pernah sebaik ini.
Emilia menghentakkan kakinya, berbalik berjalan ke arah sebuah mobil hitam di seberang jalan, aku mengikutinya dari dekat. Ketika Emilia mendekat, seorang pria berusia 30-an turun dari mobil hitam, baik tampang maupun penampilannya bak seorang artis.
“Pak Denny.”Emilia melambaikan tangan, menyapa: “Sudah membuatmu lama menunggu.”
Denny melangkah maju dua langkah dan mengangguk padanya sambil tersenyum. Aku juga ikut menyapa. Denny terkejut, bertanya pada Emilia siapa diriku. Emilia hanya mengatakan namaku.
Kesederhanaan ini membuatku sedikit tidak puas. Aku mengatakan identitasku. Denny berjabat tangan denganku, berkata dengan nada meminta maaf tidak dapat menghadiri pernikahan kami. Ketika kami menikah, terjadi sesuatu di kampung halamannya.
Aku menjawab dengan sopan. Mereka buru-buru mengejar pesawat, jadi langsung naik ke mobil. Dalam perjalanan pulang, hatiku merasa tidak nyaman. Dalam benakku pimpinan di sekolah mereka semuanya orang tua. Kenapa tiba-tiba muncul seorang pimpinan muda. Ditambah, sikap canggung Emilia ketika mengantarnya membuat hatiku tidak senang. Dan mereka berdua dinas bersama, aku yang memikirkannya merasa aneh. Tapi aku tetap tidak mencurigai mereka memiliki hubungan. Lagipula, Emilia tidak menunjukkan tanda-tanda itu.
Sesampai di rumah, aku membuka selimut, mencari dengan cermat di seprai, tapi tidak menemukan apa pun. Aku membalikkan selimut dan tidak menemukan apa pun. Ini membuatku sedikit panik. Ketika kami berhubungan, dia terlihat sangat menderita, bukankah seharusnya dia memiliki noda darah? Semakin memikirkan perubahannya, aku merasa Emilia semakin tidak beres. Mungkinkah Emilia berbohong padaku?
Aku bergumul dengan keraguan semacam ini sepanjang hari, tapi masalah ini tidak bisa dimengerti hanya mengandalkan diriku seorang. Tanyakan saja kepada orang lain, namun aku tidak menemukan orang yang cocok. Hingga akhirnya, hanya bisa menyerah.
Sore hari, tiba-tiba aku mendapat telepon dari Fenny mengajakku makan, dan mengatakan Cherry sudah kembali dari Gorton. Malam ini anggap saja sebagai pertemuan formal dengannya, dia juga mengajak banyak teman. Aku merasa aku tidak cocok terlalu sering berhubungan dengan Cherry, oleh karena itu aku menolaknya. Fenny bertanya padaku apakah tidak berani keluar. Aku mengatakan Emilia dinas. Aku yang belum selesai berbicara, Fenny tahu Emilia tidak ada di rumah, makanya dia mengajakku main. Kalau tidak pergi, dia akan datang menjemputku. Aku tidak punya pilihan selain setuju.
Setelah makan, tentu saja pergi ke KTV. Dalam perjalanan, Fenny memberitahuku, Cherry akan mencari rumah besok, dirinya ada urusan, jadi memintaku untuk menemaninya.
“Rey, apakah kamu ada kelas besok?”tanya Cherry pelan.
Ketika Fenny bertanya, aku ingin menolaknya, tapi karena Cherry sendiri yang mengatakannya, aku tidak tahu harus bagaimana menolaknya. Bagaimanapun, aku menyembunyikan rasa bersalah padanya selama ini. Lalu aku berkata: “Baiklah, hari senin aku hanya memiliki satu kelas, setelah itu aku akan menemanimu mencari kamar.”
“Ok, terima kasih.” ucap Cherry.
Tiba-tiba aku teringat tentang minum-minum hari ini, jadi aku berkata kepadanya: “Kamu katakan pada Fenny, malam ini aku tidak minum lagi, kalau tidak besok aku akan tidur sampai siang.”
“Serahkan padaku.”ucap Cherry.
Aku tidak tahu bagaimana Cherry mengatakannya pada Fenny, sesampai KTV, Fenny benar-benar tidak memintaku minum, orang lain yang datang untuk bersulang, dia juga yang membantu kami menghadangnya. Aku dan Cherry hanya duduk, terkadang mengobrol sebentar. Setelah itu, Fenny tidak tahan melihatnya lagi, lalu memutar sebuah lagu “Sayangnya Bukan Kamu”dan meminta Cherry untuk menyanyikannya. Aku duduk di sebelah dengan canggung. Bagaimana pun, aku merasa Fenny sengaja melakukannya. Kalau sebelum aku menikah, dia membujuk aku dan Cherry untuk rujuk kembali, itu tindakan yang masuk akal dan benar, tapi sekarang aku sudah menikah, bagaimana pun tidak pantas melakukan ini.
Setelah keluar dari KTV, Fenny menggatakan ingin mengantarku pulang, aku menolaknya dengan tegas, karena aku takut dia membawaku ke tempat lain.
“Rey, bagaimana caraku menghubungimu besok?” tanya Cherry.
“Oh.” aku mengeluarkan hp: “Berapa nomormu?”
Cherry mengatakan nomornya, lalu aku menelepon ke nomor itu. Dia segera menyimpan nomorku. Aku langsung menyimpan hp ke saku. Sesampai di rumah, aku baru mengeluarkan hp-ku, melihat nomor telepon Cherry, aku sedikit ragu, kalau menyimpan nomornya dengan nama aslinya, lalu dilihat oleh Emilia, dia pasti akan bertengkar denganku. Setelah memikirkannya sebentar, aku pikir karena dia sudah menjadi konselor di sekolah kami, aku akan menyimpannya dengan nama “Konselor Tanjung”.
Aku pergi ke ruang kerja, menyalakan komputer dan menelepon Emilia. Alhasil tidak dijawab. Aku terus menelepon sampai lima kali baru tersambung. Dia mengatakan dirinya sedang bernyanyi diluar, suara di dalam terlalu keras jadi tidak kedengaran. Lalu bertanya apa yang sedang aku lakukan.
Novel Terkait
His Soft Side
RiseNikah Tanpa Cinta
Laura WangGadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku
Rio SaputraBalas Dendam Malah Cinta
SweetiesRahasia Istriku
MahardikaCutie Mom
AlexiaDewa Perang Greget
Budi MaCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video