You Are My Soft Spot - Bab 258 Tiffany Song, Marilah Kita Mempunyai Anak (1)

Vero he meringis membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Memang benar, Taylor Shen jadi makin agresif. Pria itu membalikkan posisi mereka dan kini menindihnya di ranjang. Dalam posisi bertindih-tindihan, Taylor Shen menciumi bibirnya dengan penuh nafsu. Ketika akhirnya ciuman itu dilepaskan, nafas Vero He naik turun dengan sangat cepat. Sekujur tubuhnya terasa lemas.

Sambil menatap si wanita dengan tajam, si pria bertanya, “Tiffany Song, jadi kejutannya apa?”

Ia tadi itu memaksakan diri untuk mandi karena menunggu kejutan ini juga. Ia tidak mau tubuhnya penuh bau alkohol ketika diberikan kejutan spesial. Kalau hari ini tidak mendapat kejutan yang dijanjikan, Taylor Shen pasti bakal tidak bisa tidur.

Vero He tidak menyangka Taylor Shen masih ingat janji ini. Tadi pagi, dia sebenarnya hanya asal bicara supaya rela dilepaskan. Aduh, bagaimana ini……

Taylor Shen mengernyitkan alis melihat Vero He gigit-gigit bibir seperti ketakutan. Ia langsung memahami bahwa dirinya sudah kena tipu. Pria itu bertanya muram, “Oh, kamu bohong ya? Kamu bilang begitu hanya biar aku melepaskanmu ya?”

Melihat tatapan Taylor Shen yang intimidatif, gigitan Vero He ke bibirnya sendiri berhenti. Wanita itu menggeleng bohong, “Tidak. Aku hanya tiba-tiba lupa saja mau beri kejutan apa saat kamu tanya tiba-tiba.”

Taylro Shen menatap Vero He lekat-lekat. Ia seperti tengah menyuruhnya lanjut berbohong.

“……”

“Berhubung kamu tidak menyiapkan apa-apa, ya sudah sekarang pikir bisa kasih aku kejutan apa.” Tangan Taylor Shen mulai bergerak-gerak di tubuh Vero He. Kulit si wanita mulus dan enak sekali disentuh. Sehabis melahirkan anak, dadanya juga jadi lebih berisi dan menarik.

Wajah Vero He memerah. Melihat cermin sebelah memperlihatkan adegan mereka bertimpa-timpaan, ia memejamkan mata dan berkata: “Dalam posisi begini mana bisa berpkir baik-baik coba?”

“Ya sudah, aku yang atur saja ya kejutannya.” Mata Taylor Shen berbinar-binar seolah sangat menantikan persetujuan Vero He.

Si wanita gigit-gigit bibir. Ia sungguh tidak kepikiran kejutan apa-apa kalau disuruh berpikir dalam waktu sesingkat ini.

Taylor Shen berpindah posis ke sebelah Vero He. Ia merangkul pinggang wanita itu biar mereka tetap bersentuhan. Taylro Shen berujar serak: “Malam ini kamu harus aktif. Anggaplah itu kompensasi karena kamu tadi bohong.”

Kata-kata ini membuat Vero He jadi malu sendiri. Ia berkata, “Taylor Shen, aku……”

“Mau aku ajari ya pasti?” Taylor Shen kini menempatkan kedua tangannya di belakang kepala dengan santai. Ia menunggu inisiatif Vero He. Tubuh si wanita merinding dari ujung ke ujung.

Ia tahu Taylor Shen dalam hal beginian tidak bisa ditawar-tawar lagi. Setelah memberanikan diri, Vero He menggeser badan dan mengecup bibir Taylor Shen. Sambil menciumnya, ia juga mengelus-elus pipi si pria.

Taylor Shen jelas senang, tetapi pada saat bersamaan juga agak risih. Dasar wanita ini, mau cium dirinya saja sampai mikir dan memberanikan diri dulu! Memang dia apaan sih, kan bukan monster buas! Kerisihan ini hanya bertahan sebentar. Yang terjadi selanjutnya adalah Taylor Shen ikut aktif memainkan lidah di dalam mulut Vero He.

Setelah “bermain-main”, Vero he terbaring dalam pelukan Taylor Shen. Tubuhnya sangat lelah, namun ia tidak mengantuk. Melihat sup pemulih mabuk yang ada di meja, ia berkata: “Supnya sudah dingin. Aku panaskan dulu di bawah.”

Ketika mau bangkit berdiri, tangan Taylor Shen yang ada di pinggangnya mengeras. Ia pun kembali terbaring dalam pelukan si pria. Pria itu berujar serak, “Sup pemulih mabuk yang paling ampuh itu sebenarnya kamu. Baring dan jangan bergerak, aku mau peluk-peluk kamu.”

Saat ini, yang Taylor Shen inginkan hanya tidur sambil memeluk tubuh Vero He yang lembut. Kehangatan beberapa hari ini saking sempurnanya sempat membuat dia bertanya-tanya ini sungguhan atau hanya mimpi.

Taylor Shen takut ini hanya mimpi. Ia tidak mau Vero He hilang ketika ia terbangun. Jadi, tiap kali si wanita bergerak sedikit saja, dia pasti akan langsung bangun dengan cemas.

Ini membuat Taylor Shen hampir selalu bangun lebih awal dari Vero He.

Vero He tidak bergerak lagi karena memang sangat capek. Ia tiba-tiba teringat insiden pertemuannya dengan seorang polisi wanita tadi. Ia mengajak bicara: “Taylor Shen, ada sesuatu yang aku rasa sangat aneh.”

“Apa itu?” tanya Taylor Shen pelan dengan kondisi setengah sadar.

Vero He ragu-ragu sejenak. Ia tidak cerita ke siapa-siapa soal insiden itu, tetapi kok sekarang malah jadi sangat ingin bercerita pada Taylor Shen ya? Setelah meyakinkan diri sendiri, wanita itu mulai bercerita: “Aku tadi ke kantor polisi dengan Erin, lalu berjumpa dengan seorang polisi wanita yang tujuh tahun lalu memberi aku dan Stella Han minum sesaat setelah aku masuk penjara. Tanpa berpikir macam-macam, aku waktu itu langsung menegaknya saja. Setelah minum dan kembali ke sel penjara, kepalaku terasa sangat berat. Saat aku bangun, aku sudah dibawa pergi dari kantor polisi. Aku jadi curiga air yang diantarkan si polisi wanita ini bermasalah, misalnya mengandung obat tidur. Kalau tidak, aku tidak mungkin bisa tidur dalam kondisi habis mengalami banyak masalah begitu. Polisi wanita ini sangat mungkin ada hubungannya dengan orang-orang yang membawaku pergi.”

Ia semakin lama semakin yakin polisi wanita itu pernah melakukan sesuatu padanya. Menunggu beberapa saat, Taylor Shen tidak menjawab sepatah kata pun. Ketika Vero He mendongak untuk melihat wajahnya, ia baru tahu mata pria itu ternyata sudah terpejam. Ah, ya sudahlah lupakan saja.

“Tidurlah.” Vero He membenarkan posisi kepalanya di bahu Taylor Shen. Tidak lama kemudian, ia juga ikut terlelap.

Taylor Shen daritadi sebenarnya masih setengah sadar. Ia hanya mendengar beberapa kata seperti “kantor polisi” dan “polisi wanita”, sisanya entahlah. Mereka tidur dengan nyenyak sampai keesokan hari…….

Pagi hari, Taylor Shen mengucek-ucek mata dengan lemas. Sembari membuka mata, ia mengulurkan tangan untuk wanita yang ada di sebelah. Anehnya, badan si wanita tidak juga teraba. Begitu menyadari di sebelahnya memang benar tidak ada siapa-siapa, ia langsung duduk dengan panik.

Hah! Ke mana dia!

Meski kepala masih agak pusing karena bir semalam, Taylor Shen langsung melepas selimut dan turun dari ranjang. Ia memakai pakaian tidurnya, lalu berjalan ke pintu. Ketakutan yang menjadi-jadi menguasai dirinya. Taylor Shen harus melihat Vero He berdiri di depannya.

Baru buka pintu, si pria langsung melihat si wanita berdiri di depan. Mungkin karena kaget dengan gerakan si pria yang buru-buru, sup pemulih mabuk yang dipegang agak tumpah ke lantai. Untung kagetnya sedikit saja, kalau kagetnya banyak pasti satu mangkuk sudah jatuh semua.

Wajah Taylor Shen jadi jauh lebih rileks begitu mengetahui Vero He masih ada di sini. Satu tangannya memegangi mangkuk yang Vero He pegang, sementara satu tangannya lagi merangkul si wanita untuk mengajaknya masuk kamar. Pintu lalu ditutup dengan sepakan kaki. Di dekat pintu, Taylor Shen mendaratakan ciuman hangat pada wanita di depannya.

Veor He kaget dan ternganga. Si pria memanfaatkan momen ini untuk lebih memasukkan bibir biar ciumannya bisa lebih agresif.

Vero He bisa merasakan ketakutan yang luar biasa dalam diri Taylor Shen tadi. Tetapi, dia kan di sini, jadi takut apa? Sembari membiarkan si pria menciumi dirinya, si wanita mengelus punggungnya untuk menenangkan.

Setelah ciuman berakhir, Taylro Shen menempelkan jidat ke jidat Vero He. Ia memperingatkan serius, “Lain kali, sebelum aku bangun, kamu tidak boleh turun dari ranjang. Paham?”

Vero He agak takut dengan ketegasan suara Taylor Shen. Ia buru-buru mengangguk. Jadi, Taylor Shen tadi bertingkah seperti orang yang habis melihat hantu karena kaget dirinya tidak ada di kamar?

Vero He mencoba menjelaskan kepergiannya tadi, “Aku tidak bisa tidur lagi, jadi turun ke lantai bawah untuk memanaskan sup semalam. Kamu dulu-dulu kalau habis minum bir besoknya kan sakit perut.”

Mendengar suara lembut si wanita, ketakutan dalam hati si pria perlahan lenyap. Ia kembali menjelaskan permintaannya, “Tidak peduli apa alasanmu. Pokoknya, aku ingin tiap buka mata pagi-pagi langsung melihat kamu.”

“Baik, baik, baik. Tuan Muda, sekarang sudha bisa makan sup pemulih mabuknya?” angguk Vero He pasrah. Saat ini cuaca cukup dingin. Meski suhu di dalam rumah masih dua puluh lima derajat Celcius, tetapi makanan yang baru keluar dari kompor tetap mendingin dengan cepat.

Taylor Shen tersenyum senang karena sikap perhatian Vero He. Sambil membawa sup yang tadi ia ambil, pria itu mengandeng si wanita duduk ke meja bulat yang ada di pojok kamar. Taylor Shen lalu mulai mengangkat sendok dan menyantap sup. Rasanya tawar dan melegakan tenggorokan.

Si pria berujar manja: “Kepalaku sakit, sini pijat-pijat.”

Vero He bangkit berdiri dan berjalan ke belakang Taylor Shen. Ia memijat-mijat pelipis dan jidat prianya sambil meledek, “Siapa suruh minum bir kebanyakan? Menyesal kan sekarang.”

“Kan ada James He semalam, jadi ya banyakan sedikit lah. Kalau dengan orang lain, aku tidak bakal minum sebanyak itu kok.” Semalam, awal-awal berbincang, keduanya masih sama-sama jaga sikap. Seiring dengan pembicaraan yang makin asyik, mereka tanpa sadar jadi minum makin banyak.

Tidak apalah, hitung-hitung mengakrabkan diri ke James He sebagai calon adik ipar kan?

Setelah kelar menyantap sup pemulih mabuk, Taylor Shen memegang tangan Vero He dan menariknya ke hadapan. Satu tangan si pria diarahkan ke pinggang si wanita, lalu satu tangannya lagi dielus-eluskan ke perutnya. Taylor Shen berujar: “Tiffany Song, punya anak yuk.”

Sekujur tubuh Vero He seketika kaku. Ia sama sekali tidak menyangka Taylor Shen bisa mengajukan permintaan itu. Ketika ia menunduk tatapan keduanya bertemu, jadi ia buru-buru mengalihkan tatapan ke sebelah kiri. Wanita itu lalu memberi jawaban yang ambigu, “Lain kali saja bicarakan ini.”

Taylor Shen bukan orang yang bisa ditolak dengan mudah. Ia mendudukkan Vero He di lutut, lalu mengangkat dagunya biar dia tidak bisa buang muka lagi. Pria itu lalu bertanya, “Mengapa lain kali?”

“Taylor Shen, bukannya kita berdua saja seperti sekarang juga sudah oke?” Melihat tatapan pria di hadapannya, Vero He tahu yang diinginkannya bukan ini saja. Ia bisa saja memenuhi semua keinginannya, tetapi khusus keinginan untuk punya anak sekarang belum bisa.

“Tidak oke. Tiffany Song, mungkin aku agak egois, tetapi aku ingin punya anak. Aku ingin punya buah cinta kita berdua,” ujar Taylor Shen sambil menatap Vero He dalam-dalam. Ia ingin bisa menggendong anak yang punya darah dirinya dan darah Vero He. Dengan begini, mereka akan jadi keluarga yang utuh.

Vero He gigit-gigit bibir tanpa menanggapi lagi.

Taylor Shen daritadi melihat wajah Vero He yang tertekan dan tidak rileks sama sekali. Pria itu lalu menunduk kecewa dan bertanya pelan: “Tiffany Song, kamu masih menyalahkan aku kan? Ngaku.”

“Taylor Shen, kamu sudah menjelaskan urusan itu padaku, jadi aku tidak mungkin berpikir macam-macam lagi. Tetapi soal anak, aku untuk sementara tidak mau dulu,” kata Vero He datar. Ia sekarang masih belum bisa menanggung beban mengurus anak, sungguh.

“Baiklah.” Taylor Shen melepaskan Vero He, bangkit berdiri, dan masuk kamar mandi. Tidak lama kemudian, dari dalam terdengar suara air mengalir. Vero He diam di tempat dengan sekujur tubuh yang terasa dingin.

Wanita itu lalu mengambil mangkuk yang sudah kosong dan pergi ke lantai bawah.

Seusai sarapan, Vero He keluar vila untuk berangkat kerja. Budi baru balik dari mengantarkan Jacob Shen. Melihat bos wanitanya keliuar sendirian, si supir refleks bertanya, “Nyonya Shen, Tuan Shen mana? Kalian hari ini tidak berangkat bareng?”

“Paman Budi, Taylor Shen semalam minum bir dan hari ini agak pusing. Mohon kamu yang nyetir dan antar kami kerja.” Vero He tahu Taylor Shen masih marah, namun ia sekarang tidak punya waktu untuk membujuknya baikan.

Di tengah percakapan, Taylor Shen keluar dari vila dengan mengenakan mantel. Di bawah langit yang agak mendung, air mukanya terlihat tidak begitu bagus. Budi untungnya tidak berpikir macam-macam. Bawahan itu membuka pintu belakang dan mempersilahkan mereka masuk.

Taylor Shen menatap Budi sekilas, lalu menatap Vero He yang sudah masuk dan duduk di dalam. Ia mengernyitkan alis, kemudian ikut masuk.

Mobil melaju meninggalkan Sunshine City. Suasana di dalam mobil sangat hening. Dengan koran di kedua tangannya, Taylor Shen berpura-pura sibuk membaca. Sementara itu, Vero He mengamati pemandangan luar seperti biasa. Karena ada kabut tebal, jarak pandang sangat terbatas. Sebagai akibatnya, Budi juga mengendarai mobil dengan sangat pelan.

Keheningan di dalam mobil lama-kelamaan membuat tegang. Vero He tahu Taylor Shen ngambek karena ia tidak memenuhi permintaannya untuk punya anak. Tetapi, masak setiap kali pria itu marah, dia harus mengalah hanya biar marahnya berhenti?

Tidak, ia benar-benar belum ingin punya anak!

“Paman Budi, coba nyalakan radio lalu lintas. Aku rasa di depan pasti ada kecelakaan deh. Kita dengar radio saja biar tidak mengantuk,” perintah Vero He dengan sopan.

“Baik,” angguk Budi sambil menekan tombol nyala radio mobil.

Taylor Shen melirik Vero He sekilas dengan sudut mata. Wanita ini ingin menyibukkan diri biar tidak usah menganggap dirinya ada ya? Si pria melipat koran dan berujar dengan sok risih, “Budi, matikan. Berisik sekali.”

“……” Budi menengok kaca spion belakang. Menyadari wajah bosnya sangat muram, ia hanya bisa menaati suruhannya.

Vero He menoleh ke Taylor Shen dengan sebal. Semakin diperhatikan, si pria malah makin senang. Sudut mata si wanita secara tidak sengaja melihat judul di halaman depan koran yang barusan dilipat si pria terbalik. Oh, jadi daritadi baca korannya hanya pura-pura ya.

Vero He jadi ingat momen waktu mereka baru berkenalan. Berkas yang ada di tangan Taylor Shen terbalik saat pria itu mengamatinya lekat-lekat. Ia sudah memperingatkan dia, tetapi si pria masih tetap fokus melihat wajahnya.

Wanita itu membuang nafas pasrah, lalu membalikkan koran Taylor Shen. Ketika dia baru duduk dengan benar lagi, si pria malah kembali membalikkan koran. Vero He pun protes, “Taylor Shen, kok ngambekan sih kamu?”

“Aku maunya terbalik!” balas Taylor Shen keras kepala.

Vero He: “……”

Kabut di luar sangat tebal, sementara mereka daritadi belum bergerak sama sekali. Vero He sendiri tidak bisa begitu tahu mereka sekarang tersendat di mana. Kemacetan bagi semua orang memang merupakan suatu hal yang menyebalkan. Para pengemudi dan penumpang dipaksa diam di tempat tanpa tahu kapan bergerak lagi.

Budi memutuskan turun dari mobil dan jalan ke depan untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Taylor Shen lalu menyadari Vero He daritadi melihat jam terus. Ia bertanya dingin: “Pagi ini ada rapat?”

“Tidak ada, memang kenapa?” jawab Vero He. Setelah menjawab, ia melihat kemuraman di wajah Taylor Shen makin bertambah.

“Kalau tidak ada buat apa tengok jam tangan terus coba? Tidak nyaman berdekatan denganku ya?” tuduh Taylor Shen macam-macam.

Vero He tidak tahu harus jawab apa. Ia akhirnya bertanya balik, “Lah, memangnya kamu suka berlama-lama kena macet?”

“Alasan macam apa itu!” debat Taylor Shen ketus. Ia tidak habis pikir mengapa Vero He tidak ingin punya anak lagi dengannya. Percintaan mereka belakangan stabil, bahkan makin mesra. Usia dia juga sudah tidak muda, tahun ini mau tiga puluh delapan tahun.

Novel Terkait

Mendadak Kaya Raya

Mendadak Kaya Raya

Tirta Ardani
Menantu
4 tahun yang lalu

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
4 tahun yang lalu

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
5 tahun yang lalu

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
5 tahun yang lalu

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
5 tahun yang lalu

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu