Love In Sunset - Bab 17 BATU NISAN

Terdengar suara benda jatuh, dokter dengan bingkai kacamata berwarna emas itu pun terlempar keluar. Dia melompat menuruni ranjanngnya, menekan tubuh itu ke atas lantai, tangannya terulur mencekik leher dokter itu, dia seperti seekor monster yang sedang mengaum: “Kenapa kamu tidak membiarkannya untuk hidup, kalian telah membunuhnya, dia berhutang padaku, sekarang aku harus mencari siapa untuk mengembalikan..........”

Vincent kembali mengangkat tinjunya dengan tinggi, belum sempat mendarat ke wajah dokter tersebut, dokter yang lainnya telah datang menghalanginya, dia bangkit berdiri, menghajar semua orang seperti sedang kerasukan, monster yang sedang marah itu, memukul dengan menggila, seperti seekor monster.

Dia memiliki tangan kaki yang panjang, dan memegang sabuk hitam taekwondo, dokter-dokter itu tentu bukan tandingannya. Seketika, suara erangan kesakitan terdengar dimana-mana, situasi kamar pasien menjadi sangat berantakan.

Seseorang berlari terburu-buru memanggil penjaga keamanan, tetapi penjaga keamanan itu belum tiba hingga saat ini, dari awal lukanya sudah terbuka, darah segar mengalir dari lukanya itu, warna merah telah mengotori baju pasien kotak-kotaknya yang berwarna biru.

Bayangan tubuhnya yang tinggi itu kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya terdengar suara yg sangat keras dan tubuhnya terjatuh diatas lantai yang dingin.

Awan gelap diatas kepala terus bergerak hingga ke ujung hari, begitu gelap hingga membuat orang-orang kesulitan untuk bernafas.

Sebuah kilat membelah diatas kepala, seperti ingin membelah langit menjadi dua. Diiringi suara petir yang bergemuruh, turun tetesan air yang deras dari langit, jatuh keatas batu nisan yang berwarna pucat itu.

Ditengah batu nisan itu terpajang foto Christine yang tersenyum dengan indah, bola matanya memancarkan sinar yang begitu menyilaukan seperti anggur hitam.

Disisi kanan batu nisannya terdapat batu nisan kecil, ditengahnya terpajang foto Zayn.

Latar belakang yang berwarna hitam putih, pria kecil itu tersenyum dengan indah, bola mata yang besar itu memancarkan sinar yang sangat memukau.

Foto dua orang yang tersenyum dengan begitu indah terlihat sangat berbeda dengan suasana sekitar yang begitu suram, senyum yang begitu menyilaukan menyakiti setiap orang yang mencintai mereka.

Wajah Lucy memucat, seperti tidak ada aliran darah dibibirnya, dalam waktu satu malam, dia seperti bertambah tua belasan tahun, dari gulungan rambut hitamnya mencuat beberapa rambut putih.

Jika tidak merasakan sendiri, tidak akan ada seorangpun yang dapat memahami rasa sakitnya dia yang mengantarkan kepergian anaknya.

Tubuh kurus dan lemahnya menggigil ditengah hembusan angin kencang, Henry memegang payung dengan satu tangannya, satu tangan yang lainnya merengkuh Lucy kedalam pelukannya,

Pria yang pernah kuat seperti baja itu, wajahnya saat ini juga terlihat menua dan lelah, dan kesedihan yang sulit ditutupi.

Merasakan kehangatan dari pelukan seorang pria, Lucy mulai memejamkan matanya, air mata yang telah ditahannya dari tadi akhirnya tanpa bisa dikendalikan mengalir turun dari kelopak matanya: “Ayah Christine, kami bersalah pada putri kami.”

Suaranya menjadi serak, cuaca pun berkabut seperti mendukung rasa sakit dihatinya.

Pria itu mempererat rangkulannya dibahu wanita itu, urat-urat diatas punggung tangan yang pucat itu terlihat muncul, matanya terdapat air mata yang menyiratkan penyesalan dan kehancuran.

“Paman, bibi, kumohon kalian jangan terus bersedih. Jika kalian terus seperti ini, Christine tidak akan bisa beristirahat dengan tenang.”

Yuda mengenakan sepasang setelan jas, terbuat dari kain berkualitas, namun dibagian dadanya terdapat kerutan, wajahnya pucat, sisi rahang dan dagunya muncul kumis berwarna putih.

Sepasang mata coklat yang berkabut sarat akan kesedihan.

Dia memegang sebuah payung hitam, berjalan kearah orang tuanya Christine. Tetesan air hujan jatuh membasahi payung itu, kemudian mengalir turun, hujan yang deras tidak mampu menutupi matanya yang penuh dengan kesuraman dan rasa tertekan.

Orang-orang kelas atas yang memiliki kedudukan biasanya disaat-saat seperti ini berkumpul di kota Z, ada beberapa masalah tidak dapat diungkapkan didepan semua orang, terlebih lagi pria yang berdiri jauh disana yang seluruh tubuhnya memancarkan aura yang begitu dingin.

Seiring dengan dia berjalan mendekat, Henry merengkuh tubuhnya Lucy, yang tanpa sadar mundur satu langkah. Tatapan mata yang suram itu muncul setitik kewaspadaan.

Nafas Lucy tersendat-sendat, dengan terburu-buru menepis air mata yang ada diujung matanya.

Yuda dengan terpaksa menggerakan sudut bibirnya, sedikit melemparkan tatapan curiga pada pria yang berdiri tidak jauh darinya, tatapan matanya tersarat akan kebanggaan akan dirinya yang tak ia tunjukkan.

Dia memutar balik tubuhnya, berdiri sejajar dengan orang tuanya Christine, mengulurkan tangannya merangkul bahu Lucy.

Lucy segera menghindar, namun tatapannya yang penuh dengan peringatan menghentikan gerakannya.

Para tamu pelayat satu per satu datang untuk mengungkapkan rasa bela sungkawa mereka, orang tua Christine menahan kesedihan mereka, dengan mata yang memerah membungkukkan badan menghormat kepada para tamu.

Yuda berdiri dengan diapit oleh kedua orang, dengan ekspresi yang begitu sedih, cukup menggambarkan sikap seorang tunangan.

Vincent berdiri ditempat yang cukup jauh, tubuhnya mengenakan jas berwarna biru muda, berbeda dengan lingkungan sekitarnya yang suram.

Dia menatap segalanya yang ada didepan matanya dengan dingin, dengan ekspresi wajah yang sangat tenang.

Dia tidak mempercayai bahwa wanita itu telah meninggal. Bagaimana bisa wanita busuk itu meninggal dengan begitu mudahnya?

Christine, jangan mengira dengan begini kamu bisa kabur dariku, bahkan jika harus menggali sedalam tiga kaki, aku tetap akan menemukanmu, kamu telah berhutang padaku, kamu harus mengembalikannya!

Tangan yang menjuntai disisi tubuhnya mengepal menjadi sebuah tinjuan, hingga ketika Haris muncul, saraf-sarafnya yang menegang menjadi sedikit tenang.

“Bagaimana dengan hasil penyelidikannya?”

Dia sedikit menolehkan kepalanya, tetesan air satu per satu mengalir turun dari payung hitamnya, bersatu menjadi seperti sebuah tirai, menutupi tatapan matanya yang terlintas ketegangan.

Novel Terkait

Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu
My Beautiful Teacher

My Beautiful Teacher

Haikal Chandra
Adventure
3 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
3 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Cinta Presdir Pada Wanita Gila

Tiffany
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu