Menaklukkan Suami CEO - Bab 11 Minum Teh Bersama
Liam tidak menampakkan kecanggungan sedikit pun. Dia terlihat santai seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana ketika Belle berhenti di depannya dengan santai pula berdiri di hadapannya.
“Apakah tidak boleh aku datang ke sini? Bukankah ini kediamanku juga?” Liam mengedarkan pandangannya. Melihat pemandangan di sekitar nampak sangat cerah dan tenang.
Kediaman Alterio memang sangat tenang karena penghuni di sana merupakan orang dewasa. Tidak ada anak kecil di kediaman tersebut yang meramaikan dan menjadikan suasana bising. Masa-masa itu telah berlalu karena Liam dan Belle sudah dewasa.
Suara tangis mereka ketika masih bayi dan pertengkaran mereka ketika masih anak-anak, tentunya meramaikan kediaman Alterio.
“Tidak ada yang melarangmu untuk pergi ke mana pun yang kamu inginkan di kediamanmu sendiri. Aku hanya bertanya saja. Jadi, jangan terlalu menganggap pertanyaanku selalu serius.”
“Siapa yang menganggap itu serius? Kamu sendiri selalu berkata dengan serius. Apakah kamu tidak lihat wajahmu terlihat selalu serius? Cobalah terlihat santai untuk sebentar saja.”
Belle memutar bola mata malas, melipat tangannya di depan dada. Lantas tersenyum garing seperti yang biasa dia lakukan. Maksudnya dia melakukan itu setiap hari. Senyum yang membosankan bagi Liam, sehingga dia ingin membuat Belle kembali mabuk, tapi hal itu akan merepotkan dirinya nanti.
“Baiklah. Terserah kamu saja. Aku malas berdebat denganmu, sejak tadi malam sampai pagi tadi kita terus berdebat. Apa kamu tidak lelah, Liam Alterio?” Belle bertanya seraya mendengus kesal.
Bagaimana mungkin dia tidak bertanya karena Liam sangat jarang mengunjungi kediaman belakang yang mungkin sama sekali tidak Liam ketahui.
Liam memberikan tatapan santai pada Belle. Lantas dia mengarahkan pandangannya pada bunga-bunga yang tengah mekar di taman itu.
“Tentu saja aku sedikit lelah. Maka dari itu, aku berjalan-jalan kemari. Sebenarnya aku ingin menikmati pemandangan taman ini sendirian, tetapi malah bertemu denganmu di sini. Sepertinya belakangan ini dunia menjadi terlalu sempit, sehingga kita selalu bertemu di mana pun.” Liam berkata dengan nada santai. Sangat santai, bahkan membuat Belle ingin mendengar suaranya lagi. Tidak ada intonasi keras dan dingin dalam suara Liam barusan. Suara itu cukup rendah dan menenangkan layaknya petikan senar pada gitar klasik.
Belle mengangguk-anggukan kepalanya sejenak. “Ah, begitukah? Namun, aku rasa dunia akan semakin menyempit setelah pernikahan kita.”
Tubuh Liam membeku setelah mendengar kata pernikahan keluar dari bibir Belle. Sejenak dia tidak ingin mengingat tentang pernikahan yang diatur untuknya. Sejenak dia ingin melupakan semua itu dan menghirup udara segar untuk dirinya.
Tidak disangka kalau Belle akan kembali menyebutkan tentang pernikahan mereka. Liam tidak seantusias Belle ketika semua itu datang pada pernikahan. Liam juga tahu kalau Belle sama terpaksanya dengan dirinya, tapi Belle sudah dapat menerima semua itu, dan bahkan menjadi antusias.
Liam tertawa garing untuk sesaat lantaran kepalanya terasa ditekan oleh benda berat. Dadanya juga terasa berat ketika dia menarik napasnya. Tidak bisakah orang-orang diam dan tidak membicarakan tentang pernikahan.
Liam berhenti tertawa dan tawanya barusan membuat Belle agak bingung. Jadi, Belle diam dan menutup mulutnya rapat-rapat karena tampaknya dia tahu di mana letak kesalahannya.
“Uhm …, aku minta maaf. Jika kamu sangat menolak. Maka aku bisa bilang pada Chairman—”
“Jangan membuat masalah menjadi lebih besar. Berita pernikahan ini saja sudah membuat gempar di luar sana. Apalagi jika ada berita pembatalan. Diam dan ikuti saja pengaturan dari Kakek. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Khawatirkan saja hidupmu setelah pernikahan.” Liam memberikan ucapan menohok pada Belle. Dia tampak sangat kesal menghadapi Belle.
Terdengar langkah kaki yang dipercepat menghampiri mereka, sebelum Belle dapat menanggapi ucapan Liam. Seorang wanita paruh baya, dengan senyum sumringahnya, wajah berseri-seri dan binar mata secerah berlian. Wanita itu berjalan cepat ke arah keduanya, tampak tidak sabar untuk menyapa Liam karena sejak tadi pandangannya di arahkan pada Liam.
“Ibu!” seru Belle pada wanita yang sudah mendekati arah mereka. “Berjalan pelan saja. Ibu bisa jatuh nanti kalau berlari seperti ini.” Belle mengerutkan kening.
“Tidak apa-apa,” kata Davina pada Belle, tetapi binar matanya di arahkan pada Liam. Davina tidak berhenti memperlihatkan kebahagiaan yang nampak jelas di wajahnya.
Belle melihat ibunya yang sangat senang bertemu dengan Liam menjadi agak canggung. Dia tidak mau ibunya terlalu berharap pada Liam karena pria itu tidak akan bisa memenuhi ekspektasinya. Memang benar, dulu Liam dirawat sendiri oleh Davina, tetapi kini Liam sudah dewasa dan jarang mengunjungi Davina.
Jika Davina tidak pergi ke rumah utama, maka akan sangat jarang bertemu dengan Liam. Apalagi Liam disibukkan oleh pekerjaan setiap hari dan harus menghadiri acara-acara di luar. Juga sering bepergian keluar negeri.
Saat ini Davina sangat senang, hingga dia tidak mampu mengeluarkan suaranya. Wanita itu hanya memperhatikan Liam dengan intens. Namun, hal itu tidak membuat Liam risi sama sekali. Liam memberikan senyumnya pada Davina. Sama seperti Davina yang hanya diam memandanginya, Liam juga melakukan hal yang sama.
Liam merindukan sosok ibu yang menjaganya selama ini karena terlalu sibuk dengan urusannya. Namun, kehadiran Davina tidak dapat dipungkiri mengingatkan dia pada ibunya. Senyum Liam segera memudar dan dia menyapa Davina lebih dulu.
“Sudah lama tidak bertemu. Bibi apa kabar?” sapa Liam dengan ramah.
Davina masih menatap Liam, seakan dia tidak mendengar kalau Liam menyapanya barusan. Belle memperhatikan ibunya yang masih asyik dengan lamunannya.
“Ibu, CEO Liam menyapamu barusan.” Belle mengguncangkan lengan ibunya agar cepat sadar dari lamunan karena saking senangnya bertemu dengan Liam.
“O, oh!” Davina tersadar dan perlahan butiran air mata jatuh dari pelupuknya. Itu merupakan tangisan haru dari seorang ibu yang merindukan anak yang sudah lama dia asuh. Tanpa aba-aba, Davina memeluk Liam dengan erat.
Liam sedikit tersentak, tapi dia membiarkan Davina memeluknya dan balik memeluk Davina. Belle merasa terharu akan hal itu dan membiarkan ibunya melakukan yang dia mau. Jadi, Belle mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Bibi, apa kamu merindukanku?” Liam bertanya dengan nada lebih lembut lagi.
“Tentu saja Bibi sangat merindukanmu. Kamu sangat sulit untuk ditemui dan juga tidak pernah berkunjung ke paviliun. Akhirnya, hari ini Bibi dapat melihatmu lagi, Liam.” Davina memeluk Liam dengan lebih erat, sehingga membuat Liam agak kesulitan bernapas.
Davina menyadari hal itu dan segera melepaskan Liam.
“Nak, apa kamu baik-baik saja? Bibi memelukmu terlalu kencang tadi.” Wajah Davina terlihat panik mengingat kesehatan Liam.
“Aku baik-baik saja Bibi. Tidak perlu khawatir.” Liam cekikikan. “Apa aku boleh mampir dan minum teh?”
***
Dalam ruang tamu yang tidak begitu besar. Belle dan Liam duduk di sana saling diam, sedangkan Davina dengan antusias membuatkan teh untuk mereka—di dapur.
Untuk pertama kalinya, Liam menawarkan diri minum teh di kediaman mereka. Memang dari luar kediaman itu terlihat cukup kecil untuk keluarga tiga orang. Ya, karena hanya Belle, Davina dan Alaric saja yang tinggal di sana.
