Menaklukkan Suami CEO - Bab 4 Arabelle Jovanka
“Menikahlah dengan cucuku.”
Sebuah pernyataan tegas tanpa ada kata penolakan menggema di telinga Arabelle Jovanka. Tangannya yang sedang memegang bidak catur berhenti di udara. Saat ini perempuan berambut cokelat terang itu tengah menatap lelaki tua di depannya dengan kedua manik mata cokelat terang miliknya.
Menikah dengan cucunya?
Mengulang pernyataan lelaki tua itu menjadi sebuah pertanyaan besar di benak Arabelle atau perempuan yang akrab dipanggil Belle oleh orang-orang di kediaman Alterio.
Belle masih termenung dengan ekspresi membosankan yang senantiasa diperlihatkan setiap saat pada wajah cantiknya. Siapa yang akan menyangka kalau permainan catur ini akan menjadi guntur baginya ketika setengah permainan baru berjalan. Namun, lelaki tua yang duduk dengan wibawa dari seorang pemimpin itu tidak sabar untuk melontarkan pernyataan itu padanya.
“Belle, apakah kamu menolak?” Dominic Alterio bertanya setelah beberapa detik Belle tidak menyahut. Dia berpikir kalau Belle akan menolak. Dominic tidak sabar mendengarkan pendapat Belle—calon istri yang telah lama dia tempa untuk cucunya—Liam Alterio—pewaris tunggal dari kerajaan bisnis Alterio.
Belle bergeming, dia belum tahu bagaimana harus menanggapi pernyataan Dominic yang tiba-tiba itu. Belle selalu bisa dengan cekatan menjawab setiap pertanyaan, memberikan pendapat dari setiap pernyataan yang diberikan oleh Dominic padanya. Namun kali ini pernyataan tersebut membuat Belle mati kutu.
Menikah dengan Liam Alterio? Tidak pernah sekalipun Belle memimpikan hal itu. Mustahil baginya menikah dengan pria yang penuh akan kepura-puraan itu. Bahkan ketika mereka bertemu, keduanya akan saling menghindar.
“Kamu masih belum menjawabku, Belle, apakah kamu ingin aku bertanya lagi dan lagi hanya untuk hal sepele ini?” nada kesal terdengar dari ucapan Dominic yang masih menunggu Belle menjawabnya.
Hal sepele? Pernikahan cucunya adalah hal sepele? Atau ... akulah hal sepele itu?
Belle meletakkan bidak catur di atas papan berwarna putih. "Chairman, pernikahan bukanlah hal yang bisa saya putuskan sendiri. Bagaimana dengan CEO Liam?” dengan membawa nama Liam ke dalam hal ini, Belle ingin menunda untuk menjawab lelaki itu karena dia tahu kalau Liam Alterio tidak akan setuju untuk menikah dengannya. Hanya untuk melihat penampilan membosankannya sudah cukup membuat Liam enggan untuk sekadar menoleh.
“Dia tidak akan menolak.”
Sekali lagi pernyataan Dominic membuat Belle mati kutu. Bagaimana mungkin Liam tidak akan menolak? Belle menatap serius pada Dominic dan keempat mata mereka saling menatap serius. Sorot mata Belle dipenuhi akan pertanyaan dan kebimbangan.
Dia sebenarnya tidak masalah jika harus menikah dengan Liam, tapi yang membuatnya bimbang, bisakah Liam menerimanya?
“Kamu bimbang, Belle. Bukankah aku sudah menegaskan padamu berkali-kali dalam keluarga Alterio tidak ada dilema saat mengambil keputusan.” Tandasnya tidak memberikan celah untuk bernegosiasi. “Aku menyekolahkanmu ke luar negeri dan menjadikanmu sebagai wanita tangguh bukan hanya untuk sekadar menjadi sekretarisku, tapi untuk meneruskan garis keturunan keluarga Alterio. Tidakkah kamu mengerti Belle?”
Belle tidak tercengang mendengarnya sama sekali karena ayahnya juga telah memberitahunya hal tersebut. Namun, kemungkinan besar tidak akan terjadi karena Belle hanyalah anak perempuan dari kepala pengawal keluarga Alterio.
Keluarga Belle sangat setia dari generasi ke generasi melindungi keluarga Alterio sampai saat ini. Meskipun begitu tidak ada dari keluarganya yang menikah dengan salah satu keturunan Alterio. Apalagi pewaris dari keluarga Alterio, maka dari itu Belle merasa sangsi akan pernikahan ini. Takutnya jika Dominic memiliki muslihat lain dibalik pernikahan cucunya.
Dominic selama ini cukup perhatian padanya, membiayainya sekolah di luar negeri selama bertahun-tahun lamanya, hingga dia berdiri di sisi Dominic sebagai tangan kirinya. Reputasi Belle di perusahaan juga tidak main-main, bahkan dia lebih dihormati daripada Liam sendiri—si pewaris bisnis keluarga Alterio.
“Saya mengerti, tapi saya ingin tahu mengapa Anda memilih saya?” tentu Belle ingin mengetahui alasannya. Sebenarnya Belle sudah nyaman dengan pekerjaannya saat ini dan tidak berpikir untuk menjalin hubungan asmara apalagi menikah dan sialnya dia akan dinikahkan dengan Liam.
“Apakah kamu berpikir kalau aku sedang memanipulasimu atau memiliki muslihat tersembunyi dengan menikahkanmu dan Liam?” Dominic mengambil benteng pada bidak caturnya dan memindahkannya ke kiri menyingkirkan kuda milik Belle. “Aku ingin kamu menjadi benteng bagi Liam. Saat ini benteng anak itu belum begitu kokoh, jika kamu berdiri disisinya, bukan hanya menjadi benteng untuk Liam—kamu juga akan menjadi Ratu yang berdiri di sebelahnya kelak.”
Belle cukup terkejut kali ini karena pemikiran Dominic yang begitu jauh ke depan. Menjadikannya benteng bagi Liam sekaligus Ratu yang berdiri di sebelahnya?
Tangan Belle yang akan mengambil bidak catur terhenti setelah mendengar perkataan Dominic. Dia mencoba untuk mencerna setiap kata yang keluar dari mulut lelaki tua itu.
Jadi dia serius?
Belle hanya mengulas senyum membosankan sekali lagi. Hatinya sangat ingin menolak keinginan Dominic, tapi sepertinya ruang untuk menolak ataupun tawar-menawar dengan lelaki berkumis lebat itu tidak ada sedikitbpun celah yang tampak. Dia menghela napas masih menimang-nimang jawaban yang akan dia berikan.
Jika sekali Belle menjawab, maka jawaban itu tak akan dapat diubahnya. Dominic sangat tidak menyukai orang yang berubah-ubah dengan perkataannya. Selama ini Belle selalu tegas dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, saat ini dia sangat ragu. Ragu akankah dia dapat diterima oleh Liam, ragu akankah keluarganya baik-baik saja jika dia menikahi Liam. Keraguan itu seakan memakan pemikiran Belle perlahan-lahan.
“Bawa dia kemari!” titah Dominic pada pria berbusana hitam yang berdiri di sampingnya sejak tadi.
Pria tersebut mengangguk, dia melangkah dan membuka pintu kamar tersebut memperlihatkan seseorang lelaki gagah berdiri di depan pintu. Kedua lengannya dicekal oleh dua orang berbadan besar.
Mata Belle terbelalak karena sangat mengenal orang tersebut yang tak lain adalah ayahnya—Alaric Dhanurendra.
Belle bungkam, dia tidak mengeluarkan suaranya dan hanya menatap serius pada Alaric yang dibawa ke dalam kamar oleh kedua orang berbadan kekar. Sangat jelas bahwa saat ini Dominic sedang mengancamnya menggunakan Alaric. Namun tak mengapa, bila mereka menodongkan pistol di punggung Alaric; Belle tidak akan panik.
