Harmless Lie - Bab 8 Waktu Tidak Tersisa Banyak
Whitney Huang tidak menjawab apa-apa, ia hanya menatap Tyson Xu sambil tertawa.
Tyson Xu semakin marah. Tatapannya seperti api yang berkobar, ia benar-benar sudah mencapai batas kesabarannya.
Tiba-tiba telepon Tyson Xu berdering. Ia mengambilnya dari kantong, lalu mengecek layar. Ternyata asistennya yang menelepon.
Dengan terpaksa ia melepas cengkramannya pada leher Whitney Huang. Ia berbalik badan lalu pergi ke balkon untuk mengangkat telepon.
“CEO Xu, situasi sungguh buruk. Hari ini harga saham kita naik hingga mencapai batas atas. Saya rasa ini sangat berbahaya, sangat mungkin bisa berlanjut hingga terjadi kebangrkutan.”
“Apa?” Tyson Xu memicingkan matanya. Ia merasa dirinya tengah berada dalam masa-masa sulit. Semua hal di sekitarnya terasa semakin buruk hari demi hari.
“Begini, beberapa hari terakhir salah satu merek milik grup perusahaan kita mengalami masalah. Karena tidak diselesaikan dengan segera, masalah ini menjadi berlarut-larut. Awalnya kami pikir ini bukan sesuatu yang perlu dipusingkan, jadi kami tidak melaporkannya pada Anda. Tetapi, CEO Xu, situasi kali ini saya takut akan membawa dampak yang lebih besar lagi.”
“Tulis daftar semua masalah di selembar kertas, lalu taruh kertas itu di ruang kerja saya. Saya akan segera ke kantor untuk membereskannya.” Tyson Xu mematikan telepon, langsung meninggalkan villa dan menyetir mobilnya ke kantor.
Whitney Huang ada di dalam rumah. Mendengar kata-kata Tyson Xu, sudut bibirnya terangkat. Ia tersenyum, tetapi air matanya juga mengalir membasahi lantai.
Bertahun-tahun yang lalu, saya pernah menyelamatkan nyawamu dari badai salju. Saya sangat mencintaimu dan tidak berharap kamu mencintai saya balik, tetapi kamu malah tega menginjak-nginjak harga diri saya.
Dengan sikapmu yang seperti ini, sebelum saya mati, saya harus membuatmu sengsara.
Ini agar kamu membenci saya seumur hidup, setidaknya membuatmu tidak bisa melupakan diri saya.
Hidungnya kembali mengeluarkan cairan hangat. Whitney Huang sudah terbiasa. Ia dengan tenang membasuh darah yang keluar, begitu terus berulang-ulang.
Tiga hari kemudian, karena sudah tidak tahan lagi dengan genangan darah yang selalu muncul setiap hari di depan pintu rumahnya, Bailey Huang pergi mencari petugas keamanan.
Ketika melewati pos keamanan villa Whitney Huang, Bailey Huang kebetulan melihat wanita itu.
Bailey Huang langsung buru-buru bersembunyi, mengamati Whitney Huang yang memanggil taksi lalu pergi entah ke mana.
Bailley Huang agak ragu, tetapi akhirnya memutuskan membuntuti taksi itu dengan mobilnya.
Taksi yang ditumpangi Whitney Huang berhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Wanita itu langsung turun dan melangkah cepat ke dalam.
Whitney Huang memakai masker dan diam-diam mengikutinya. Ia melihat Whitney Huang mengambil nomor antrian lalu pergi ke area dokter spesialis darah.
Di dalam ruang dokter, Whitney Huang menceritakan kondisi tubuhnya beberapa hari ini pada dokter. Ia sebenarnya hanya ingin tahu ia masih bisa hidup berapa lama. Ia berharap bisa bertahan setidaknya hingga momen kejatuhan nama baik dan bisnis Tyson Xu datang. Ia ingin melihat mimpi Bailey Huang hancur berkeping-keping, juga ingin melihat Tyson Xu membencinya seumur hidup.
Kematian seperti ini lah yang baru ada nilainya!
Dokter mengamati laporan pemeriksaannya dengan seksama. Wajah dokter itu muram. Ia beberapa kali terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ia menahannya.
Bibir Whitney Huang pucat pasi, ia tahu tubuhnya sudah kekurangan banyak sel darah merah. Ada beberapa bagian tubuh lainnya yang juga terasa nyeri. Ia memperingatkan dirinya sendiri, waktunya tidak tersisa banyak.
Dokter menaruh laporan pemeriksaannya, dengan serius berkata: “Whitney Huang, apakah kamu sedang ada masalah? Kamu bisa membicarakannya dengan saya, rumah sakit kami akan berusaha membantumu sekuat tenaga. Kalau itu masalah uang, rumah sakit kami juga bisa menggalang donasi!”
“Dokter, saya hanya ingin tahu, saya masih bisa hidup berapa lama?” Setiap kali datang ke rumah sakit, ia pasti hanya menanyakan pertanyaan ini. Ia hanya peduli pertanyaan ini.
Wajah dokter semakin muram. Sambil membentuk angka tiga dengan jari-jarinya, ia menggeleng, “Melihat kondisimu sekarang dan mempertimbangkan keenggananmu menjalani penyembuhan, paling lama tiga bulan!”
Whitney Huang menarik sudut bibirnya. Tiga bulan, cukup!
“Tolong dokter bantu saya buatkan resep obat. Saya berharap bisa hidup hingga tiga bulan,” ujar Whitney Huang. Suaranya datar, siapa pun yang mendengarnya akan merasa iba.
Dokter membuang nafas panjang. Ia hanya bisa memenuhi permintaan Whitney Huang. Wanita itu kemudian membayar tagihan obat, lalu pergi meninggalkan rumah sakit.
Novel Terkait
Beautiful Love
Stefen LeeAku bukan menantu sampah
Stiw boyMi Amor
TakashiKamu Baik Banget
Jeselin VelaniHarmless Lie×
- Bab 1 Kanker
- Bab 2 Aku sudah pulang
- Bab 3 Jangan Pernah Muncul di Hadapanku Lagi
- Bab 4 Tidak Akan Bercerai
- Bab 5 Rasa Sakit Karena Kehilangan
- Bab 6 Sakit yang Semakin Parah
- Bab 7 Pembalasan Dendam
- Bab 8 Waktu Tidak Tersisa Banyak
- Bab 9 Selamatkan Saya
- Bab 10 Penyakit Mental
- Bab 11 Kamu sendiri yang menginginkannya
- Bab 12 Bertemu Orang Lama
- Bab 13 Bantu Aku Merahasiakannya
- Bab 14 Kerobohan Bailey
- Bab 15 Kamu Tidak Pantas
- Bab 16 Masih Bisa Hidup Berapa Lama Lagi
- Bab 17 Pikiran Kosong
- Bab 18 Penolakannya
- Bab 19 Berkeras Hati untuk Bercerai
- Bab 20 Menolak Kemoterapi
- Bab 21 Tidak Ingin Berjanji
- Bab 22 Membawamu Pergi
- Bab 23 Harus Mati
- Bab 24 Dimana Whitney
- Bab 25 Ternyata Itu Benar
- Bab 26 Dia Hamil
- Bab 27 Hatinya Terasa Pilu
- Bab 28 Lompat Ke Danau
- Bab 29 Kelembutannya
- Bab 30 Sulit Untuk Tenang
- Bab 31 Aku adalah suaminya
- Bab 32 Membongkar Kebohongan
- Chapter 33 Bukan Mimpi
- Bab 34 Tolong Aku
- Chapter 35 Dia Sudah Gila
- Bab 36 Minyak yang Telah Habis
- Bab 37 Anak pun Tiada
- Bab 38 Segera Sadarlah
- Bab 39 Metode Bailey Huang
- Bab 40 Dia Telah Mati
- Bab 41 Penyesalan
- Bab 42 Amarah
- Bab 43 Berikan Kotak Itu Kepadaku
- Rasa 44 Rasa Original
- Bab 45 Menggali Makam
- Bab 46 Siapa Namamu?
- Bab 47 Dia Masih Hidup
- Bab 48 Tidak Perlu Diajarkan
- Bab 49 Ingin Ayah