Sekarang Alraic tidak berada di kediaman, melainkan sedang mengawasi dan memberikan pelatihan bagi para pengawal baru. Alaric cukup sibuk memimpin sebagai kepala pengawal. Jadi, hampir seluruh waktunya dia habiskan di tempat latihan atau bersama Dominic.
“Ngomong-ngomong, kamu tidak punya rencana lain, kan, dengan datang kemari?” Belle bertanya curiga karena orang seperti Liam Alterio dengan selera tinggi mau minum teh di kediaman mereka.
Memang, kediaman tersebut juga milik Alterio. Jadi, tidak ada yang salah kalau Liam pergi ke mana pun yang dia inginkan. Akan tetapi, Belle selalu saja merasa curiga Pada Liam.
Liam tidak melihat ke arah Belle, melainkan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan itu. Lantas dengan santai dia menanggapi Belle, “Aku hanya merindukan Bibi. Tidak ada hal lain yang aku pikirkan. Jadi, berhentilah curiga padaku karena curiga pada calon suamimu sendiri sangat tidak baik bagi kesehatanmu, Belle.”
Belle terdiam. Entah Liam sedang mengejeknya dengan berkata bijak atau memang dia orang yang cukup bijak? Belle memperhatikan wajah menyebalkan Liam yang senantiasa membuatnya naik darah.
Tadi malam pria itu sangat mengesalkan dan bertingkah, juga berbicara kekanakkan. Sekarang, lihat dia seperti orang dewasa yang baru saja selesai mendapatkan didikan dari orang ahli. Ah, benar sekali. Liam baru saja mendapatkan petuah dari Dominic. Maka dari itu, dia menjadi lebih bijak lagi.
“Para gadis di luar sana pasti akan semakin tergila-gila padamu, jika kamu selalu berkata bijak,” ucap Belle sambil terkekeh. Dia merasa aneh jika Liam Alterio menjadi orang bijak dalam perkataannya. “Jujur saja, kamu pasti sangat membenciku, ‘kan?”
Liam mengalihkan pandangannya pada Belle. “Kamu bisa membaca pikiranku rupanya.” Seringai dangkal di lemparkan pada Belle.
Liam tidak perlu berkata panjang lebar, mengenai apa yang dia rasakan pada Belle, dan agaknya Belle cukup berani untuk bertanya demikian pada Liam. Jika seseorang mungkin akan bertanya apakah Liam menyukainya. Namun, Belle malah bertanya sebaliknya.
Belle dengan pemikirannya memang cukup unik. Tidak lagi bertanya, Belle menutup mulutnya rapat-rapat. Lantas menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Dia merasa tidak nyaman karena punggungnya terasa sakit. Jadi, dia kembali menegakkan punggungnya dan meraba area yang dirasanya sakit.
Benar saja pada area yang disentuh, ada sedikit bengkak.
Liam melihat pergerakan aneh dari Belle, dan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Belle yang saat ini sedang mengerutkan alisnya. Dia ingat telah mendorong Belle ke pagar balkon ketika perempuan itu mabuk. Namun, dia tidak memberitahu Belle akan kejahatannya semalam dan menyalahkan semuanya pada Belle.
“Mengapa punggungku bengkak?” gumam Belle seraya mengarahkan kedua manik matanya pada Liam. Dia sudah curiga pada Liam dan kecurigaan itu tidak bisa hilang begitu saja.
“Ada apa?” Liam pura-pura bertanya.
“Apa kamu melakukan sesuatu padaku tadi malam?”
“Astaga!” Davina berseru dari arah dapur ketika dia mendengar pertanyaan Belle. Pikiran wanita itu sudah mengambang ke mana-mana. Bahkan Liam dan Belle segera mengalihkan tatapan mereka pada Davina.
Dengan cepat Davina berjalan ke arah mereka dan segera menaruh nampan berisi teko teh dan tiga cangkir di atas meja dengan tangan bergetar, sehingga Liam tersadar dan membantu Davina menaruh nampan tersebut.
“Bibi berhati-hatilah.”
Davina menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan saat dia melihat Belle sedang menyentuh punggungnya. Matanya terbelalak dan tentunya, pikirannya mengarah ke sana lantaran Belle dan Liam tinggal di kamar yang sama semalam.
“Ibu, apa yang sedang Ibu pikirkan?” tanya Belle ragu-ragu.
“Astaga!” seru Davina. Dia membuka tangannya yang menutupi mulutnya dan kembali berkata dengan perlahan-lahan, “tadi malam kalian berdua menginap di hotel, kan, dan punggung Belle sekarang sakit ….” Davina mengerjapkan matanya, tidak percaya dan mencubit lengannya sendiri. Dia saat ini sedang membayangkan betapa panasnya tadi malam di kamar mereka.
“Bibi, kami memang menginap di hotel seperti yang Kakek inginkan,” sahut Liam dengan polos, tidak berpikir untuk menerka yang tengah dipikirkan oleh Davina.
Sementara itu, Belle sudah dapat menduga isi pikiran Davina dan semoga saja ibunya tidak keceplosan berkata yang aneh-aneh. Kalau tidak dia pasti akan sangat malu. Padahal tadi malam dia mabuk dan entah apa yang dia lakukan pada Liam. Begitu pun juga dengan Liam tidak mengatakan yang dia lakukan pada dirinya.
Davina menatap ke langit-langit ruang tamu tersebut dengan senyum yang mengembang tinggi, dia berkata dengan percaya diri. “Sebentar lagi suara tangisan bayi dan suara berisik dari anak-anak akan kembali mewarnai kediaman Alterio setelah sekian lama.”
Seketika, Belle dan juga Liam tersentak.
“Ibu! Berhentilah berharap, dan kita minum teh saja.”
Dengan cepat Belle mengalihkan topik, wajahnya sudah menyerah, sedangkan Liam terbatuk-batuk lantaran baru mengerti dengan tingkah aneh Davina. Dia tidak menyentuh Belle seperti yang dipikirkan oleh Davina dan semua yang dipikirkan oleh wanita itu merupakan kesalahpahaman. Namun memang benar kalau Liam mencuri ciuman Belle dan tidak berani mengatakannya pada perempuan itu.
“Oh, iya, Ibu hampir lupa dengan tehnya. Ini akan menjadi berita besar kalau sampai semua orang di kediaman ini tahu.” Dengan antusias Davina duduk di sebelah Belle dan menyajikan teh untuk mereka.
Belle semakin mengerutkan kening. “Berita apa yang Ibu maksud? Jangan menyebarkan gosip yang aneh-aneh, Bu. Kami tidak melakukan apa pun seperti yang Ibu bayangkan.” Terang Belle dengan cepat agar Davina menghilangkan pemikiran itu dengan segera.
Tangan Davina yang menyiapkan teh berhenti dari gerakkannya. Dia memasang wajah kecewa dengan penjelasan Belle barusan. “Jadi, tidak akan ada bayi. Padahal aku sudah sangat antusias dan ingin segera membeli perlengkapan bayi.” Keluh Davina pada keduanya dengan mata sendu.
Liam terkekeh mendengar keluhan Davina. Sedingin dan segarang apa pun Liam ketika dia berhadapan dengan orang lain, tetapi ketika itu datang pada Davina—wanita yang telah merawatnya—sikapnya pasti akan sedikit berubah, hingga Belle sendiri tidak terlalu mengenal Liam yang tertawa hangat seperti saat ini.
“Bibi, kami belum menikah. Semalam Belle sedikit mabuk. Jadi, tanpa sengaja dia naik ke atas pagar balkon dan …,” Liam berhenti sejenak dan menatap Belle dengan licik, serta mengangkat ujung bibir kanannya. Lantas Liam melanjutkan setelah melihat Belle membuka matanya lebar-lebar. Liam sangat senang ketika melihat Belle gelisah. “Aku menariknya dari ambang kematian, tapi dia malah ingin membunuhku—”
“Itu tidak benar!”
Novel Terkait
Dewa Perang Greget
Budi MaUangku Ya Milikku
Raditya DikaMenunggumu Kembali
NovanMilyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu
Milea AnastasiaBretta’s Diary
DanielleMy Cold Wedding
MevitaMenaklukkan Suami CEO×
- Bab 1 Checkmate
- Bab 2 Keyakinan Belle
- Bab 3 Liam Alterio
- Bab 4 Arabelle Jovanka
- Bab 5 Pria lemah!
- Bab 6 Berpura-pura bodoh
- Bab 7 Kamu mengambil ciuman pertamaku, bodoh!
- Bab 8 Bangun dengan rasa sakit
- Bab 9 Pulang sendiri
- Bab 10 Penjilat
- Bab 11 Minum Teh Bersama
- Bab 12 Kamu semakin cerewet
- Bab 13 Aku tidak boleh jatuh pada Liam Alterio