Suami Misterius - Bab 431 Masa Lalu Yang Terlupakan

Setelah minum setengah cangkir teh hangat, Ardian menyaksikan langit di luar jendela perlahan menggelap. Dia meletakkan cangkir tehnya dan berkata dengan suara rendah, "Sudah malam, aku harus kembali. Besok, aku akan pergi ke kantor cabang untuk audit."

Bahron mengangguk dan mengusap tangannya dengan tisu, lalu berdiri dari posisinya. Dengan sergapnya dia mengambil mantel dari gantungan baju dan menyerahkannya kepada Ardian.

Ardian mengenakan mantelnya dan mengikuti Bahron keluar dari ruangan pribadi.

Di depan restoran adalah jalan satu arah jadi tidak mudah untuk parkir. Sopir memarkir mobil di seberang restoran.

Ardian dan Bahron pun berjalan di trotoar, Ardian berjalan di depan dan Bahron berada satu langkah di belakangnya.

Dua orang berjalan perlahan, tiba-tiba sebuah mobil datang dari belokan dengan kecepatan tinggi, melewati dengan cepat dan hampir saja menabrak Ardian.

Untungnya, Bahron mengulurkan tangan dengan sergap, meraih lengan Ardian dan menarik dengan sekuat tenaga. Ardian tersandung dan jatuh ke lengan Bahron dan masuk ke dekapan Bahron. Dada Bahron begitu hangat dan kuat. Ardian mendengar samar napas tak teratur dan terengah Bahron di telinganya.

Tiba-tiba terjadi kecelakaan seperti ini, Zoom dan dua pengawal yang sedaritadi telah menunggu di seberang jalan melihat situasi ini dan langsung bergegas menghampiri.

Tapi, Bahron melambaikan tangannya kepada mereka dan berkata sambil tersenyum, "Tidak apa-apa. Sepertinya orang tidak bisa menerima usia tua deh. Tangan dan responku sudah tidak segesit seperti ketika masih muda."

Zoom dan dua pengawal melihat Bahron baik-baik saja. Mereka pun dengan patuh menarik diri mundur di jarak tertentu. Namun, Zoom telah mengeluarkan ponselnya dan menelepon Departeman Transportasi.

Mobil yang melaju barusan itu, kebetulan sebuah kecelakaan atau upaya melukai Bahron. Hal ini harus diselidiki dengan sejelas-jelasnya.

Di ujung lain, Bahron menarik Ardian ke sisi jalan lalu menegurnya dengan berkata, "Sudah umur segini. Kenapa masih sama seperti masih muda. Ketika menyebrang selalu saja suka melamun, kamu tahu tidak, itu sangat berbahaya!”

Ardian menundukkan kepalanya dan tidak berbicara. Selesai Bahron menegurnya, dia langsung berbalik dan berjalan ke mobil.

Bahron kemudian masuk ke mobil dan keduanya masih duduk di bangku belakang berdampingan tapi tidak bicara sepanjang jalan.

Ardian terus melihat keluar jendela, matanya sedikit teralihkan. Bahron tidak bisa menebak apa yang dipikirannya.

Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya menghadapi Ardian.

Pada saat ini, pikiran Ardian begitu kacau. Dia memikirkan semua hal di masa lalu.

Semua hal itu, awalnya dia tidak ingin lagi mengingatnya.

Dalam ingatannya, harusnya saat itu adalah pertengahan musim panas. Dia baru saja kembali ke Kota Jing setelah menghabiskan liburan musim panasnya.

Ketika liburan, orang tuanya selalu saja bertengkar sengit karena Revaldo. Ketika itu, dia masih muda dan tidak tahu bagaimana berurusan dengan ibunya, jadi dia bertengkar dengan Arima dan akhirnya diusir dari rumah oleh Arima.

Setelah dia kembali ke sekolah. Dia menyeberang jalan di depan gerbang sekolah dalam suasana hati yang buruk dan dia hampir saja ditabrak mobil.

Pada saat itu, kebetulan ada Bahron di tempat itu. Bahron bergegas melemparkan tubuhnya sendiri ke Ardian sampai menindih dan jatuh dengan Ardian di sisi jalan. Bahron ada di bawah Ardian sebagai penompangnya dan itu membuat Ardian tidak sampai terluka.

Namun, lengan Bahron tergores keras di tanah kasar di jalan, berdarah dan tampak sangat menyeramkan.

Ardian, yang masih muda saat itu sangat ketakutan sehingga dia hampir menangis ketika pertama kali melihat adegan seperti itu. Akhirnya, Bahron pun harus menghibur dan menenangkannya.

Bahron mengerutkan kening dan menatapnya lalu berkata, "Wanita memang suka sekali menangis, hanya luka luar di kulit saja. Nanti tinggal diolesi alkohol desinfektan sudah cukup."

Ardian bersikeras menyuruh Bahron pergi ke rumah sakit untuk menangani lukanya. Sehingga, mereka berdua pun pergi ke rumah sakit terdekat.

Ardian berlari kesana-kemari untuk mendaftarkan Bahron jadi pasien, membayar biaya rumah sakit, kemudian dokter memberikan obat ke Bahron sesuai dengan resep dan kwitansi.

Pada saat itu, luka Bahron cukup parah dan seluruh lengannya dibungkus kain kasa tebal. Dokter menyelesaikan obatnya dan mengatakan kepadanya untuk tidak menyentuh air dalam waktu dekat.

