Cinta Yang Berpaling - Bab 40 Panggilan Video
Aku duduk di depan komputer, Winda duduk di sandaran tangan kursi, dan tangannya berada di belakang kursi. Dia hari ini terlihat lebih santai dan intim dari sebelumnya, membuatku sedikit tidak nyaman. Tapi sepertinya aku bisa menganalisis beberapa alasan. Setelah mabuk hari itu, Winda mengatakan sesuatu yang mirip dengan sebuah pengakuan, ditambah dia tahu bahwa hubungan Emilia dan aku telah terjadi perubahan, dan melihat tingkahnya hari ini, sepertinya itu sudah bisa dibayangkan.
Tapi aku tahu betul di dalam hatiku, Winda akan selalu menjadi seorang kakak. Aku tidak pernah berani untuk terlalu memikirkannya. Bahkan jika aku dan Emilia bercerai, aku juga tidak akan berani untuk mengejarnya. Terlepas dari alasan untuk meninggalkan Keluarga Tanjung, aku masih sangat berhutang budi pada Cherry Onsu.
Di pertengahan waktu, Winda bahkan menuangkan air untukku. Saat aku sedang menulis, dia hanya diam duduk di samping. Saat aku fokus menulis, aku bahkan lupa dia ada di samping.
“Rey.” Winda tiba-tiba menyentuhku. Aku sedikit menggigil, lalu berbalik dan menatapnya. Dia berkata, “sudah hampir jam lima, aku akan menelpon Emil. Malam ini kalian datanglah ke rumah untuk makan malam bersama.”
“Oke.” Aku setuju. Jika sibuk dengan berbagai hal, wajar saja jika bisa dapat konsumsi makanan gratis.
Setelah menulis beberapa saat, pinggang terasa sedikit sakit, aku meregangkan pinggang. Winda memijat pundakku.
Aku menolak dengan pelan dan berkata, “kak, aku baik-baik saja. Kamu duduk terus di sini pasti sangat bosan. Atau kamu pulang dulu saja, nanti aku akan kesana.”
“Tidak apa-apa.” Kata Winda sambil meneruskan pijatannya, “aku juga akan bosan jika pulang terlebih dahulu, biarkan aku tinggal bersamamu sebentar.”
“Baiklah.” Kataku sambil tersenyum dan melanjutkan urusanku.
Saat waktu menunjukkan jam setengah enam, Emilia menelpon dan berkata dia ada di lantai bawah. Dia langsung pergi ke rumah ibu mertuanya, dan memintaku untuk pergi ke sana.
Setelah menutup telepon, aku mematikan komputer, lalu berdiri, “Kak, Emil sudah pulang, ayo kita pergi.”
“Iya.” Winda bangkit dari sandaran tangan kursi, tapi dia bukannya berdiri malah terduduk di lantai.
Aku buru-buru menariknya, “kak, kamu tidak apa-apa?”
Winda sedikit mengernyit, “kakiku mati rasa.”
Aku berdiri disana, sedikit tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Winda berkata dengan cemas, “kamu ini bodoh, cepat gendong aku ke sofa, aku tidak bisa merasakan kakiku.”
Aku mengangkatnya dari lantai, dan setelah meletakkannya di sofa, aku berjongkok dan memijat kakinya. Setelah memijatnya sebentar, aku mengangkat kepalaku dan bertanya, “Kak, apakah sudah baikan?”
“Belum, pijat lagi sebentar.” Kata Winda dengan sedih.
Dia memakai rok, kakinya sama dengan Emilia, mereka termasuk tipe berkaki panjang. Tapi Winda lebih tinggi beberapa sentimeter dari Emilia. Sepasang kakinya yang panjang dan ramping dan juga lucu. Sambil memijat kakinya, aku sedikit merasa malu.
Saat ibu mertua menelpon, Winda menarik kembali kaki panjangnya. Setelah menutup telepon, Winda berkata, “ayo pergi, nanti kamu duluan yang naik, aku akan pulang beberapa menit kemudian.”
“Kita tidak pergi bersama kah?” tanyaku heran.
Winda tersenyum, “lupakan saja, selamatkan istrimu, jangan cari masalah lagi.”
“Baiklah.” Aku meraih telepon di atas meja dan menunggunya memakai sepatu dan pergi keluar bersama.
Kami berpisah di lantai bawah rumah kami, aku sampai di rumah ibu mertua sepuluh menit kemudian Winda baru datang. Di atas meja makan, aku mengatakan masalah bahwa sabtu ini aku akan pergi merekrut murid, tujuannya adalah membiarkan Emilia untuk tinggal.
“Pergilah, aku akan mengurus Emil.” Ibu mertua berkata, “merekrut murid adalah pekerjaan yang bagus. Tapi saat kamu mendapatkan hadiah itu, ingatlah untuk mengembalikan uangku.”
“Bu, jangan khawatir, selama aku punya uang, aku akan segera mengembalikannya.” Kataku berjanji.
“Suamiku, kamu akan pergi dengan siapa?” tanya Emilia sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Dengan siapa lagi? Ya dengan rekan kerja. Jika aku katakan, kamu juga tidak akan mengenalnya.” Demi mengalihkan topik, aku berkata lagi, “tenang saja, aku akan membawakanmu hadiah saat pulang nanti.”
“Terima kasih, Suamiku.” Kata Emilia sambil tersenyum.
“Hei.” Caesar menatap leher Emilia. “Kalian berdua terlihat semakin mencintai.”
“Apa kamu punya pendapat?” tanyaku dengan sengaja.
Caesar terkekeh, “kakak ipar, melihat apa yang kamu katakan, aku berharap kalian akan semakin membaik. Mari kakak ipar, makanlah.”
Sejak kejadian terakhir kali itu, sikap Caesar di depanku berubah dengan pesat.
Setelah makan malam, Emilia bersikeras mengajakku jalan-jalan. Saat jalan-jalan, dia menerima telepon dari seorang teman lamanya.
“Reuni teman sekelas. Baiklah.” Emilia berkata dengan gembira, “apa, oh... aku tahu. Baiklah, sampai jumpa hari sabtu.”
Aku melihat Emilia dan bertanya, “Ada reuni teman sekelas sabtu ini?”
“Iya.” Emilia mengangguk.
“Apakah bisa mengajak anggota keluarga?” tanyaku dengan sengaja.
Emilia menggelengkan kepalanya, “siapa yang akan mengajak anggota keluarga, jika mengajak anggota keluarga maka akan berbeda lagi artinya. Bukankah jumat ini kamu akan pergi? Apa kamu masih ingin ikut aku pergi ke reuni teman sekelas?”
Aku berkata, “Tidak. Saat kalian tahun lalu mengadakan reuni teman sekelas, dengar-dengar ada dua hubungan lama yang bersemi kembali, dan juga ada juga yang bercerai?”
“Iya. Kamu masih ingat ini, aku saja sudah lupa.” Kata Emilia sedikit linglung.
Setelah melakukan panggilan telepon tadi, dia sedikit menjadi bingung. Aku bertanya dengan ragu-ragu, “Reuni teman sekelas kalian ini, apakah Hasel juga akan ikut?”
Emilia ragu sejenak, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata, “aku bagaimana bisa tahu, sejak aku bersama denganmu, aku tidak pernah berhubungan lagi dengannya. Hei, Rey, ternyata kamu menyebutkan kalau ada temen sekelas yang hubungannya bersemi kembali karena hal ini. Jangan khawatir, bahkan jika dia kembali, aku tidak akan mengatakan sepatah katapun kepadanya.”
Aku tersenyum. Dia mungkin tidak tahu apakah Hasel sudah kembali, tapi dia datang, aku tidak akan percaya tanpa mengatakan ini.
Setelah berjalan-jalan, kami memutuskan pulang ke rumah. Setelah selesai melempar Emilia, aku menggunakan baju tidur, saat hendak pergi, Emilia menarikku, “Suamiku, kenapa kamu pergi?”
Aku berkata, “Aku harus segera menulis makalah.”
Emilia mengatupkan mulutnya dan berkata dengan tidak senang, “kalau begitu pergilah. Malam ini, kamu tidur di ruang tamu saja.”
Aku meliriknya dengan penuh nafsu, lalu mengangkat dagunya, “bagaimana bisa tidur di ruang tamu? Setelah selesai menulis, aku akan merepotkanmu lagi.”
“Menyebalkan.” Kata Emilia sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Aku berjalan menuju ruang kerja, lalu duduk, dan menyalakan sebatang rokok terlebih dahulu. Melihat asap di udara, memikirkan adegan melempar Emilia ke tempat tidur barusan, ada perasaan balas dendam yang membelit di hatiku. Sebenarnya, aku berharap dalam hati bahwa aku salah dengar hari itu. Jika dipastikan Emilia telah melakukan sesuatu yang salah kepadaku, itu bukan hanya masalah perceraian sederhana, tapi juga pukulan dan luka bagi harga diriku sebagai seorang pria. Tapi, ada beberapa poin yang mencurigakan tidak memungkinkan ku untuk tidak terus berspekulasi.
Setelah selesai merokok, aku membuka dokumen dan melanjutkan menulis makalah. Belum menulis satu katapun, tiba-tiba Winda mengirimkan QQ.
Winda, “masih menulis makalah?”
Aku membalasnya dengan mengirimkan gambar tangan berbentuk “OK”. Winda langsung melakukan panggilan video.
Setelah terhubung, aku melihat Winda dengan mengenakan baju tidur. Baju di bahunya yang tipis memperlihatkan bahunya yang mulus dengan tulang selangka yang dalam. Desain deep V pada baju tidurnya bahkan lebih menawan dan tidak cocok untuk digunakan anak-anak, rambutnya yang panjang menambah tampilan menawannya.
Winda memberi isyarat kepadaku dengan tangannya, “aku tidak bisa tidur, karena sudah melihatmu, makanya aku mencarimu untuk mengobrol.”
“Aku masih menulis makalah.” Kataku menggerutu.
Winda berkata, “Kamu tulis aja, aku tidak akan mengganggumu.”
Aku berkata, “Kak, kalau begitu aku matikan ya.”
“Jangan dimatikan.” Kata Winda dengan tergesa-gesa, “kamu teruskan menulis, aku benar-benar tidak akan mengganggumu, aku terlalu bosan sendirian. Mendengarkan sedikit suara akan lebih baik.”
Novel Terkait
Cinta Pada Istri Urakan
Laras dan GavinHabis Cerai Nikah Lagi
GibranMarriage Journey
Hyon SongWanita Yang Terbaik
Tudi SaktiCinta Yang Berpaling×
- Bab 1 Mempelai Perempuan Menghilang
- Bab 2 Pengganti
- Bab 3 Kesalahpahaman Pertama
- Bab 4 Pemeriksaan Kamar
- Bab 5 Keluarga
- Bab 6 Meminjam Uang
- Bab 7 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (1)
- Bab 8 Pertemuan Kembali Dengan Cinta Pertama (2)
- Bab 9 Mabuk
- Bab 10 Canggung
- Bab 11 Dinas
- Bab 12 Curiga
- Bab 13 Keadaan Darurat
- Bab 14 Kecelakaan 1
- Bab 15 Kecelakaan 2
- Bab 16 Bangga
- Bab 17 Tamu Tidak Diundang
- Bab 18 Salah Paham
- Bab 19 Pipi Yang Berlinangan Air Mata
- Bab 20 Tersesat
- Bab 21 Bercerai
- Bab 22 Bercerai? (2)
- Bab 23 Tidak menjawab telefon
- Bab 24 Tidak menyukai (1)
- Bab 25 Tidak menyukai (2)
- Bab 26 Hal yang tidak berarti
- Bab 27 Dekat
- Bab 28 Perjodohan
- Bab 29 Pemikiran lain
- Bab 30 Membingungkan
- Bab 31 Tidak Boleh Sembarangan Melihat
- Bab 32 : Kebohongan Putih
- Bab 33 Menyatakan Perasaan
- Bab 34 Bercerai Tanpa Membawa Harta
- Bab 35 Tidak Akan Menyerah
- Bab 36 Urusan Rumah Sulit Diselesaikan
- Bab 37 Diberi Hati Minta Jantung
- Bab 38 Serangan Balasan
- Bab 39 Sulit untuk dijelaskan
- Bab 40 Panggilan Video