“Belle, Ayah tidak mengapa.” Kalimat itu meluncur dari bibir Alaric seraya memperhatikan ekspresi Belle yang amat santai.
“Kamu masih ragu? Aku pastikan Liam tidak akan menolak karena syarat menjadikannya sebagai pewaris selanjutnya adalah menikah denganmu.”
Belle tercengang mendengarnya, dia seperti sebuah barang yang sedang diperdagangkan. Belle tahu ayahnya juga sedih dengan hal ini, tetapi Alaric tidak akan bisa menolak dan memberikan seluruh keputusan berada di tangan Belle. Alaric menatap Belle dengan pandangan iba karena dia tidak dapat menentukan harus menikah dengan siapa. Alaric juga tidak menyangka kalau Dominic telah memutuskan hal ini secara sepihak.
Belle tersenyum miring ketika dia mengambil Queen pada bidak caturnya yang berwarna putih, dia memindahkan bidak Queen ke samping kanan di mana mengarah pada King milik Dominic. King milik Dominic terjebak tidak memiliki celah untuk bergerak ke mana pun lagi.
“Checkmate.”
“Bagus Belle, jadi semuanya sudah kamu putuskan. Aku tidak perlu membawa Ayahmu ke sini, jika kamu menjawab tanpa keraguan tadi.” Dominic bangkit dari duduknya dibantu oleh pria tadi. “Nanti malam kalian berdua akan makan malam bersama.” Tanpa menunggu tanggapan, Dominic melangkah keluar dari ruangan.
Belle juga bangkit dari duduknya, “Baik.” Ucapnya singkat seraya mengamati punggung Dominic.
Belle tidak takut ketika Dominic mengancam menggunakan ayahnya barusan. Dia telah memikirkan hal lain dengan setuju menikahi Liam.
Ratu?
Senyum miring Belle masih terlihat di bibirnya saat dia bergumam, “Ratu ....”
***
Netranya menatap nanar pada pria yang berdiri di depannya. Sebuah cincin emas putih bermotif singa melingkari jari tengah pada tangan kanannya. Cincin polos tanpa motif melingkari jari telunjuknya, tetapi memiliki ukiran yang rumit pada pinggir cincin tersebut. Tangan yang cukup ramping menandakan pemiliknya bertubuh tinggi ramping pula.
Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Setelan jas berwarna biru gelap dengan motif garis vertikal menambah ketampanan dari pria berkulit putih bersih itu. Kancing manset mewah tersemat di lengan kemejanya, tampaknya set kancing yang dikenakan olehnya cukup untuk membeli sebuah apartemen menengah di tengah kota saat ini.
Tangannya menegang gelas bir dan di dalam gelas itu terdapat bir yang tampaknya telah dia teguk sebelumnya. Sementara, tangan kirinya bergelayut santai pada pegangan sofa yang saat ini tengah didudukinya.
Pria yang berdiri di depannya beringsut, mengecilkan nyalinya takut-takut kala menatap mata pria yang duduk tersebut.
Plak! Gelas yang tadinya berada pada tangannya telah melayang tepat mengenai dahi pria itu. Pria itu bergeming tidak berani menatap si pelaku yang telah melemparinya dengan gelas bir tebal.
“Beraninya perempuan itu setuju menikah denganku. Dia hanya anak perempuan dari keluarga pengawal. Apa haknya menerima pernikahan ini? Apakah karena uang? Aku bisa memberikannya uang jika dia membatalkannya.” Liam Alterio berucap geram pada asistennya.
Sang asisten hanya memberikan informasi yang didengarnya, tetapi dia mendapatkan getah dari amarah Liam. Sampai-sampai Liam belaku kasar padanya. Tetap saja, siapa yang akan berani melawan Liam, kecuali perempuan membosankan itu.
“Chairman sendiri yang memaksa sekretaris Arabelle menerima pernikahan ini, Pak CEO.” Sahutnya sopan setelah apa yang Liam lakukan padanya. Darah dari dahinya perlahan menetes hingga ke tulang pipinya, rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit dari harga dirinya yang jatuh.
“Peter,” panggilnya.
Liam merasa napasnya mulai sesak akibat mendengar kabar bahwa dia akan dinikahkan dengan Arabelle—perempuan yang sama sekali tidak masuk dalam kategori wanita yang akan dipacarinya. Apalagi menikah? Liam melonggarkan dasinya, udara dalam ruangan itu terasa semakin berkurang dan rasanya tembok ruangan pun makin menyempit dalam pandangan Liam. “Keluarlah dan obati lukamu. Aku akan urus sisanya.”
Darah masih menetes dari dahi Peter, menghalangi pandangannya untuk melihat Liam seperti kehabisan napas. Selalu saja seperti itu ketika Liam merasa panik akan sesuatu hal bertentangan dengan keinginannya. Dia seperti semut kepanasan di mata Peter.
“Baik, Pak CEO. Terima kasih untuk luka yang telah Anda berikan.” Peter berucap sarkas, dia tidak takut lagi seperti barusan, toh Liam telah mengeluarkan amarahnya. Kalau Liam akan memukulnya dengan gelas bir atau bahkan dengan botol bir sekalipun karena Peter sudah terbiasa dengan hal tersebut. Bahkan ketika menjadi tameng bagi Liam sudah layaknya makanan sehari-hari untuk Peter. Dia menoleh pada Liam sebelum berbalik dan keluar dari ruangan Liam.
Liam hanya bungkam setelah mendengar perkataan sarkas dari Peter dan menatap punggung Peter dengan pandangan menghunus. Dirinya sudah sangat sering menjadikan Peter sebagai pelampiasan akan amarahnya dan Peter sendiri tidak pernah melawan ataupun menolak dan hanya akan berkata sarkas padanya.
Pintu ruangan tertutup, setelah Peter keluar. Liam melepaskan dasi yang melingkari lehernya dengan kasar dan melempar benda tersebut ke sembarang tempat. Napas Liam tersengal, dia segera mencari udara segar, mempercepat langkahnya membuka pintu jendela pada ruangannya.
Masih berusaha menenangkan dirinya, Liam luruh sembari memegangi kerah kemejanya. Ketika itu pintu ruangannya terbuka, pandangan Liam agak buram karena dia tampak kehabisan napas. Suara dari langkah sepatu hak tinggi menggema berjalan cepat di ruangan tersebut.
“Pak CEO!”
Liam tampak rileks setelah mendengar suara Mary—sekretarisnya saat ini—sekaligus sahabatnya.
Mary mengambil alat bantu pernapasan yang disembunyikan oleh Liam di laci meja terbawah. Mary menampakkan kekhawatiran di wajahnya setelah melihat Liam tersengal kehabisan napas.
“Cepat hisap.” Pintanya dengan nada khawatir.
Liam menampik tangan Mary mengakibatkan benda itu terlempar jauh. Lantas menatap tidak senang pada tindakan Mary. Sebaik apa pun orang-orang yang berdiri di samping Liam—pria itu akan tetap berlaku kasar dan tidak menghargai mereka. Mary sendiri bahkan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari Liam.
“Keluar! Siapa yang menyuruhmu masuk?” tanya Liam kesal. Dia mencengkeram kerah kemejanya karena napasnya makin tercekat, tapi dia tetap memaksakan diri bahwa saat ini dia baik-baik saja tanpa alat bantu.
“Aku ... aku melihat dahi Peter berdarah saat dia keluar. Jadi ....” Ucapan Mary terputus-putus karena ada rasa takut ketika menatap mata Liam saat ini.
Pria itu sedang kesal, amat sangat kesal karena Dominic telah memutuskan pernikahannya secara sepihak.
Tangan Mary membuat kepalan melihat Liam begitu menderita saat ini. Kalau bisa dia ingin meminta protes pada Dominic agar membatalkan pernikahan Liam karena Mary sendiri juga tidak terima akan pernikahan Liam.
“Lantas apakah aku menyuruhmu untuk masuk?” Liam menatap serius kedua manik mata cokelat milik Mary. Kemudian mengalihkan pandangannya pada pintu keluar. “Keluar dari sini!” bentaknya dengan nada keras memekakkan telinga Mary.
Mary sempat menutup matanya karena suara Liam amat tajam dan keras. Masih belum ada keinginan dari Mary untuk beranjak dari sana. Dia tetap mempertahankan posisinya karena dia khawatir jika Liam sampai pingsan.
“Sejak kapan kamu menjadi tuli? Kubilang keluar!” bentaknya lagi dengan nada lebih tajam, serta mata nanar sama seperti tadi yang dilemparkan pada Peter. “Apakah kamu juga ingin kepalamu berdarah, Mary? Aku tidak segan menyakitimu hanya karena kamu adalah wanita.”
Bohong! Sejahat dan sekejam apa pun Liam pada bawahannya, dia tidak akan melakukan kekerasan pada wanita, dan hanya membentak saja sudah cukup kejam bagi Liam. Tidak seperti bawahan pria sampai berdarah-darah karena amarah Liam.
Meskipun begitu, dengan berat hati Mary bangkit dari tempatnya dan mengikuti perintah Liam. Bukan karena dia takut akan disakiti oleh Liam, melainkan takut kalau Liam akan membencinya karena tidak menuruti perintahnya. Liam paling benci jika seseorang tidak menurut padanya.
Tanpa berucap lagi, Mary menarik napas dalam, berlalu melangkah meninggalkan ruangan Liam.
Liam menarik napas dalam. Dia mengatur pernapasannya tanpa menggunakan alat bantu pernapasan. Perlahan Liam menenangkan dirinya dan bangkit kembali.
“Sial!” rutuknya kesal. “Mengapa harus wanita membosankan itu? Apa bagusnya dia dan penampilannya yang biasa-biasa saja? Aku bahkan tidak berselera ketika melihatnya apalagi tidur satu ranjang dengannya.”
Membuka dua kancing pada kemejanya, merasa gerah setelah kehabisan napas. Akhirnya, Liam bisa bernapas lega setelah dia meneguk segelas air putih yang barusan dia tuangkan ke dalam gelasnya.
“Lihat bagaimana aku akan mengacaukan hidupmu yang membosankan itu, Arabelle Jovanka.”
Liam mengatupkan rahangnya, giginya saling beradu. Amarahnya masih belum reda, sehingga dia melemparkan gelas di tangannya menyebabkan bunyi pyang! Menggema di ruangan tersebut.
Novel Terkait
Innocent Kid
FellaDark Love
Angel VeronicaThe Comeback of My Ex-Wife
Alina QueensTen Years
VivianMy Goddes
Riski saputroMy Cold Wedding
MevitaNikah Tanpa Cinta
Laura WangMenaklukkan Suami CEO×
- Bab 1 Checkmate
- Bab 2 Keyakinan Belle
- Bab 3 Liam Alterio
- Bab 4 Arabelle Jovanka
- Bab 5 Pria lemah!
- Bab 6 Berpura-pura bodoh
- Bab 7 Kamu mengambil ciuman pertamaku, bodoh!
- Bab 8 Bangun dengan rasa sakit
- Bab 9 Pulang sendiri
- Bab 10 Penjilat
- Bab 11 Minum Teh Bersama
- Bab 12 Kamu semakin cerewet
- Bab 13 Aku tidak boleh jatuh pada Liam Alterio