Menaklukkan Suami CEO - Bab 12 Kamu semakin cerewet

Belle berteriak nyaring mendengar penuturan Liam mengenai dirinya pada malam dia mabuk. Ini gila jika sampai didengar oleh orang lain. Bukan karena Belle takut dimarahi oleh ibunya, melainkan dai pasti akan malu jika sampai diketahui oleh orang lain dan menjadikan hal tersebut sebagai bahan obrolan mereka. Apalagi di kediaman Aterio sangatlah banyak yang menjadikan dia sebagai panutan, dan apa yang akan mereka katakan nanti jikalau Belle tidak kuat minum. Padahal dia merupakan putri dari kepala pengawal.

Alaric Dhanurendra yang merupakan ayah Belle diakui sebagai peminum terkuat di kediaman tersebut. Seorang pengawal memang tidak diperbolehkan untuk mimun minuman beralkohol ketika mereka sedang bertugas, tetapi di waktu luang mereka tentu dihadiahi beberapa hingga belasan botol anggur. Belle juga sering menghadiri undangan yang diterima oleh Dominic, dan di sana pasti akan disajikan beberapa minuman beralkohol. Akan tetapi, Belle tidak pernah mengambil minuman tersebut dan akan mengambil jus atau air putih sebagai gantinya. Dia selalu mampu untuk membodohi orang-orang di sana.

“Belle, kamu mabuk semalam? Apakah itu benar? Sejak kapan kamu mulai mengkonsumsi alkohol?” Davina memberikan pertanyaan bertubi-tubi pada Belle, seraya menelan salivanya karena ia mengetahui kalau Belle tidak bisa minum anggur dan alkohol sejenisnya. Davina melirik ke kanan dan ke kiri, melihat apakah ada orang lain di sekitar sana. Memang bukanlah perkara besar, tapi jika sampai menyebar dan menjadi gosip, pasti tidak akan enak di dengar.

“Ibu jangan berlebihan. Aku sudah belajar minum anggur dan kurasa ini akan bagus ketika aku menghadiri acara-acara besar dengan Chairman nantinya. Nah, ini semua berkat Liam yang menawariku semalam. Jadi, aku mengambil segelas dan itu membuatku mabuk hanya dalam satu tegukan.” Terang Belle sembari terkekeh ceria.

“Tidak boleh!” bentak Liam dengan nada tinggi.

Pria itu hampir saja berdiri dari duduknya. Membayangkan jika Belle sampai mabuk ketika dirinya tidak ada membuat Liam merinding lantaran Belle pasti akan melakukan hal gila seperti semalam. Jika hal itu sampai terjadi dan Belle tidak akan sadar, maka perempuan itu kemungkinan saja akan tidur di pelukan pria lain.

Liam menggelengkan kepalanya dengan intens. Mana mungkin dia akan membiarkan miliknya berada pada pelukan pria lain. Meskipun dia tidak memiliki perasaan terhadap Belle, tetapi Belle adalah calon istri yang harus dia terima, yang berarti perempuan itu adalah miliknya.

Kedua ibu dan anak itu menatap Liam dengan sedikit aneh. Mereka melirik satu sama lain.

“Apa yang tidak boleh?” tanya Davina dengan nada penasaran.

“Ehem,” Liam berdehem seraya menutup bibirnya dengan punggung tangan menutupi kecanggungannya. Beruntunglah karena keduanya tidak tahu maksud dari teriakan Liam barusan. Jadi, dia bisa membuat alasan apa pun itu. “Tidak ada, aku barusan hanya melamun dan tidak sengaja berteriak dengan kencang. Hum, apakah aku mengejutkan Bibi?”

Davina membawa tangannya ke udara dan membuat gerakan tangan yang menyiratkan bahwa, dia tidak mengapa. “Tidak, tentu saja tidak. Kamu pasti sedang banyak pikiran dan Belle pasti membuatmu cukup lelah tadi malam karena harus mengurus dia yang sedang mabuk. Aku akan segera menyajikan teh,” kata Davina sambil tersenyum riang.

Namun, Belle memberikan tatapan tidak percaya pada Liam. Dia tidak percaya kalau Liam yang teliti dan selalu fokus akan kehilangan fokus begitu saja. Belle memberikan tatapan yang mengatakan kalau dia akan mengawasi Liam. Alis Belle terajut kuat ketika kedua bola matanya masih menatap pada Liam, sedangkan untuk Liam sendiri mendapatkan tatapan bagaikan elang mengincar mangsa merasa bahwa, Belle tertarik akan dirinya.

Baiklah, kedua pasangan yang akan segera menikah itu memiliki pemikiran mereka sendiri.

“Ibu, biar aku saja yang menuangkan tehnya.” Pinta Belle yang sudah meletakkan tangannya pada teko keramik.

Namun, Davina dengan cepat menghentikannya. “Biarkan Ibu saja. Sudah lama sekali sejak Ibu membuatkan teh untuk Liam. Jadi, biarkan Ibu yang melakukannya. Kamu hanya perlu duduk saja. Hanya menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir bukanlah masalah besar.”

“Baiklah kalau begitu.”

Setelahnya, Belle menatap pada Liam yang dia rasa sedang menertawakannya saat ini. Netra keduanya bertemu dengan indah, dan kilatan dari cahaya kedua netra itu tertangkap oleh Davina yang diam-diam memperhatikan mereka.

Melihat keduanya dirasakan cukup akrab oleh Davina. Wanita itu tersenyum secara diam-diam, sebenarnya tidak perlu menutupi senyumnya karena dia bisa saja menunjukkan itu pada keduanya, tetapi Davina tidak ingin mereka berdua menjadi canggung.

Davina menyajikan teh pada Liam, menaruh cangkir keramik itu di depan Liam. Lantas memberikan cangkir kedua pada Belle.

“Terima kasih, Ibu.” Belle tersenyum cerah dan membawa cangkir tersebut mendekat ke wajahnya. Lantas menghirup bau teh yang masih panas seraya memejamkan matanya. Selain air putih Belle juga menyukai minum teh sesekali bersama keluarganya. Perlahan Belle menyesap teh pada cangkirnya. Suhu hangat dari teh tersebut mengalir ke tenggorokannya.

“Bagaimana?” tanya Davina dengan wajah antusias.

“Teh buatan Ibu semakin hari semakin enak.”

Kedua ibu dan anak itu mengobrol ria untuk beberapa saat, sedangkan di seberang mereka-Liam masih memegang cangkir tehnya dan belum menyesapnya sama sekali. Bukan karena dia tidak suka, hanya saja tatapannya tidak berhenti terarah pada dua wanita yang sedang mengobrol hangat.

Apakah dia juga akan mengobrol seperti itu jika ibunya tidak meninggalkan dia? Apakah ibunya juga akan menyiapkan teh atau kopi untuknya dan minum bersama? Liam segera menghapus pertanyaan-pertanyaan itu dari dalam pikirannya. Hanya rasa sakit yang akan dia dapatkan jika mengingat wanita yang telah meninggalkan dia sejak masih kecil.

Liam mencoba menyesap teh yang telah disajikan oleh Davian, teh yang sudah lama tidak dia cicipi lantaran sibuk dan tidak dapat berkunjung menemui Davina, dan ketika Davina menemuinya di kediaman utama pun Liam tidak selalu dapat bertemu dengan wanita itu.

“Teh buatan Bibi selalu menjadi yang terbaik.” Puji Liam, membuat Davina serta Belle mengalihkan pandangan mereka.

“Benarkah? Bibi senang mendengarnya. Jika kamu tidak sibuk sering-seringlah berkunjung dan minum teh bersama Bibi.”

“Bibi, jika aku tidak datang ke sini, mengapa bukan bibi saja yang ke rumah utama? Kita bisa minum teh bersama, ‘kan?”

“Itu ide yang bagus. Sebenarnya Bibi sering berkunjung ke rumah utama, tetapi mereka mengatakan kalau kamu sangat sibuk. Jadi, Bibi mengurungkan niat dan kembali ke paviliun ini.” Tutur Davina dengan wajah sendu seperti ia akan segera meluncurkan air mata.

Belle tak kausa melihat ibunya seperti itu. “Ibu,” dia menaruh cangkirnya di atas meja dan segera menepuk bahu ibunya.

“Sekarang Bibi bisa menemuiku di rumah utama kapan saja ketika aku tidak sibuk. Aku akan menyuruh mereka agar membiarkan Bibi masuk ke ruang belajarku,” kata Liam menenangkan Davina.

***

“Apa kamu sungguh-sungguh memperbolehkan Ibuku menemuimu kapan saja? Kenapa aku merasa tidak yakin dan merasa kalau kamu mengatakan semua itu hanya untuk menenangkan Ibuku saja?” Belle bertanya pada Liam yang tengah berjalan di sampingnya.

Dengan enggan Belle mengantar Liam sampai di depan paviliun atas permintaan dari Davina. Jadi mau tidak mau, Belle berjalan bersama Liam hingga jauh di depan paviliun. Setelah tidak ada orang, barulah Belle bertanya dengan berani. Ya, dia berani bertanya demikian hanya ketika mereka sedang berdua.

Liam menghentikan langkahnya, lalu mengalihkan tatapan malas pada Belle. “Lantas apakah kamu sendiri ikhlas mengantarku ke depan paviliun? Aku merasa kamu sangat enggan berjalan bersamaku, bukan? Jika kamu sendiri merasa enggan bahkan ketika Ibumu yang menyuruhmu, maka kamu bukanlah orang yang ikhlas, bahkan pada Ibumu sendiri. berhentilah mempertanyakan perkataanku karena aku merasa risi akan hal itu. Kamu menjadi sangat cerewet dan mengganggu.”

Ucapan Liam terdengar menukik di telinga Belle, sehingga ekspresinya berubah masam. Belle tidak senang mendapatkan perkataan seperti barusan apalagi Liam mengatakan kalau dia semakin cerewet.

Belle tertawa masam untuk sesaat. Benar-benar menjengkelkan kalau harus hidup bersama dengan Liam, jika setiap hari harus mendengar perkataan menukik. Mungkin salah Belle sendiri yang terlalu mengusik Liam dengan mempertanyakan perkataannya dan tidak percaya pada pria itu.

Itu semua karena Belle tidak mudah mempercayai orang lain, bahkan jarang mempercayai dirinya. Apalagi mempercayai Liam yang sudah sangat sering membuat sebuah drama. Akan tetapi, tidak mengapa karena Belle dapat mengesampingkan dan membuang ucapan Liam yang sudah terekam dalam indra pendengarannya dan tidak dapat ditarik kembali oleh Liam.

“Sepertinya aku sudah menyinggungmu, Liam Alterio. Aku tidak akan bertanya lagi dan hanya berharap bahwa, yang kamu katakan pada Ibuku bukan hanya bualan. Aku tidak perlu mengantarmu lagi. Jadi aku akan kembali ke paviliun.” Belle berucap santai sebagai tanggapan.

Dia tahu telah menyinggung Liam barusan. Oleh karena itu, dia tidak melanjutkan bertanya dan berbalik untuk pergi. Belle meraba punggungnya yang sakit seraya berjalan menjauh dari Liam, menuju ke paviliun. Dia masih belum mengetahui penyebab dari punggungnya yang sakit.

Belle hanya memikirkan kemungkinan kalau luka pada punggungnya adalah akibat dari mabuknya semalam, dan yang pasti dia masih menuduh Liam Alterio sebagai pelakanya karena tidak mungkin kalau dirinya yang menabrakkan punggungnya ke tembok. Meskipun dia mabuk itu sangat mustahil

“Dia menjadi sensitif setelah minum teh. Aku bisa melihat raut wajahnya berubah ketika keluar dari paviliun. Mungkinkah dia sedang datang bulan, sehingga menjadi lebih sensitif daripada seorang perempuan?”

Belle bergumam sendirian seraya sesekali melirik ke arah Liam yang sudah tidak lagi berada di sana. Kembali masuk ke dalam paviliun, dan langsung menuju ke kamarnya. Belle menyingkap atasan yang dia kenakan dan melihat punggungnya menggunakan bantuan cermin.

“Ternyata memang memar. Apa yang membuat punggungku sampai seperti ini?”

Mata tajam Belle mengarah ke luar jendela seperti mata harimau yang sedang menggeram. Dia sedang membayangkan kalau Liam Alterio berada di luar sana dan menusuk juga mengirisnya dengan mata tajamnya. Belle sangat kuat tidak berkedip selama lebih dari 20 detik.

“Ah, mataku jadi kering karena kebanyakan melotot. Haruskah aku menyalahkan Liam Alterio atas mataku yang kering karena melotot marah? Hahaha, tentu saja tidak. Aku harus memperbaiki kebiasaanku tentang menyalahkan Liam Alterio. Sangat buruk rasanya kalau dia berkata seperti tadi padaku. Tidak Belle! Kamu bukan orang yang mudah terbawa oleh perasaan.”

****

Disisi lain, Liam Alterio sudah kembali ke rumah utama. Niat awalnya hanya untuk mencari udara segar dan menenangkan pikirannya, tetapi sesampainya di paviliun dia malah teringat akan kenangan yang ingin dia kubur dalam-dalam. Sosok Davina selalu mengingatkan Liam akan ibunya yang tidak dia ketahui keberadaannya. Bahkan, keluarga Alterio enggan untuk mencari keberadaan ibu Liam. Apalagi membicarakan wanita itu adalah tabu di kediaman tersebut.

Oleh karena itu, orang-orang yang bekerja di kediaman tersebut sangat berhati-hati dalam berkata-kata. Meskipun mereka menyukai gosip, tetapi mereka menjauhkan diri dari gosip ibu Liam. Satu pun dari mereka tidak ada yang berani untuk menyebutkan nama wanita itu karena Liam akan menjadi berang jika dia mendengar nama ibunya.

“Perempuan menyebalkan. Dia membuatku kesal sejak semalam, tapi gaya imutnya semalam membuatku lupa akan keburukannya dan sekarang dia kembali menjadi menyebalkan dan membosankan. Harusnya aku tidak pergi ke sana hanya untuk membuat diriku bertambah kesal.” Liam menggerutu kesal ketika menaiki tangga dan akan kembali ke ruangannya.

“Sebentar lagi makan siang, mengapa kamu kembali begitu cepat?”

Liam mendongak hanya untuk mendapati Dominic Alterio bertanya padanya dari ujung tangga. Sepertinya lelaki itu akan turun untuk makan siang yang sekiranya masih dua puluh menit lagi. lLiam tidak menghentikan langkahnya, dia terus melangkah dan menjawab Dominic dengan malas, “Aku akan turun nanti.”

“Kamu tidak mengerti dengan pertanyaanku atau kamu pura-pura tidak mengerti?” tanya Dominic dengan sedikit senyum tampak pada bibirnya. Nampaknya sang kakek sedang menggoda cucunya yang baru saja mengunjungi paviliun calon mertuanya. “Aku memiliki rencana untuk merenovasi paviliun keluarga Dhanurendra, bagaimana menurutmu, Liam?”

Liam berhenti ketika dia sudah sampai di lantai dua dan berdiri di depan Dominic. Dia masih berlagak apatis dan memang nampak belum mengerti dengan pertanyaan Dominic yang tengah menggodanya karena pikiran Liam saat ini berkabut.

“Terserah Kakek saja. Paviliun itu sangat kecil dan terasa pengap ketika berada di dalamnya. Jadi buat saja sedikit lebih besar, maka akan terasa lebih enak untuk ditinggali,” jawab Liam dengan santai.

“Bagaimana kamu bisa tahu kalau paviliun itu kecil dan terasa pengap?”

“Ah,” Liam tiba-tiba saja mengerti akan pertanyaan Dominic yang tengah menggoda dirinya. Seketika Liam tertawa keras, rupanya Dominic mengetahui apa pun yang Liam lakukan, bahkan ketika dia tidak sengaja berkunjung ke paviliun pun diketahui oleh lelaki itu. Kediaman Alterio rupanya sangat sempit. “Apa Kakek memata-mataiku? Kakek tidak bisa seperti itu. Itu melanggar privasiku.”

Dominic Alterio memukul kepala Liam dengan jarinya, tidak terlalu keras. “Kamu pikir Kakekmu ini seburuk yang kamu pikirkan? Peter memberitahuku kalau kamu sedang jalan-jalan dan dia melihatmu bertemu dengan Belle dan calon Ibu mertuamu. Jadi, kamu pergi bersama mereka. Aku pikir kamu akan makan siang di sana.”

“Sudah cukup dengan minum teh. Tidak perlu makan sian di sana, itu terlalu berlebihan.”

“Kalau begitu kita makan siang bersama saja kalau kamu tidak mau makan siang di paviliun. Kim, panggil Belle untuk makan siang bersama di kediaman utama.” Perintah Dominic pada pria tinggi di belakangnya yang senantiasa berdiri sejak tadi mendengarkan percakapan mereka.

“Baik, Chairman.”

“Kakek,” panggil Liam dengan nada malas.

Novel Terkait

Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
5 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
4 tahun yang lalu
Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu Luar Biasa Bangkrut

Menantu
4 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
5 tahun yang lalu
CEO Daddy

CEO Daddy

Tanto
Direktur
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
4 tahun yang lalu