"Dokter, di hari yang begitu panas ini. Seminggu tidak mandi apa tidak bau.”Bahron memprotes dengan tidak puas.”

"Lebih serius mana tidak mandi atau lukamu jadi bernanah dan infeksi?" Kata dokter dengan wajah serius.

“Bahron, apa kamu tidak bisa mendengarkan baik-baik kata dokter,” kata Ardian dengan marah.

"Pak, pacarmu saja sudah berkata begitu. Kamu menurut saja sudah," kata dokter itu menambahkan.

"Pacarrrr ..." Bahron dengan sengaja memperpanjang intonasinya, dengan sepasang mata tampan menatap Ardian, dan berkata, "Tentu saja, aku harus mendengarkan kata-kata pacarku."

Ardian pun menundukkan kepalanya dan tidak berbicara, tetapi telinganya memerah.

Dua orang itu keluar dari rumah sakit lalu berdiri bersama di halte bus menunggu bus, Bahron biasa menggerakkan lengannya dan begitu dia tanpa sengaja menggerakkan lengannya, dia pun menarik lukanya. Dia pun mengernyit kesakitan.

“Sakitkah?” Tanya Ardian khawatir.

Bahron mengangguk tanpa sadar dan berkata, "Ini benar-benar sakit. Untungnya, bukan kamu yang terluka."

Setelah mendengar ini, Ardian menatapnya dengan bodoh, untuk sementara waktu dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Tapi, wajah mungilnya yang cantik perlahan memerah malu.

Bahron tiba-tiba mendekat dan memberinya ciumanan kilat di pipi Ardian.

...

Ardian melihat pemandangan malam di luar jendela, tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya sendiri. Seolah tempat dimana Bahron menciumnya, masih tersisa kehangatan yang samar di sana.

Mobil perlahan berhenti di depan sebuah gedung apartemen. Ardian barulah tersadar dari lamunannya.

Rudy telah menyiapkan sebuah apartemen untuknya di Kota Jing. Apartemen itu tidak besar, dua kamar satu ruang tengah. Satu kamar adalah kamar utama dan kamar yang lain digunakan sebagai ruang kerja. Dekorasi juga sesuai dengan kesukaan Ardian.

Setelah apartemen itu dibangun, Rudy sering sekali mengirimnya ke Kota Jing dengan alasan bisnis. Dan setiap kali dia datang, selalu saja diketahui dan ditemani oleh Bahron.

Jelas sekali, ayah dan anak itu satu pikiran dan satu hati deh.

Ardian sering menyesali bahwa ia membesarkan anaknya dan bekerja keras untuk mendidiknya begitu keras. Tapi pada akhirnya nama marganya adalah Sunarya.

Setelah mobil berhenti, Ardian membuka pintu dan turun dari mobil, dia tidak menyapa atau berpamitan kepada Bahron.

Bahron duduk di mobil, memperhatikan sosok yang perlahan menghilang dari pandangan matanya. Tapi tidak mengatakan apa-apa.

Meskipun Bahron selalu mengikutinya. Tapi dia cukup tahu aturan kapan waktu yang cocok. Dia tidak akan terlalu memaksa Ardian.

"Ayo pergi." kata Bahron kepada sopir.

Sopir pun perlahan menyalakan mobil dan Zoom yang duduk di kursi penumpang depan menoleh ke belakang dan menyerahkan ponsel Bahron.

Bahron terbiasa tidak membawa ponselnya. Tidak peduli nomer publik atau nomer pribadi. Dia akan menyerahkan semuanya untuk diurusi oleh Zoom . Zoom yang akan mempertimbangkan dengan baik dan memilah mana telepon yang sangat penting atau tidak.

"Tuan Bahron, putra anda baru saja menelepon lalu meminta anda meneleponnya kembali kalau sudah ada waktu luang.”

Zoom telah ikut dan bekerja kepada Bahron cukup lama. Dia tahu dan memahami sekali semua hal tentang Keluarga Sunarya. Bahron hanya punya satu anak. Jadi jelas sekali selama itu telepon dari putranya. Tidak peduli kapanpun dan urusan apa, itu adalah yang paling diutamakan dan paling penting.

Bahron mengambil ponselnya lalu tampak sedikit kelembutan di antara kedua alisnya. Sosoknya yang saat ini tidak ada bedanya dengan sosok ayah pada umumnya.

Ketika telepon terhubung, terdengar suara Rudy dari sisi lain dan samar-samar terdengar juga tawanya yang menggoda, "Begitu langkanya bisa makan malam bersama dengan kakak. Tapi kenapa berakhir begitu cepat?”

“Hanya makan saja, mau menghabiskan berapa banyak waktu memang?” jawa Bahron.

“Memang selain makan, apa kamu mau melakukan hal yang lainnya?” tanya Rudy sambil tersenyum.

Wajah tua Bahron memerah lalu memakinya, “Dasar anak tengik, tidak sopan sekali dengan orang tua.”

Rudy yang ada di sisi lain telepon, hanya tertawa.

Novel Terkait

The Gravity between Us

The Gravity between Us

Vella Pinky
Percintaan
5 tahun yang lalu

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
5 tahun yang lalu

Unperfect Wedding

Agnes Yu
Percintaan
5 tahun yang lalu

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
4 tahun yang lalu

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu